Rasanya Bertahun-tahun Menempa Diri di Pesantren, dari Sudut Pandang Seorang Santri

rasanya hidup di pesantren

Pengalaman hidup di pesantren dan menjadi seorang santri memiliki cerita yang tak akan pernah terlupakan. Perjalanan hidup selama  menjadi santri memberikan kesan yang istimewa bagiku. Karena di sana, ada berbagai pengalaman yang saya dapatkan.

Advertisement

Sebenarnya sejak saya TK sampai dengan Madrasah Ibtidaiyah (setara dengan SD–red) saya tidak pernah berpikir untuk sekolah sekaligus mondok. Sebab setahu saya kegiatan di pondok itu monoton. Isinya hanya ngaji, ngaji dan ngaji tanpa ada kebebasan waktu sehingga seringkali para santri menyebut pondok itu sebagai penjara suci. 

Ketika saya sudah lulus Madrasah Ibtidaiyah saya diminta kedua orang tua melanjutkan ke sekolah swasta. Namun setelah beberapa hari tiba-tiba dari hati kecilku muncul sebuah niatan untuk mondok. Kemudian saya memberi tahu niatan tersebut kepada kedua orang tuaku. Ternyata kedua orang tuaku mendukung niatanku tersebut.

Setelah saya sudah masuk dan menjadi santri, hari pertama, kedua, hingga tak terasa sudah masuk satu bulan pun saya belum merasakan kenyamanan hidup di pesantren. Hingga saya sering menyendiri dan bergumam,

Advertisement


"Ya Allah ternyata seperti inilah hidup di pesantren yang apa-apa serba sendiri. Jjauh dari orang tua, saya ingin pulang!" 


Seiring berjalannya waktu, hampir 6 bulanan lebih saya mulai merasakan kenyamanan dan menikmati kehidupan di pesantren. Sebab niat ini memang berawal dari saya pribadi, maka niat itulah yang membuatku semangat untuk menjalani kehidupan di pesantren.

Advertisement

Pengalaman dan kesan apapun yang pernah saya alami di pesantren, memberikan banyak pelajaran baik suka maupun duka. Hidup di pesantren mengajarkanku bagaimana cara menjadi pribadi yang mandiri, jauh dari keluarga, saudara, dan sahabat yang selalu menemani. 

Berbicara tentang kebersamaan, kebersamaan di pesantren terjadi antara santri yang satu dengan santri yang lainnya sangatlah kuat seakan-akan mereka sudah menjadi keluarga yang selalu bersama. Saya ingat, ketika ada orang tua santri yang datang untuk mengunjungi anaknya, pasti wali santri tersebut membawakan nasi untuk anaknya dan santri lainnya yang tinggal satu kamar. Dari bungkusan nasi itulah yang menjadikan sebuah kebersamaan santri terlihat semakin erat.

Tidur bersama, saling berebut tempat tidur, saling berbagi cerita sebelum tidur, hingga saling berebut selimut menghiasi kebersamaan para santri di saat sebelum tidur. Saya bangga menjadi santri. Karena dengan menjadi santrilah saya menjadi tahu tentang ilmu agama, merasakan nikmatnya kebersamaan, dilatih untuk menjadi orang yang sabar dan sederhana, dididik menjadi insan yang lebih agamis. Dan saya bangga menjadi santri karena dari santri saya tahu bahwa ilmu di dunia dan ilmu akhirat haruslah seimbang agar tidak salah dalam melangkah.

Terima kasih untuk bapak dan ibu yang selalu mendukung, mendoakan, sekaligus menjadi semangatku saat saya masih tinggal di pesantren. Terima kasih juga untuk Abah Kyai dan Bu Nyai yang telah mengasuh, membimbing, mendidik saya dengan sabar dan ikhlas selama saya masih di pesantren hingga saya menjadi seperti sekarang ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.