Aku masih di sini, dan masih menulis tentang kamu. Itu artinya, ada yang belum benar-benar selesai pada diriku. Semoga kamu bisa memaklumi ini, yang belum sepenuhnya mampu untuk melupakanmu meskipun aku yakini aku sudah merelakan kepergianmu. Semoga kamu juga mengerti, seperti inilah resiko begitu dalam mencintai, meskipun yang dicintainya sudah memilh pergi, namun cintanya tidak ikut mati.
Sayangnya, aku bukanlah kamu, yang mampu dengan mudah melupakan tanpa pernah punya satu alasan pun untuk bertahan pada perjalanan cinta yang pernah kita jalin bersama. Yang mampu dengan mudah berpindah hati padahal yang sedang bersamamu selalu mencintaimu setengah mati. Jadi, semoga kamu memaklumi jika sampai dengan saat ini, yang masih sulit aku wujudkan adalah melupakanmu.
Kau ingat?
Di ponselmu,
…namaku pernah kau tulis dengan panggilan istimewa. Kau tambahkan juga emoticon love berwarna merah atau ungu di belakangnya. Lalu disematkan sebagai pesan whatsapp paling atas, agar tidak terlewat dan terlambat untuk lekas kamu balas.
Namaku juga pernah menghiasi sejumlah benda yang kamu punya, di background layar handphone-mu, di aplikasi catatanmu, di buku diary mu, di draft email mu, di meja atau dinding kamarmu, bahkan sempat kau sematkan juga namaku di bio dan setiap story sosial media mu. Selalu ada.
Namaku, seperti yang pernah kamu katakan, juga kerap menjadi yang kamu sebut dalam doa-doamu. Pada setiap harapan dan permintaan-permintaanmu pada Tuhan. Bahwa aku menjadi satu yang kamu pilih dari milyaran manusia di dunia ini, dan kau hanya ingin aku.
Entahlah, aku tidak tahu darimana awalnya. Kita mulai berjarak. Hingga kata sayang yang kerap kamu katakana mulai asing terdengar di telingaku. Pesan-pesan yang biasanya secepat kilat kamu balas mulai kerap kamu abaikan. Centang dua berwarna biru tanpa pernah ada balasan darimu jadi mulai akrab untuk pesan whatsapp ku kala itu.
Hingga pada waktu-waktu itu, yang menjadi kesibukanku hanyalah melihat notifikasi online di bawah foto profilmu, dan aku masih selalu berharap notifikasi itu berubah menjadi 'is typing' atau 'sedang menulis pesan' dan kau segera membalas pesanku. Meskipun nyatanya tidak.
Kau juga masih begitu aktif mengunggah aktifitasmu di story whatsapp dan instastory-mu. Dan hanya dari itu aku tahu kabarmu, kamu sedang dimana, kamu sedang apa, kamu sedang bersama siapa. Dan tiba-tiba aku menjadi rindu. Ya, aku rindu berada satu frame denganmu di sana.
Kita sampai pada titik dimana aku dan kamu benar-benar seperti dua orang asing yang sedang berusaha saling melupa. Kau melupakan semua tentangku dengan mudahnya, aku berjuang untuk melupakan bahwa kita pernah ada. Meskipun aku tidak pernah bisa.
Pada akhirnya…
Yang pernah mengaku begitu mencintaiku, dia lah yang kini mengabaikanku.
Yang pernah memintaku untuk tetap bersama, dia lah yang kini meninggalkanku.
Yang pernah bersusah payah menyembuhkan luka di hatiku, dia lah yang kini justru melukaiku.
Yang memintaku untuk selalu ada, dia yang kini hilang begitu saja.
Dan yang menyakitkan dari ini semua adalah, kau tampak mampu berbahagia dengan orang baru yang menggantikan posisiku, sedangkan disini, aku sedang bergelut dengan luka akibat begitu saja ditinggalkan olehmu.
Yang masih aku sesali, mengapa harus kamu yang melakukan ini? Mengapa harus kamu yang meninggalkan sedangkan kamu pernah memintaku untuk tetap tinggal? Mengapa harus kamu yang melukai sedangkan kamu pernah menyembuhkan? Mengapa harus kamu yang menghilang dariku sedangkan kamu pernah memintaku untuk selalu ada?
Dan mengapa harus kamu yang memilih berpaling dengan yang lain sedangkan kamu pernah mengatakan bahwa akulah segalanya?
Pada akhirnya, yang paling jatuh cinta adalah ia yang merasa paling terluka. Kamu dan aku adalah seorang pelupa. Kamu lupa pernah ada aku di hatimu. Aku lupa bahwa dihatimu aku sudah tidak pernah ada.
Seharusnya aku tidak boleh mengkhawatirkanmu lagi.
Seharusnya aku tidak boleh merindukanmu lagi seperti ini.
Ya, seharusnya tidak.
Seharusnya aku menyadari, mengapa masih harus mengkhawatirkanmu sedangkan disana ada yang sudah menjagamu.
Sudah ada yang berusaha untuk selalu ada ketika kau perlu.
Sudah ada yang memastikan kau selalu baik-baik saja.
Mendampingimu, membahagiakanmu, melakukan segala hal yang tentu membuatmu semakin mencintainya, dan kian melupakan keberadaanku yang pernah berjuang keras sebelum dia datang dan menggantikan posisiku.
Mengapa aku masih harus mengkhawatirkanmu sedangkan sudah bukan aku yang diharapkan untuk selalu ada untukmu.
Mengapa aku masih harus merindukanmu sedangkan disana, kebahagiaanmu bukan lagi terletak padaku.
Ya, seharusnya tidak.
Karena memang tidak seharusnya aku masih berada di tempat yang tidak akan pernah kau kunjungi lagi seperti saat kau masih menjadi milikku. Bahwa merindukanmu bukan lagi menjadi hal membahagiakan setelah bukan lagi aku yang jadi tujuanmu pulang dan menyembuhkan.
Yang seharusnya aku lakukan adalah benar-benar mengikhlaskanmu; meskipun tetap saja tidak mampu. Tapi aku akan terus berjuang agar lekas lupa, lupa bahwa aku sedang berjuang untuk melupakanmu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”