Di pagi hari pada rentang tahun 2016 hingga 2017, setiap siswa sekolah (termasuk saya dahulu) memulai harinya dengan meluangkan waktu untuk membaca satu buku, selama kurang lebih sepuluh menit sebelum memulai pelajaran berlangsung.
Ini merupakan Gerakan Literasi Sekolah yang mewajibkan setiap siswa untuk membekali pikiran mereka dengan asupan literasi sebelum pembelajaran. Gerakan yang nampaknya memiliki progres kecil, namun memiliki manfaat yang baik untuk meningkatkan minat baca jika dilakukan secara berkelanjutan.
Sayang, gerakan ini nampaknya mulai ditinggalkan pada pertengahan 2017, setidaknya itu yang saya rasakan saat mengenyam pendidikan di salah satu sekolah menengah atas. Entah apa yang terjadi, tetapi para tenaga pengajar mulai tidak mewajibkan gerakan tersebut untuk dilaksanakan oleh para siswanya.
Tumpukan buku pun mulai ditinggalkan, lembar-lembar penuh pengetahuan mulai usang tak disentuh lagi. Pertanyaan-pertanyaan di kepala saya pun mulai muncul, mengapa gerakan ini seakan diabaikan, padahal gerakan ini menurut saya merupakan salah satu kesempatan untuk memberikan asupan literasi dan menumbuhkan minat baca di tengah hiruk pikuk kehidupan saat menjadi siswa.
Bagaimana fakta di luar sana?
Jika menilik pada data yang terpampang di luar sana, indeks minat baca di Indonesia terbilang cukup menyedihkan. Indonesia sendiri berpijak di ranking 62 dari 70 negara mengenai tingkat literasi berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessmet (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Fakta ini bukan hal yang sepele dan asal cuap saja, jika Indonesia tetap berada di posisi tersebut maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menerima stigma negatif karena rendahnya budaya membaca.
Jika budaya membaca saja rendah, maka rendah pula sumber daya manusianya, karena pada dasarnya membaca merupakan dasar atau pondasi kebiasaan untuk mendalami ilmu pengetahuan yang mencerdaskan.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan salah satu jawaban atas polemik tersebut, gerakan sederhana selama 10 menit sebelum kegiatan belajar ini memiliki progres yang kecil. Akan tetapi layaknya pepatah ‘sedikit demi sedikit, lama-lama menggunung’ kebiasaan ini jika terus dilakukan maka bukan tidak mungkin akan menjadi kebiasaan bagi para siswa yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.
Lantas, apa yang tenaga pengajar perlu lakukan?
Absennya tenaga pengajar dalam melaksanakan gerakan ini merupakan salah satu peran atas berpijaknya Indonesia di ranking 62 perihal minat baca.
Berdasarkan apa yang saya alami, tenaga pengajar selama gerakan ini berlangsung hanya mewajibkan siswanya membaca buku dalam kurun waktu tertentu.
Namun setelahnya, mereka tidak mengajak para siswa untuk saling berbagi, bertanya, membuka ruang diskusi atas apa yang sudah dibaca dalam kurun waktu tersebut.
Padahal, jika tenaga pengajar melaksanakan kegiatan ini, alhasil siswa pun akan tergerak untuk berpikir secara kritis, dan meningkatkan rasa ingin tahu dalam ruang diskusi mengenai literasi tersebut.
Gerakan ini punya banyak sekali potensi apabila dilaksanakan dan dikembangkan dengan baik. Jika dilihat secara visioner, maka bukan tidak mungkin gerakan ini akan melahirkan generasi yang memiliki pengetahuan luas, minat baca yang tinggi, kecintaan terhadap sastra, karya tulis yang otomatis akan melahirkan pula generasi yang memiliki kecerdasan intelektual.
Maka dari itu, alangkah lebih baik apabila otoritas di dunia pendidikan dan para tenaga pengajar memberikan fokusnya untuk mengembalikan gerakan ini, mengembangkannya, dan memaksimalkann segala upaya agar Indonesia memiliki generasi yang melestarikan budaya baca dan kecintaannya terhadap sastra.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”