Kita pernah menorehkan cerita kala itu, aku masih sangat ingat. Bahkan itu semua begitu tertanam kuat. Kala itu kau pandai mengambil alih rasa-rasaku. Kau tahu seni dan celahnya, bagaimana aku harus jatuh mencinta tanpa awal yang kuduga. Bagaimana pula kau bisa merancangnya tanpa ku tahu pasti apa maksud di dalamnya,
Itu saja. Sebentar saja hidupku berwarna, lalu mendung datang lagi. Ternyata saat aku benar jatuh, kau tidak lantas mengulurkan tanganmu. Tanganmu sudah milik yang lain, bahumu juga sandaran yang lain. dan aku? ya sudah, jatuh sendiri dan berdiri sendiri.
Aku merasa sangat naif saat itu dan menyalahkan diriku. Namun, ada sisi dimana aku merasa semua kesalahan ini tak seharusnya ditanggung aku. Tuan, andai tidak ada maksud dihatimu, mengapa harus mengorbankan aku? Andai ada manusia lain yang sudah jadi milikmu, mengapa tak bilang padaku? Setidaknya aku bisa menakar dosis perasaanku dan sedari awal bisa membentang jarak denganmu.
Dalam, perasaanku saat itu. Perih, definisi semua itu. Butuh waktu lama bagiku untuk merehabilitasi beberapa bagian dari tubuhku. Hati utamanya, ibarat lego yang tersusun rapi, kau otak-atik, lalu kau biarkan berantakan. Dan sudahlah, tidak menyesal pernah jatuh saat itu. Aku berdiri saat ini berpedoman dengan satu mata kuliah darimu, bahwa aku harusnya jadi wanita jangan punya perasaan se’murahan’ itu.
Menahun, akhirnya aku sembuh. Kau mungkin sekelebat datang dalam pikiranku, namun hanya jadi bahan tertawaanku, bahwa kau pernah jadi history buatku. Kadang terbersit tanya di kepalaku, “Apakah kau pernah sekali saja memikirkan perasaanku?”
Aku yakin, saat itu kita sama-sama tahu. Pernah sekali, bakat intelku kumanfaatkan untuk mencari informasi tentangmu. Kau masih sama baiknya dengan dulu, bahkan kau semakin baik dengan ilmu dan pengalamanmu. Dan kau semakin baik lagi, dengan dia yang masih selalu ada di sampingmu.
Selamat, ternyata kau sekuat itu. Memang seharusnya bukan aku yang kau pilih saat itu. Lagi pula, awalan yang buruk akan mengantarkan kita pada akhir yang buruk juga kan? Itu kasus andai kala itu kau sempat memilihku.
Detik ini, aku masih sama dengan aku enam tahun yang lalu, dengan tanya yang berputar di kepalaku tanpa sempat aku lontarkan padamu. “Apa maksudmu? Apa kau masih ingat aku?”. Kadang aku berandai jika Tuhan pertemukan kita dalam momen tak sengaja. Maka akan timbul lagi tanya, “Apa reaksimu?”.
Sudah, aku hanya ingin bertanya. Bagiku perasaan yang tak selesai itu berbahaya. Maka itu ingin ku tutup bukunya segera. Setelah kupikir ulang dan kutanya pada diriku, ternyata tak perlu lagi bertanya padamu. Aku paham sekarang, untuk mengetahui sesuatu, caranya tak selalu dengan bertanya. Dengan membaca banyak hal tersirat di dunia, justru akan memberikan pemahaman paling komprehensif, termasuk tentang kau dan aku yang takkan pernah satu.
Lanjutkan hidupmu, terserah kau akan membaca ini atau tidak. Nanti jika Tuhan sempatkan kita bertemu, semua cerita sudah tutup buku, dan tidak ada cetakan jilid terbaru. Psst, aku sudah sangat bahagia sekarang, dengan seseorang, yang siap siaga mengulurkan tangan, menyediakan bahu untuk bersandar, dan jadi telinga paling setia untuk menampung semua cerita. Cetakan jilid terbaru buku milikku, hanya tentang aku dan dia.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”