Kepada Pikiran-pikiran yang Bersuara Nyaring di Kepala

Kepada sesuatu yang sedang bergibah di kepala, dihimbau untuk segera keluar dikarenakan aku ingin tidur. Terima kasih.

Advertisement

Aku hanya bisa menghela napas panjang tiap kali mereka datang. Biasanya di malam hari, tapi entah akhir-akhir ini mereka sering mencuri-curi waktu untuk bertemu denganku. Kangen katanya.

Seberapa kuat aku untuk menolaknya masuk, mereka tetap merangsek ke dalam. Mungkin pagar rumahku yang tak terlalu kokoh untuk menghalaunya. Atau akunya saja yang tak bisa bernegosiasi dengan mereka.

Pagi kemarin mereka datang. Mereka bahkan menemaniku sampai ke kantor. Saat aku bekerja, aku sedikit mendiamkan mereka. Aku suguhi mereka dengan sedikit air dan cemilan habisnya aku tak ada daya untuk menyuruh mereka pulang. Lepas dari kantor, mereka bertamu kembali dan baru dini hari tadi mereka pulang. Itupun karena aku tertidur mendengar bualan mereka.

Advertisement

Mereka selalu bilang kalau aku tak ada apa-apanya dibanding yang lain. Tak ada pencapaian yang bisa dibanggakan. Semua yang sudah aku lakukan sia-sia yang lain sudah terlanjur jauh, sudah tak terlihat. Tak ada celah untuk menyusul.

Aku sadar itu semua benar. Kalau dibanding mereka aku memang tak ada apa-apanya. Aku hanya lulusan D4, tak seperti kawan SMP ku yang sudah lulus S2. Universitas negeri pula. Aku juga tak seperti dia yang sekarang menjadi abdi negara. Aku? Seorang staff proyek yang tak punya tanggal merah dan jam kerja yang pasti, itupun tetap tak membuat penghasilanku lebih besar daripada mereka yang jam kerjanya 8/16.

Advertisement

Apa lagi?

Aku belum seperti teman sebangku kuliahku dulu yang saat ini punya keluarga kecil bahagia versinya. Aku? Masih merindu pacar yang padahal tak kumiliki.

Benar kata mereka. Boro-boro beli rumah, mobil, motor, atau main saham, untuk beli shampo pun aku lebih memilih beli ketengan. Sepatu yang aku pakai ke kantor, nongkrong bersama mereka, atau berolahraga gratis juga hanya itu. Tak aku ganti sejak kedatanganku di ibu kota. Di akhir bulan tak jarang aku memanfaatkan pay later. Berkahnya aku rajin puasa kalau uang makan telat cair.

Semua yang mereka musyawarahkan di kepalaku itu memang benar. Aku tak mengelaknya. Aku tak menyalahkannya. Aku memang belum ada apa-apanya dibandingkan mereka.

Tapi kenapa hanya aku yang mereka bicarakan? Memang mereka semua sudah mendapat semua yang mereka inginkan? Apa mereka sebahagia seperti yang terlihat?

Semesta tak akan sebaik itu kepada mereka, kan?

Ini dunia nyata. Tak mungkin mereka yang rupawan sudah pasti akan kaya raya.

Toh, rupawan juga punya makna yang berbeda di setiap kepala.

Kalian, tolong pelankan suara. Aku sudah kenyang dengan nasehat kalian. Sekarang waktunya aku yang bergerak. Cukup doakan, perhatikan langkahku, dan sesekali ingatkanku bila aku mulai meracau.

Aku sedang mencari makna sukses versi aku sendiri.

Biarkan aku menang lewat jalanku sendiri agar aku benar-benar bangga menjadi aku. Biarkan juga aku jatuh karena salahku bukan karena kau hendak menghancurkanku. Tapi ijinkan aku belajar dari pengalaman kalian agar aku bisa menjadi sebaik dan sehebat kalian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

trying to be a better 'cungpret'