Aku sudah tahu dari awal bahwa memperjuangkan kita tidaklah mudah. Aku, anak laki – laki pertama dengan dua adik dan mama yang juga butuh diperjuangkan. Sementara kamu, anak perempuan terakhir yang diharapakan mama papamu mendapatkan pasangan yang mapan. Aku tidak pernah menawarkan kemapanan, kamu jelas tahu itu. Dari awal kita bersama, dari kita masih sama-sama berseragam abu-abu, kamu jelas tahu hidupku tidak pernah hanya tentang aku dan kamu saja.
Mama tidak pernah memintaku untuk menanggung seluruh beban itu. Namun, entah kenapa ada rasa tanggung jawab yang kukira terlampau besar hingga aku merasa jika bukan aku lalu siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup mama dan adik perempuanku? Kamu pun tahu, adik laki-lakiku, yang lahir hanya berbeda hitungan menit dariku, terlampau tidak punya rasa tanggung jawab. Dia terlalu sibuk dengan kisah cintanya hingga buta dan seolah tidak lagi melihat mama atau si bungsu.
Aku memang belum mendapatkan pekerjaan tetap, bukan pegawai BUMN, apalagi bergelar abdi negara, tapi bukankah selama ini kamu pun melihat kerja kerasku? Kamu pun tidak pernah aku biarkan merasa kekurangan saat kita jalan. Aku tahu, aku selalu remeh di hadapan keluargamu. Selama ini aku bertahan karena kamu. Karena aku begitu yakin kamu layak untuk aku perjuangkan. Karena aku yakin, kamu bisa terus mendukungku sambil percaya bahwa suatu saat, aku juga akan berada di batas kemapanan yang keluargamu harapkan. Kadang aku juga mengutuki diriku berkali kali, kenapa aku tidak bisa sesekali tidak peduli? Kenapa aku tidak bisa sesekali mengutamakan diriku sendiri dulu.
Aku mencoba paham kenapa setelah 7 tahun kebersamaan kita, kamu lantas memilih menyerah. Aku juga mencoba mafhum, kenapa setelah ditentukan tanggal dan bulan pernikahan kita, kamu memilih membatalkannya. Mungkin karena aku yang terlalu sibuk memikirkan peringatan meninggalnya papa atau karena aku yang tidak mampu memenuhi ekspetasi keluargamu untuk mengadakan perayaan besar untuk pernikahan kita. Apa pun keinginanmu sungguh aku akan berusaha mewujudkannya. Aku mulai mencoba untuk menjadi egois, kali ini mementingkan pernikahan kita. Aku yakin mama akan mengerti. Namun, mungkin keluargamu terlanjur kecewa pada aku. Mungkin juga keluargamu terlanjur menganggap aku tidak akan mampu memenuhi segala kebutuhanmu.
Tidak, aku tidak marah, hanya kecewa. Kenapa setelah langkah sudah sejauh ini justru kamu juga mengambil langkah mundur yang sama banyaknya. Bahkan tanpa penjelasan yang masuk akal, justru saudaramu yang datang ke rumahku, mengembalikan seserahan sekaligus membatalkan lamaran. Aku harus menguatkan mama, aku harus meyakinkan mama kalau ini bukan salah siapa-siapa, apalagi salah mama. Belum jodoh aja ma, kataku. Mama menangis tergugu, meminta maaf karena selalu merepotkan aku hingga aku tidak punya tabungan untuk diriku sendiri. Bagi mama, batalnya pernikahan kita adalah salah beliau. Namun, sungguh aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Ya memang harus begini jalannya, itu kataku pada diriku sendiri.
Tidak apa-apa, pergilah. Orang tuamu benar, aku memang belum mapan secara finansial. Aku ingin kamu hidup dengan laki-laki yang bisa mencukupi semua kebutuhanmu. Memberimu rumah dan kendaraan yang nyaman. Yang tidak menjadi penanggung jawab untuk mama dan adik-adiknya. Yang bisa memenuhi definisi mapan oleh keluargamu. Maaf, selama ini aku terlalu egois, menyeretmu ke dalam pusaran masalah keluargaku. Aku belum tahu kapan aku bisa membuka hati lagi setelah semua ini.
Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih mapan dari aku. Begitupun aku, berhak mendapatkan perempuan yang mau berjuang bersamaku. Aku mungkin tidak menawarkan kemapanan tapi aku juga tidak pernah mengajakmu hidup susah, bukan? Ah sudahlah, aku dipersiapkan untuk dia yang akan merasa cukup memiliki aku. Selamat berbahagia ya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”