Seluas benua Asia sebagai simbol keagungan Tuhan aku mencintaimu, namun hanya terbalas seluas satu langkah kaki dari dirimu. Sepanjang Sungai Nil aku merindukan ragamu, namun hanya terbalas satu jari antara jari tengah dan kelingking rasa rindu mu kepadaku. Cinta telah berhasil membutakan mata hatiku di saat ragaku sedang membutuhkan petunjuk untuk mencari cahaya masa depan.Â
Dirimu yang dulunya pernah berjanji untuk tetap di sisi, malah memilih pergi dengan orang lain pilihan ego sendiri, hingga membuatku menepi tak sadarkan diri. Cinta yang sudah dipertahankan dengan jutaan keringat, harus lenyap begitu saja dan memilih pergi untuk berhenti mengingat. Aku kehilangan cinta yang dulu pernah berjanji untuk tetap berjuang bersama.Â
Dahulu pada saat kita masih saling mencinta, terpisah jarak dengan terhubung doa, aku pernah memetik namamu beberapa kali saat aku sedang berbicara dengan Tuhan. Mengadukan seluruh keluh kesah perjuangan kita dalam menjalani asmara. Saat aku benar-benar percaya bahwa doa adalah bahasa rindu dan kasih sayang yang paling cepat sampai ke hati tanpa perlu di dengar dan dibaca, namun dalam dapat dirasa.Â
Namun ternyata Tuhan memberikan jawaban berbeda dari apa yang diharapkan. Mungkin cinta kita hanya akan sebatas menjadi pelajaran hidup bagi manusia-manusia masa depan. Namun setidaknya, aku telah berjuang keras untuk mempertahankan dirimu. Yang pada ujungnya, tetap dengan ego sekuat beton memilih pergi dan memilih tidak menengok kembali.Â
Saat kau memilih pergi karena telah bosan dengan cinta yang pernah kita lalui bersama, aku memilih tetap berdiri di dalam lubang kesendirian dengan membiarkan namamu tetap berdetak di dasar jantungku. Walau dadaku terasa sesak karena setiap menit berteriak memanggil namamu, aku tetap memaksa kaki untuk tetap bertahan berdiri. Aku benar-benar terluka telah kehilangan dirimu. Mengapa engkau bosan saat aku sedang sayang-sayangnya?
Cinta memang bisa membuat bahagia dan luka secara acak. Orang yang kita kejar malah memilih memencar. Yang kita sayang malah pergi menghilang, yang dipilih untuk dicintai malah berbalik menyakiti. Dulu seharusnya namamu ku tulis menggunakan pensil biasa saja, biar menghapusnya lebih cepat. Bukan malah dengan spidol permanen seperti saat ini.Â
Pernah berada pada posisi yang hancur-sehancurnya dalam keadaan kaki tergores menggigil namun kamu tetap memilih untuk berlari agar tak kehilangan jejaknya? Dulu aku pernah. Beberapa hari yang lalu sambil menangis tersedu-sedu membayangkan dia yang ingin pamit meninggalkan hubungan kami berdua.
Tubuhnya yang sudah kukenal dengan telak meninggalkan tubuhku yang sudah bagaikan kepingan kaca yang hancur lebur. Aku memohon agar kita dapat bicara baik-baik, agar pisah bukanlah jalan keluar dari setiap masalah. Namun dirinya tetap memilih pergi sambil melambaikan tangan sebagai pertanda sebuah kemenangan karena telah berhasil mematahkan hati seorang manusia yang dulu pernah hampir bersujud menyembahnya.
Mungkin benar pula kata orang lama, saat kau berjuang mencari yang sempurna, maka kau sejatinya telah membuang yang terbaik untuk bersama. Itulah kisah kita, ibarat musim semi yang memesona, namun tak mampu untuk dijelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang buram dan tersamarkan oleh cinta yang sementara.
Saat aku berlutut di bawah kakimu sambil memohon untuk jangan pernah pergi. Saat perpisahan benar-benar tidak pernah dalam perencanaan masa depan ku, namun kau malah merusak rencana masa depan itu dengan egomu sendiri. Aku mungkin bisa saja bisa ikhlas kehilanganmu, namun ragaku belum tentu setegar itu untuk hidup tanpa dirimu.Â
Kesempurnaan yang kau kejar dalam hidup tidak akan pernah kau temukan selama jatuh cintamu berlabuh kepada manusia. Aku percaya bahwa ketika kau berusaha keras mencari yang lebih sempurna daripada diriku yang saat ini kau tinggalkan, tidak akan pernah membuatmu berpuas dari. Sejatinya, lelah mencari kesempurnaan hingga ujung dunia pun akan tetap berbalas kecewa. Manusia tidak akan pernah sempurna, namun kau tetap bersikeras tak pernah menerima.Â
Manusia itu memang terkadang munafik. Selalu ingin terus dicintai, tanpa tahu caranya untuk membalas perhatian kembali. Selalu ingin menghakimi sesama, tanpa meresapi rasanya luka dihakimi sesama saudara, serta lebih lancangnya lagi, teramat berani merangkai kata kotor untuk memaki, tanpa memahami apa yang sedang terjadi. Dan memilih pergi seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.Â
Apa benar kata orang, jika semakin banyak kita mencintai maka akan semakin banyak pula yang akan menyakiti? Jika takdirnya seperti itu apakah hati ini lebih baik tidak diciptakan oleh yang maha kuasa agar hidup lebih tenang dari yang namanya tersakiti dan terkhianati? Toh mencintai terlalu banyak menghasilkan bumerang untuk diri sendiri.
Apa benar pula kata orang, jika semakin besar usaha kita memperjuangkan orang yang paling dicinta, akan semakin besar pula cobaan dari yang Maha Kuasa? Namun mengapa Tuhan rela merebut sesuatu yang sudah begitu lelah untuk diperjuangkan? Dan akhirnya aku baru paham, jika kebaikan Tuhan tak harus membuat diri ini menjadi bahagia, terkadang ada kebahagiaan yang sengaja dicicil dan ditabung oleh Tuhan, untuk dinikmati pada waktu dan dengan orang yang tepat. Sesederhana itu ternyata konsep konspirasi Tuhan.Â
Tubuh menggigil karena kehilangan. Betapa raga benar-benar paham akan rasanya kehilangan orang yang sangat kita cinta namun memilih tak mencintai kembali. Namun jagat raya seolah menampar diri, bahwa kita memang diharuskan untuk belajar merelakan tanpa harus menyalahkan keadaan. Hingga akhirnya kita memahami sendiri, bahwa merasa kehilangan sebelum raganya sempat dimiliki, rasanya luar biasa sakit, setara dengan ditinggalkan tanpa berpamitan.Â
Jika tahu bahwa takdir manusia tidak selalu berjalan mulus, mungkin saja aku memilih untuk melangkah lebih serius. Namun ternyata itu semua tidak selalu benar. Karena jika takdir sudah mengatakan bahwa tersakiti adalah bahan dari Tuhan untuk menguji, maka manusia pun sudah tidak bisa lagi pergi ke mana lagi.Â
Semesta mungkin ingin menonjok diri sendiri dari rasa yang tak mungkin dipaksakan. Bahwa jika menunggu sesuatu yang tak pantas untuk ditunggu adalah perbuatan yang memakan waktu seperti benalu. Jika kesabaran tak cukup menyadarkan pikiran, mungkin kehilangan adalah obat mujarab untuk menyadarkan.Â
Kehilangan dirinya memang telah menampar dada. Namun aku harus paham bahwa kehilangan memang tidak pernah menjadi objek yang sederhana, bukan pula algoritme matematika yang bisa diselesaikan dengan cara biasa, terlalu sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata, serta terlalu rumit untuk ditelan mentah-mentah.Â
Hingga akhirnya kita tahu, bahwa kehilangan akhirnya mengajarkan kita bahwa tanpa angin pun sebuah sampan harus tetap melaju ke utara. Kehilangan mengajarkan kita untuk tetap berjalan walau peta hidup sudah tak ada pada genggaman. Roda harus tetap berputar, sampan hidup harus tetap berlayar.Â
Jika memang berpisah adalah jalan tengah untuk tidak saling menyakiti, maka tiada kata selain ikhlas yang harus diterima dengan lapang dada. Paling tidak, dalam hubungan kita yang telah kita lalui bersama ini dihancurkan oleh dirimu yang memilih pergi, bukan aku yang memilih untuk tak mempertahankan. Ditinggalkan memang menyakitkan, seperti memakan racun yang akhirnya menelan nyawa secara perlahan.Â
Ilmu medis berkoar-koar tentang rokok yang dapat membunuh raga manusia. Namun justru aku lebih percaya jika cinta yang terkhianatilah yang jauh lebih mujarab membunuh seseorang secara perlahan-lahan.
Namun sudahlah, semua sudah berakhir dengan bijak. Aku yang dulunya berjuang mati untuk mempertahankan, tidak akan pernah menyesal dengan kebaikan yang pernah kulakukan. Dan dirimu yang memilih pergi dengan cara yang tak bijak, semoga tidak ada sesal yang menampar pada kemudian hari. Biarlah kisah hidupku seperti ini, seorang manusia yang telah banyak berjuang dan terlalu sayang, namun bernasib malang karena cinta yang hilang.
Saat aku menganggap bahwa waktu adalah kado terbaik dan terindah, kemudian aku memilih membagi waktu itu bersamamu, harusnya kamu memahami betul bahwa aku telah memberikan sebagian hidup berharga dalam diri yang tak mampu untuk kutarik kembali. Namun kau memilih pergi tanpa permisi, membawa pergi semua janji manis, serta mewariskan luka pedih yang tak mampu untuk digubris.Â
Cinta itu memang rumit, tidak bisa memaksa atau pun dipaksa. Jatuh cinta itu ibarat roda dengan setir kendaraan. Saat aku memilih menyetir menuju barat, namun kamu yang menjadi roda memilih Timur, maka tujuan masa depan tidak akan pernah tercapai. Maka berpisah sudah menjadi jalan yang tepat. Jika suatu saat nanti rasa sesal telah menggores hati dengan pekat, dan kau memilih aku untuk dipeluk erat, mohon maaf dengan sangat, aku sudah tidak sempat.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”