Zaki membangunkanku tepat jarum panjang di penghujung angka 12 di jam dinding. Hari pukul tujuh pagi kurang sedikit. Tanganku mengucek-ngucek mata mengurangi rasa kantuk yang amat berat. Tak tahan rasanya. Namun apa daya, siang nanti kami akan pergi ke Way Kambas. Entah, tadi malam tiba-tiba Zaki mengajakku untuk pergi ke sana. Akhirnya, kuiyakan saja kemauannya.
Siang tiba, matahari sedang terik-teriknya. Panas tak kerauan. Selesai mandi, makan siang, dan salat, kami berangkat dengan kendaraan roda dua, tak lain tak bukan motor. Kalau sepeda, bisa-bisa pegal tujuh hari tujuh malam. Sebab, jauhnya bukan main. Kunci motor kuberikan kepada Zaki. Ia raih dengan penuh keyakinan membawa motor itu hingga tiba di Way Kambas. Zaki siap, aku pun. Motor digas Zaki, perlahan menyusuri jalanan panas, mengkilap pula.
Ban motor berputar, menapaki aspal siang ini. Kami tahu, kalau Way Kambas tutup sore hari. Namun anehnya, kami memaksakan berangkat siang. Alhasil, jadilah Zaki bawa motor dengan kebut. Kencang. Hampir-hampir helm hitam yang kupakai terbawa angin. Syukur, ikatan kencang di bawah dagu menahan tekanan angin yang akan membawa helm terbang. Kalau saja terbang, bisa-bisa dikira layangan oleh pengguna jalan.
Motor kebut bukan berarti ia tak memperhatikan jalanan, rambu-rambu, hingga kendaraan lain. Matanya jeli melihat jalan, kepalanya menengok-nengok melihat rambu, matanya pun sesekali melirik kaca spion untuk melihat kendaraan di belakang. Barangkali ada motor kebut, ambulans melintas, blangwir merah melintas dengan kebut, atau malah tank baja kepunyaan tentara ingin menyalip.
Tepat di Metro, tampak persawahan hijau meluas. Di beberapa petak ada yang siap panen. Warnanya sama: kuning kecokelat-cokelatan. Burung-burung berterbangan ke sana kemari. Aku yakin, burung-burung itu siap mematuk-matuk padi yang ditanam para petani. Persis kancil mencuri mentimun. Motor kian jauh, matahari masih panas, namun redup sesekali. Zaki terus tancap gas. Sesekali mengerem bila ada yang menghalangi di depan, pastinya. Kendaraan yang kami salip tak ada habis-habisnya. Salip satu, masih ada di depan, salip satu, masih ada di depan, begitu terus.
Angin yang menyelinap sebab motor kebut lantas tak membuat badan gerah karena siang terik. Angin-angin yang menyilinap masuk melalui rongga-rongga jaket dan kaus yang kupakai, mampu menangkal gerah sedikit pun. Sering kali kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kali ini pukul tiga sore. Belum juga kami sampai. Motor kian dikebut. Tak ingin kami pulang nanti malam di jalan. Bahaya!
Jalanan cukup lebar tepat di depan, sebelah kiri. Gapura besar berdiri. Tulisan Way Kambas nampak di plang yang berdiri kokoh. Kami masuki jalanan itu. Berbatu. Grudak! Gruduk! Suara bebatuan bunyi kala dihantam ban. Dengan letih tangan Zaki terus di gagang gas. Jari telunjuk dan tengah yang berada di tangan sebelah kanan secara berdampingan sesekali menarik rem. Begitu juga dengan kaki kanan bagian depan, menekan. Menyusuri jalanan. Kanan-kiri rumah-rumah warga. Kian masuk, kian masuk, suara-suara khas hutan mulai terdengar. Cuitan-cuitan burung terdengar di sana-sini. Hari kian sore, perasaan kian dag-dig-dug.
Dari kejauhan tampak portal besi menghalangi. Pos hijau berdiri kokoh di pinggir jalan sebelah kiri. Bertanya-tanya kami, “Kira-kira bayar berapa nih?”
Tiba di pos hijau, kami berhenti persis di depan kaca pos itu. Seseorang dari dalam pos mananyakan sambil menyodorkan kepalanya ke kaca, “Berapa orang, Mas?” ucapnya dengan menatap kami.
“Dua, Pak,” ucap Zaki dari belakang setang motor.
Lantas petugas itu menyobek dua kertas tiket dari buku tiket yang siap sobek. Setelah membayar dan meraih kertas itu, bergegas kami melanjutkan penyusuran jalanan menujut titik pusat Way Kambas. Kanan-kiri tumbuh pepohonan. Rimbun. Benar-benar hutan yang dilindungi. Sesekali terdengar suara beruk sahut-menyahut. Suaranya memecah sepinya jalanan. Sesekali gerembolan monyet tampak berkumpul di pingir jalan, tampak menanti-nanti pengunjung melempar kacang atau makanan lainnya dengan baik hati.
Sedikit takut dan agak merinding kami sebab jalanan yang begitu sepi, dengan kanan-kiri tumbuhan rimbun. Lebih lagi kalau-kalau ada gajah yang berdiri dengan gagah di tengah jalan, sudah pastilah menakutkan. Dari kejauhan mulai tampak titik utama Way Kambas. Kian masuk, kian tiba sebentar lagi kami dibuat geger.
“Kok sepi?” ucap kami saling menanyakan. Benar-benar sepi. Sampai-sampai gajah yang terlihat pun hanya satu dua, itu pun selesai mandi. Pengunjung pun tak nampak, rasa-rasa hanya kami berdua. Kulihat sekeliling, kosong. Kami mengarah ke parkiran. Tampak satu mobil, tapi tak tahu ke mana pemiliknya.
“Apa yang mau dilihat, Sobat?” ucapku.
Sebab waktu kian sore, matahari kian tenggelam, tanpa berlama-lama kami putuskan putar balik dan pulang. Maka jadilah hasrat terpenuhi oleh Zaki, Way Kambas, benar-benar Way Kambas, tanpa gajah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”