Bermula saat saya dan rombongan teman kuliah dari semarang berkunjung ke daerah yang istimewa, apalagi kalau bukan Jogja. Sebelum pergi ke Jogja, kita masih mikir-mikir enaknya menginap di homestay mana dan tujuan destinasinya kemana aja. Tak lama rasa iba seketika berubah menjadi empati dari salah satu teman saya, menawarkan tempat tinggal sementara untuk kita istirahat saat kita berada di Jogja, GRATIS!. Jiwa anak kos kami membara dan langsung bergegas untuk berangkat.
Sesampainya, ternyata rumah yang dituju ini merupakan rumah yang berada di dekat Alun-alun Kidul Jogja yang dimana tidak jauh dari sana terdapat Keraton Yogyakarta, menandakan rumah ini berada di dalam kompleks keraton. Suasana lingkungan kompleks di sini sangatlah damai, tentram, dan sepi, pokonya hati ademlah rasanya. Tak lama, tuan rumah menyambut kedatangan kami seraya menjamu kami dengan sate ayam bumbu dengan lontongnya yang pulen dan dilengkapi segelah es sirup.
Saat itu kami sedang menyantap jamuan tuan rumah, tapi mata saya tidak bisa fokus pada makanan itu dan terus melihat mengitari dinding-dinding rumah. Interior dan ornamen rumahnya dihiasi oleh benda-benda tua antik dan kayu jati identik dengan keraton, bahkan mesin ketik bekas perkantoran zaman belanda sampai cermin besar seperti yang ada di film-film horor pun bisa dijumpai.
Tak lama ketika perut kami sudah kenyang, kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Jos, seketika mataku terbelalak. Lukisan-lukisan mulai dari kehidupan zaman kerajaan, beberapa Sultan Hamengkubuwono, sampai silsilah keluarga mereka terpajang di setiap celah kosong dinding rumah. Wajar saja, saya anak Jakarta yang cuman bisa mencium asap knalpot metromini dan mobil pengusaha, melihat hal-hal kaya gini serasa seperti uji nyali.
Oh ya, saya lupa sampaikan, teman saya yang menawarkan rumah ini untuk kami tinggali sementara selama di Jogja menyandang nama Raden Mas pada nama depannya yang dimana nama Raden Mas merupakan gelar kebangsawanan di kebudayaan keraton Jawa. Dan ternyata tuan rumah yang menyambutkan kami sebelumnya adalah eyang dari teman saya yang menyandang nama Raden Mas. Jadi, rumah yang kami tinggali sangat identik dengan keraton.
Awal-awal berada di dalam di rumah itu untuk berisitirahat menyiapkan tenaga untuk hari esok. Belum ada hal aneh atau ganjil yang terjadi. Karena kami letih, lantas kami langsung tertidur. Nah puncaknya, ketika saya terbangun dari tidur sekitar pukul 01.30 dini hari di saat semua yang ada di dalam rumah masih dalam tidurnya. Awalnya, saya terbangun karena menggigil kedinginan karena terpapar dinginnya udara AC.
Tak lama, saya mendengar suara alunan gamelan seperti dimainkan dengan profesional oleh penabuhnya. Saya kepo, tetapi semakin saya ingin tahu sumber suara itu dari mana asalnya, semakin jelas suara alunan klenengan gamelan itu terdengar. Jika kalian adalah orang Jawa dan lekat dengan kultur Jawa, maka suara itu tidak asing lagi di telinga kalian, seperti suara gamelan yang ada di acara pernikahan tradisi Jawa. Dalam pikiran saya saat itu, “mana ada acara pernikahan diselenggarakan malam-malam gini, ini kan jamnya orang-orang tidur”. Saya tengok ke jendela kamar, yang saya lihat hanyalah dapur dengan lampu yang masih menyala, tidak ada keanehan yang saya lihat. Tapi, suara itu masih terdengar jelas di telinga saya.
Saya mencoba membangunkan teman saya, tetapi mereka tetap tidur dengan pulasnya, sehingga saya urungkan niat saya untuk keluar kamar guna mencari tahu sumber suara itu dari mana asalnya. Setengah jam saya berdiam diri dan berpikir positif di kamar sembari ditemani alunan klenengan gamelan yang terdengar sangat sempurna tanpa adanya jeda berhenti atau sedikitpun not yang fals.
"Mungkin ada yang menyetel tape gamelan kali ya, tapi kok berani malam-malam nyetel tapenya keras-keras, g diamuk warga tuh”, pikirku.
Pada suatu titik, saya udah ‘bodoamat’ akan suara yang terdengar tiada hentinya. Akhirnya, saya putuskan untuk melanjutkan tidur kembali dengan suara gamelan yang masih terdengar jelas, kemudian samar, dan akhirnya menghilang karena tertidur. Pagi harinya, saya hanya diam tidak ingin menanyakan kejadian-kejadian yang menurut saya aneh semalam, karena saya pernah mendengar pantangan yang mengatakan, intinya jangan membahas hal-hal ganjil atau aneh yang dialami selama masih berada di tempat kejadian guna menghormati mereka. Setelah itu kami bersiap-siap untuk pergi ke destinasi yang sudah kami rencanakan.
Sebenarnya apa sih maknanya?
Menurut beberapa teman yang memang tinggal di wiliayah DIY, kejadian seperti itu pernah dan mungkin cenderung sering dialami oleh beberapa orang. Mereka mengatakan, ketika mendengar alunan klenengan gamelan Jawa, maknanya kalian lagi disambut. Ya seperti kalian datang di acara pernikahan saja. Meskipun penyambutan, tetap saja bikin bulu kuduk merinding, masalahnya pada saat itu siapa yang nikah?
Di sisi lain, menurut teman saya yang tinggal di kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, kejadian itu berhubungan erat dengan pengaturan nada gamelan yang digunakan dalam seni pedalangan atau yang sering disebut orang Jawa bilang Pathet. Semakin klimaks alur ceritanya, semakin cepat tempo alunannya. Setelah saya baca dari Wikipedia ternyata pathet slendro ini memiliki 3 jenis dan menjadi tanda waktu sebuah pertunjukan wayang sedang berlangsung.
Pathet nem digunakan untuk membuka pertunjukkan wayang semacam pembukaan dan pengenalan tokoh-tokoh perwayangan yang dimulai pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00. Kedua, Pathet sanga digunakan untuk memandu jalannya pengenalan ke adegan klimaksnya semacam adegan peperangan dan berakhir pada pukul 03.00 . Pertunjukkan wayang diakhiri dengan pathet manyura dimana dipathet manyura berisi alur penyelesaian konflik yang terjadi di pathet sanga. Tiba-tiba bulu kuduk saya makin merinding. Ternyata yang saya dengar pada malam itu lagi di alur cerita klimaksnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”