[CERPEN] Kebahagiaan Sempurna Ada Dibalik Kata Maafmu

cerpen remaja

“Makanya, jangan main kabur aja. Gentle, tanggung jawab”

Advertisement

Aku tidak berani menatapnya. Kalimat itu cukup menohok. Bagiku, sarat makna.

“Malah diam, ngomong dong mas. Katanya ada yang ingin diomongin”

“Tadinya, tetapi apa masih perlu ya?”

Advertisement

Plin plan, dari dulu kamu mas. Belum berubah. Cuma bikin orang penasaran. Bahagia sekejap, lalu menangisnya lama”

Advertisement

Kalimat akhir Ria barusan membuatku merasa bersalah. Benar, aku yang mengawali, tetapi itu juga karena dia memang terlalu mempesona di mataku. Sebenarnya aku ingin bertahan, menjadikan setiap apa yang kurasakan itu hanya menjadi milikku. Aku takut melukainya. Atau mungkin lebih tepatnya, aku takut kehilangan dia. Aku takut ia membenciku, dan aku lantas kehilangan semua pesona itu.

Aku mengaguminya, apa adanya, karena memang semua hal yang ada padanya itu istimewa di mataku. Senyumnya, judesnya, tatap matanya, rambut kuncir duanya, poninya, bahkan caranya mengalungkan tas di bahunya juga istimewa.

Setiap kali aku melewati jalanan rumahnya, hatiku sudah bergetar, bahkan ketika baru ujung sengnya yang terlihat. Absurd kan? Begitulah cinta. Gejolaknya bikin orang kehilangan kesadaran. Mabuk laut.

Ada di dekatnya, meski ada juga teman-teman yang lain, itu sudah membuatku bahagia. Mendengar dia bicara, sembari sesekali kulayangkan pandanganku padanya. Amboi, rasanya, terbang! Terlalu berlebihan ya? Coba saja! Apalagi, Ketika ia juga menatapku. Bersamaan, rasanya bikin kelimpungan. Lalu aku bereaksi di luar kendali. Geli sih, tapi nikmatnya, tak tertandingi. Ujung-ujungnya besok kuulang lagi.

Lewat seorang teman kuberanikan diri menelisik perasaan hatinya. Justru bukan dengannya aku kini banyak bicara. Tetapi sahabat sipembawa pesan. Meski masih serba misterius, tetapi aku selalu senang membicarakannya.

“Kirimi dia surat!”

Aku menggeleng.

“Kenapa?”

“Aku takut Kris”

“Kau lihat kan dia tersenyum ketika melihatmu. Emang dia menghindari kamu, nggak kan? Apalagi?”

Andainya teman yang kupanggil Kris itu tahu, ada banyak coretan yang kurencanakan untuk menyuratinya di meja belajarku. Bahkan beberapa diantaranya sudah berada di amplop wangi bergambar bunga. Kelak Ketika keberanianku sudah ada, akan kukirimkan pada gadis pemilik pesona itu. Tetapi kelak, bukan sekarang.

“Terus kapan kamu akan berterus terang?”

“Nanti jika waktunya sudah tepat Kris”

“Jiah, keburu kiamat”  Lantas ia tertawa.

Begitulah aku. Berharap keajaiban menghampiri, tetapi ketika keajaiban itu benar-benar datang. Aku tidak ada di tempatnya. Aku benar-benar kehilangan mata indah, lengkap dengan seyum manis dan rambut ikal dengan kuncir yang selalu menawan itu. Bukan dia yang meninggalkan, tetapi aku yang tiba-tiba harus pergi.

“Semuanya percuma mas jika kita bicarakan sekarang”

“Aku tahu”

“Lagipula kita tidak mungkin memperbaikinya kembali”

“Mungkin tidak perlu harus seperti dulu”

“Maksudmu mas?”

Ria terdiam, aku juga. Sepertinya ia sedang mencoba memahami ucapanku barusan. Tiga puluh tahun, tetapi aku masih melihat guratan pesona itu. Aku pernah sangat merindukannya.

“Mungkin aku pernah melukaimu, itu sangat mengganggu pikiranku“

“Mas, tunggu”

Ria memotong kalimatku.

“Keadaan kita sudah berbeda mas”

“Ria, dengarkan aku. Ini bukan tentang rasa yang ingin kukembalikan, bukan itu. Jika itu, biarlah itu menjadi milik masa lalu. Tetapi ini tentang rasa bersalah yang pernah kuperbuat padamu. Ini tentang beban pikiran yang menggangguku. Aku meninggalkanmu, karena aku takut kehilanganmu,” nadaku meninggi, karena aku tidak ingin Ria menjedaku.

“Oke, jika kamu bertanya apakah Ketika kamu pergi aku terluka. Ya, aku terluka mas!”

Kemudian ia terdiam. Seperti menahan sesak di dadanya. Kulihat bulir bening mengalir di pipinya.

“Ria maaflkan aku. Kala itu aku masih terlalu muda untuk dapat mengelola perasaanku”

Perlahan, Ria menatapku.

“Terus maumu apa mas?”

“Aku hanya ingin kamu memaafkanku. Supaya kebahagiaanmu dan kebahagiaanku sempurna Ria”

Kalimat itu akhirnya keluar juga. Inti dari semua perjuanganku untuk menemukan dan menemuinya hari ini. Tanpa permintaan maafku, dan kesediaannya memaafkan, ada yang mengganjal dalam hidupku. Kini dan barangkali nanti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis lepas bisa ditemui di : juliusdeliawan@gmail.com