Di sore hari yang hujan ini, aku harus berlari dari gedung kantorku menuju halte bus. Ternyata banyak orang yang sedang menunggu bus. Aku mencoba menerobos keramaian itu, agar aku bisa aman dari derasnya hujan. Satu persatu bus datang, tapi selalu penuh ditambah posisiku yang berada di belakang, membuatku selalu didahului oleh orang lain.
Di saat aku masih berdiri menanti kedatangan bus, datanglah seorang anak penjual keripik menghampiri kami yang berada di halte. Anak itu memakai jas hujan plastik berwarna merah untuk menutupi tubuhnya dari basahnya air hujan.
Anak itu menawari satu persatu orang yang ada di situ, termasuk aku. Ia menawari kami sebungkus keripik singkong. Seperti yang lain, aku pun menolak tawaran anak itu. Bukan tanpa alasan aku menolaknya, aku sedang tidak memakan sesuatu yang keras karena gigiku ada yang rusak setelah aku mengalami kecelakaan.
“Keripiknya, Kak?” tawar anak itu pada seorang laki-laki yang juga sedang menunggu bus. Laki- laki itu kemudian membungkuk untuk melihat keripik yang dijual anak itu.
“Ini berapa, Dek?” tanyanya. “Sepuluh ribu aja, Kak!” jawab anak itu. Entah kenapa pandangan mataku tertuju pada mereka. Aku terus mamandangi apa yang mereka lakukan dan sepertinya hanya aku yang memerhatikan mereka.
Terlihat dari raut wajah laki-laki itu seperti merasa iba pada anak itu. Di malam seperti ini, ditambah turun hujan, anak seusia dia masih harus menjajakan dagangannya. Mungkin itu yang ada di pikiran laki-laki itu.
“Ya udah, saya beli semuanya aja, Dek!” ucap laki-laki itu memborong semua keripik itu. “Yang bener Kak? Wah makasih Kak,” ucap anak itu senang. Ia yang tak menyangka dagangannya akan habis.
“Beneranlah, ayo jadi berapa semuanya?” tanya laki-laki itu sambil tersimpul senyuman. “Semuanya 80 ribu aja, Kak,” jawab anak itu. Lalu laki-laki itu memberikan selembar uang 100 ribu pada anak itu. Si anak berusaha merogoh tas kecilnya untuk memberikan kembalian. Kemudian, laki-laki itu seperti membisikkan sesuatu pada anak itu dan membuat anak itu tersenyum lebar.
Tak lama bus pun datang. Kami semua yang menunggu, menaiki bus itu termasuk laki-laki itu. “Kak terima kasih ya!” sahut anak penjual keripik pada laki-laki itu ketika hendak naik ke dalam bus. Mereka berdua saling melambaikan tangan dan memberikan senyum. Aku merasa memandangi mereka membuat hatiku tenang. Sudah lama aku tidak melihat hal-hal seperti ini semenjak aku memiliki kendaraan sendiri.
Aku dan laki-laki itu berada di bus yang sama. Dia duduk sambil memangku plastik besar yang ia beli tadi. Sesekali aku melirik laki-laki itu. “Baru kali ini, aku melihat orang sesuka itu dengan keripik,” batinku. Tak sadar, aku meliriknya lagi dan saat itu tepat ketika ia sedang tersenyum sambil memandangi plastik besar yang ia bawa. Terlihat ada rasa kepuasaan dalam dirinya, tapi aku tak tahu apa.
Waktu menunjukkan hampir pukul 09.00 malam dan aku masih ada dalam bus. Kini bus sedang berhenti di sebuah halte untuk menurunkan atau menaikkan penumpang lagi. Ada beberapa orang naik, yang salah satunya adalah teman laki-laki itu.
“Eh Toni, lu baru balik?” tanya temannya yang baru naik. Ternyata laki-laki yang membeli keripik tadi bernama Toni. “Iya nih! Baru kebagian bus, tadi penuh terus,” jelas Toni.
Teman Toni itu memandangi bawaan yang ia bawa. “Tumben banget lu bawa keripik? Lu kan nggak suka keripik,” heran temannya.
“Ah ini, gue beli buat kalian. Kalian pasti butuh ini untuk main game nanti,” kata Toni sambil mengangkat alisnya.
“Wah, lu baik banget dah ama kita! Makin semangat nih buat nanti begadang hahaha,” tawa sang teman.
Di dalam bus ini, aku hanya menjadi pendengar di antara mereka. Aku terlalu penasaran dengan laki-laki yang bernama Toni itu hingga aku lupa bahwa aku seharusnya berhenti di halte sebelumnya.
Aku harus mencari kendaraan lain untuk bisa cepat kembali ke rumah. Aku memesan ojek online dan akhirnya aku tiba di rumah.
“Hari ini aku melihat orang baik,” batinku. Aku mencoba menyimpulkan bahwa membantu sesama bisa membuat kita mengesampingkan ego, contohnya yang dilakukan oleh laki-laki yang bernama Toni. Ia membeli semua dagangan anak penjual keripik itu, padahal ia tidak suka memakan keripik. Hebatnya lagi, selain membuat si anak pedagang keripik senang, ia juga bisa menyenangkan teman-temannya. Ditambah lagi, aku melihat rasa puas dan bahagia yang dirasakan Toni sendiri. Semoga aku bisa melakukan hal yang sama dan membantu banyak orang dengan hal sederhana.
“Sepertinya, aku akan tidur nyenyak karena apa yang aku lihat hari ini,” ucapku sambil memeluk bonekaku.
Di akhir pekan ini, aku berencana untuk bersepeda dengan Kia. Sebenarnya ini kali pertamaku bersepeda kembali setelah bertahun-tahun tak bersepeda. Sebenarnya, sepeda yang aku pakai saat ini adalah sepeda milik Kia. Kami berdua berencana bersepeda mengelilingi komplek perumahan saja.
“Mina, nanti kita mampir sebentar untuk sarapan bubur di ujung jalan sana, ya! Katanya bubur ayamnya enak,” ajak Kia padaku.
“Ke tempat yang banyak rukonya itu?” tanyaku memastikan lokasinya. “Iya di situ,” jawab Kia mengiyakan.
Komplek perumahanku cukup besar dan itu membuatku banyak berkeringat padahal pagi ini mendung. Lambat laun mendung semakin menjadi, sepertinya akan turun hujan. Kami berdua mempercepat ayuhan sepeda kami. Namun ternyata hujan pun turun saat kami masih mengayuh sepeda. Hujan turun begitu deras.
Dari kejauhan aku melihat sebuah warung kelontong yang memiliki teras yang cukup luas dan cukup untuk aku dan Kia berteduh. “Berteduh dulu di warung itu!” sahutku sambil menunjuk ke arah warung itu pada Kia.
Aku dan Kia merasa tak enak pada sang pemilik warung, karena hanya berteduh tanpa membeli dagangannya. Kami berdua berdiri sekitar dua meter dan membelakangi warung tersebut. Aku dan Kia membalikkan badan dan mencoba untuk membeli sesuatu. Aku sedikit terkejut melihat dagangan warung itu cukup lengkap. Ada berbagai sayuran dan bahan-bahan untuk membuat kue. Mataku terbelalak dengan apa yang aku lihat.
“Kia, aku mau belanja ah di sini! Di sini lengkap,” bisikku pada Kia. “Iya bener Kia. Pulang dari sini kita bikin kue aja. Ke tempat bubur mah lain kali aja, ya?” ucap Kia setuju. Setelah itu, kami pun pulang.
“Ada untungnya juga kita neduh dari hujan di warung tadi ya,” ucap Kia puas. “Iya bener banget, niat awal kita cuma beli sebagai formalitas karena merasa nggak enak pada pemilik warung. Eh, malah belanja beneran, bisa dibilang ngeborong ini mah,” ujarku kesenangan. Selama perjalanan menuju kembali ke rumah. Aku menyimpulkan, bahwa aku mengalami hal yang sama dengan laki-laki yang aku temui kemarin malam di halte. Itu semua terjadi ketika aku berteduh dari hujan dan setidaknya aku bisa membantu orang lain.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”