Kehidupan Bukanlah Sekedar Penyesalan. Kau Pantas Bahagia dengan Berusaha Memantaskan Diri

(Baca ini seolah-olah kamu adalah pemeran utamanya)

Advertisement

Ketika kau terbangun di pagi ini, kau tersadar bahwa waktu terus berjalan. Detik, menit, jam, hari dan juga minggu terus berganti tanpa mau menunggumu yang masih terpuruk dalam kisah lama. Matamu sembab karena semalam menangisi dia yang telah pergi. Tidak pergi begitu saja, namun menorehkan bercak-bercak luka yang memakan waktu lama untuk sembuh. Yang kadang masih terasa sakit ketika tak sengaja hal-hal manis yang sudah berakhir kembali muncul ke permukaan.

Kau memandang ke sekitar ruangan yang kusam dan sendu. Hanya ada aura-aura kelabu yang menyelimutimu setiap waktu. Dinding usang, kursi, lemari dan jendela dengan kaca retak yang menghiasinya. Sebelumnya tempat ini sudah cukup nyaman. Namun setelah sekian lama kau terbaring di sana, kau hanya temukan luka-luka akibat janji-janji yang pernah terucapkan. Semakin lama-semakin redup karena debu-debu kepercayaan menghalangi cahaya yang hendak masuk ke dalam.

Lalu kau berjalan menuju kaca, di mana kau bisa menatap dengan leluasa siapa dirimu. Kau temukan sosok menyedihkan di hadapanmu. Ia menatapmu dengan sedih, tak ada semangat, wajah pucat dan mata yang sayu penuh dengan kesedihan. Berbeda dengan waktu dulu. Tidak ada lagi lesung pipi yang muncul saat dua sudut bibirmu tertarik sempurna, tak ada lagi lengkungan yang muncul karena kau bahagia, tidak ada lagi binar bola mata kecoklatan yang bergelora. Hanya ada bayangan kaku menyedihkan yang muncul saat itu.

Advertisement

Akhirnya kau menyadari, itu adalah dirimu sendiri.

Kau menangis. Meratapi segalanya yang telah terjadi. Mengutuk segala kepercayaan berharga yang telah disia-siakan, mengutuk kasih dan sayang sempurna yang telah diacuhkan, dan mengutuk pengorbanan yang dibuang tanpa rasa peduli oleh dia yang tak bertanggung jawab. Semua itu terasa sakit. Dadamu remuk, hancur dan terluka tanpa berdarah sedikitpun. Benar-benar tersisa serpihan-serpihan kecil yang tak mungkin kau bangun kembali.

Advertisement

Kau pukul dinding di hadapanmu sekuat tenaga hingga tanganmu berdarah. Luka besar yang bahkan tidak terasa lebih sakit dari luka hati yang menyebabkan sakit jiwa. Pesakitan yang membuatmu terlalu lama tenggelam hingga tak menghiraukan waktu, keadaan bahkan dunia yang kau miliki. Kau dikuasai rasa takut ditinggalkan oleh sesuatu yang memang sudah lama pergi dan bahkan menghilang.

Perlahan kau seka rambut yang menjuntai menutupi separuh wajahmu. Kemudian membasuh wajahmu dengan air. Kau berkata pada bayangan di depanmu. Jangan kalah, jangan takut, jangan menyerah. Tetes-tetes air luruh membawa serta kepedihanmu. Seperti ditampar rasa dingin yang menjalar kau membuka matamu. Tidak hanya sekedar matamu, namun juga mata hatimu. Karena kau tak ingin dirimu terlalu lama tersungkur di ruang gelap yang kau gali sendiri dan kau harus bergerak ke arah cahaya.

Kau mengerti meski kau terpuruk, kau menangis, kau berteriak sekuat tenaga, siapapun tak akan peduli. Kau yang berjalan, ini hidupmu, dan hanya kau yang bisa merubah segalanya, kau yang menentukan apa kau tetap terpuruk atau mencoba berjalan walaupun kau belum benar-benar siap. Yang harus kau pikirkan hanya satu, kau mampu dan kau berjalan ke arah cahaya, bukan sebaliknya.

Kau mulai melangkah kemudian kau membuka pintu yang telah lama kau biarkan tertutup dan berdebu. Yang terlihat hanya lorong usang menuju sebuah cahaya di ujung sana. Seketika angin menyerbumu, hampir menjatuhkanmu, mendorongmu untuk tetap berada di kegelapan. Kau terjatuh dan kembali terluka, namun keberanian membuatmu kembali bangkit. Kau berdiri dan dengan tegar melawan angin hingga kemudian hembusan angin berakhir.

Dengan keinginan yang teguh kau melangkah ke arah cahaya. Satu, dua, tiga langkah dan seterusnya tanpa jeda. Meski terluka dengan sabar kau hadapi rasa perih. Meski berat kau lawan rasa lelahmu. Kau semakin kuat, kau semakin dekat dan semakin jauh dari tempat yang kau tinggalkan. Jalan semakin sempit, semakin berbatu hingga kau terlalu letih untuk melangkah. Peluh bercucuran dari keningmu dan kau tak lagi mampu bertahan.

Tiba-tiba kau berhenti.

Keraguan muncul saat kau hampir berada di ujung lorong. Hanya beberapa langkah lagi. Kau tergoda melihat ke belakang dan kau ingat akan hal manis yang kau tinggalkan. Saat itu kau merasa, kau belum sepenuhnya rela melepas keindahan yang pernah ada. Kemudian kau putar langkahmu, menuju tempat dimana sebelumnya kau merasa nyaman, tempat dimana sebelumnya kau selalu pulang, tempat dimana kau tertidur cukup lama berselimut luka-luka pesakitan yang menaungimu.

Satu, dua, tiga langkah, dan seterusnya. Kemudian kau berhenti.

Cahaya itu kembali berkilauan. Seakan memanggil dan meyakinkan kau untuk tetap maju ke depan. Karena begitulah seharusnya hidup. Semua melangkah maju, bukan mundur. Keputusan kembali ke tempat yang membuatmu nyaman tidak akan membawamu pada hal indah yang menunggumu di depan sana. Kau menangis tersedu-sedu. Bimbang karena hati dan otakmu tidak bersinkronisasi. Hatimu ingin kau bahagia dan meninggalkan luka, sementara otakmu dipenuhi logika akankah tempat baru nanti akan lebih indah dari sebelumnya.

Kau terduduk di tengah lorong. Memeluk lututmu dengan kesepian, berharap ada penyelamatan, berharap ada petunjuk mana yang harus kamu lakukan. Kemudian kau menarik nafas panjang, menghempaskannya dengan pelan sehingga darah dalam jantungmu terpompa lebih banyak. Merilekskan otakmu yang tak mau kalah, menguatkan hatimu yang telah lelah, menyadarkanmu tentang arti sebuah salah. Matamu terpejam mengumpulkan keberanian. Kemudian kau pun kembali berbalik dan melangkah maju.

Cahaya indah itu berpendar semakin cerah. Menerangi seperempat lorong yang tadinya gelap gulita. Mengenai tubuhmu yang masih penuh luka. Kau melangkah mendekat dengan keyakinan. Tak peduli apa yang ada di depan. Kau tetap berjalan, kau tahu cahaya tak akan pernah salah karena dimana ada cahaya, disana ada kehidupan, dan kau ingin hidup. Kau tahu cahaya tak akan menyakitimu, namun memberimu penerangan agar kau tahu jalan yang benar dan yang salah.

Perlahan tubuhmu bersinar mengikuti cahaya. Luka-luka yang menganga tak lagi terasa. Ini benar dan kau berhasil mengalahkan ketakutanmu, meninggalkan rasa nyamanmu, mengikuti jalan yang terang, bukan lagi tinggal di kegelapan sempurna yang membuang waktu dan energimu. Kemudian kau melewatinya. Ujung lorong gelap yang menawanmu sekian lama dan kemudian rencana Tuhan terlihat nyata.

Kau temukan dunia baru. Sebuah tempat untuk pulang yang nyaman, yang mampu membuat segala penyesalan terabaikan. Kau bisa kembali menemukan dirimu yang hilang, lengkap dengan kedewasaan yang kau dapatkan selama kau menempuh perjalanan. Kau temukan apa yang kau butuhkan tanpa harus sulit mencari. Kau begitu bahagia sampai kau lupa bahwa kau pernah merasakan sebuah rasa bernama sakit. Kau merasa sempurna walau sebenarnya cahaya yang menyempurnakannya.

Kau menyadari banyak hal saat telah berada di titik ini. Bahwa kehidupan bukanlah sekedar penyesalan, bukanlah jadi apa adanya, bukanlah hanya diam meratapi apa yang terjadi. Kau pantas bahagia dengan cara berusaha, berusaha memantaskan diri agar pantas bersanding dengan yang terbaik. Kau harus mengalahkan segala ragu dan takut, karena Tuhan selalu punya rahasia besar dibalik kesulitan yang kau alami. Tersenyumlah dan buktikan kau mampu, kau berhak dan kau yang terbaik.

Untukmu yang masih berada di ruang gelapmu, masih kah ingin tetap bertahan disana? atau coba berjalan dan menemukan cahaya yang menyempurnakanmu?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta kopi dan tidur siang - Pensiunan traveler - Bukan orang baik - Orang biasa yang ingin punya rumah di Jogja

8 Comments

  1. Asep Nanang berkata:

    Tulisannya penuh dengan majas dan kiasan. Bagus mbak 🙂

  2. Ayyunii Sofiyana berkata:

    terima kasih 🙂