Media sosial saat ini sudah sangat melekat dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Kita dapat menggunakannya sebagai media komunikasi, menjadikannya wadah untuk menyebarkan informasi, dan kita dapat menyuarakan opini kita secara bebas. Kemudahan dalam mengakses dan menggunakannya membuat semua orang dari segala usia, bahkan yang sudah sepuh atau masih anak SD seringkali terlihat sibuk dengan gawai masing-masing, sekedar mengecek notif ikasi whatsapp atau membuka facebook. Hal ini mengakibatkan persebaran berbagai informasi yang sangat cepat dan tanpa batas.
Beberapa minggu lalu, kita dihebohkan dengan berita tentang seorang siswi SMP yang “dikeroyok” oleh 12 siswi SMA yang cukup menggemparkan, lantaran korban (Audrey) kabarnya dianiyaya dan kemaluannya dirusak. Berita seperti ini sudah tentu menghebohkan masyarakat karena menyangkut hak asasi manusia, jadi siapapun yang mendengar berita tersebut pasti akan terpancing emosinya. Dengan kekuatan media sosial, berita tersebut sukses menjadi viral. Mulai muncul tagar #justiceforaudrey di berbagai media sosial bahkan sampai muncul sebuah petisi untuk membela korban dan meminta perlakuan yang adil untuk kasus tersebut.
Namun, beberapa waktu setelahnya pula muncul berita yang tak kalah menghebohkan ketika hasil visum korban menunjukkan tak ada masalah dengan kemaluannya, luka dan lebam di tubuhnya pun tidak begitu parah. Begitu pula berita tentang “dikeroyok”, menurut kemendikbud, berita tersebut merupakan sebuah hoax atau kejadian yang dibesar-besarkan dan disebarkan oleh sebuah akun media sosial. Awal mula dari masalah tersebut juga terkait dengan media sosial, dimana korban dan pelaku saling balas berkomentar, bertikai dan akhirnya terjadilah pertengkaran secara fisik.
Berita yang simpang siur ini membingungkan masyarakat akan fakta dari kejadian tersebut, dan menimbulkan pertanyaan: apakah pelaku sepenuhnya salah? Sebab pasti ada alasan kuat hingga pelaku melakukan hal tersebut kepada korban. Kembali muncul tagar lain #audreyjugabersalah di berbagai media sosial.
Dari kasus ini, kita dapat mempelajari beberapa hal. Yang pertama, pastikan saat kita ingin mem-posting sesuatu di media sosial, apa yang kita sebarkan dapat menjadi dampak positif bagi orang yang melihat atau membacanya, atau setidaknya, tidak memberikan dampak negatif. Apa yang kita tampilkan di media sosial merupakan citra diri kita, jadi jika kita sering menyebarkan kata-kata yang negatif, seperti Audrey, orang lain juga akan memandang kita sebagai seseorang yang bersifat buruk. Dampaknya dirasakan oleh orang lain maupun diri kita sendiri.
Kedua, kita harus dapat mengendalikan emosi kita dan lebih berhati-hati dalam menanggapi segala sesuatu sehingga kasus seperti ini tidak akan terulang kembali. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan kemauan masyarakat untuk fact-checking setiap informasi yang diperoleh secara mendetil sehingga tidak akan salah paham terhadap informasi yang diterima, serta berpikir kritis dan matang sebelum bertindak. Ika akan menyebarkan sebuah informasi, tidak lagi mengandalkan post-truth untuk memancing emosi orang lain sehingga mereka melakukan hal yang tidak seharusnya dan bisa dicegah.
Semuanya dapat dimulai dari diri sendiri, agar kita dapat menggunakan media sosial dengan bijak. Sebagai anak muda terutama mahasiswa, kita harus turut berpartisipasi aktif dalam menggunakan media sosial secara positif, dengan membangun relasi yang baik dengan orang-orang yang kita temui di media sosial, menggunakannya untuk mengkampanyekan sesuatu yang positif dan hal lain yang bermanfaat. Dengan demikian orang lain dapat mencontoh kita, mereka menggunakan media sosial dengan lebih baik, kemudian terbentuklah komunitas yang baik pula. Semakin banyak orang yang bijak menggunakan media sosial, citra negara juga akan baik di mata orang lain.
Kristya Dewani, mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang- Jawa Timur
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”