Karena menikah tak sekedar tentang cinta. Butuh ilmu untuk melakoninya. Butuh skill dan pemahaman yang benar untuk memainkan perannya. Terlalu riskan jika menjalani pernikahan sekedar trial error semata. Terlalu beresiko jika menikah tanpa persiapan dan sekedar mengalir apa adanya.
Bisa jadi rumah tangga kita sih tetap baik-baik saja meski tanpa persiapan.
Padahal kita bisa mewujudkan rumah tangga yang tak sekedar baik-baik saja jika tahu ilmunya. Lebih harmonis, lebih bahagia.
Salah satu persiapan pernikahan adalah persiapan mental dan ruhiyah. Bagaimana kita membangun wacana yang benar dan meletakkan paradigma yang proposional tentang sebuah organisasi bernama pernikahan. Banyak hal yg semula haram, kini jika kita lakukan justru berpahala.
Menikah memang seringkali identik dengan kata bahagia. Membuat para lajang rindu segera berakhir masa penantiannya.
Tapi jangan lupa, bahwa pernikahan tidak hanya berisikan sebuah keindahan dan segala hal yang menyenangkan semata sebagaimana kisah di negeri dongeng yang sering diceritakan pada kita.
Akan selalu ada ujian dan tanggung jawab besar di sana. Paket yang pasti melekat pada sebuah fase hidup berjudul pernikahan.
Ujian apa? Bisa apa saja. Karena tiap pasangan tentu memiliki ujiannya masing-masing. Ujian tentang maisyah, ujian tentang anak, ujian bagaimana beradaptasi dengan laki-laki asing yang akhirnya menjadi suami kita, berikut keluarga besar beliau dengan karakter dan latar belakang yang tak sama, misalnya.
Pernah beberapa istri mengadu kepada saya tentang sikap dingin mertuanya. Dari alasan masakan kurang enak, dianggap kurang hormat, sampai beda pendapat agar bayi kecil mereka tak perlu dikasih makan pisang di 6 bulan awal kelahirannya. Bikin makan hati dan mengelus dada.
Bahkan harus meneteskan airmata meski tak sedang mengupas bawang merah.
Terkadang ketidak nyamanan juga muncul dari hal-hal yang nampaknya sangat sederhana. Misal saat itu ada seorang istri yang kesal pada suaminya hanya karena pencet pasta gigi dari tengah. Tidak sesuai standar dan kebiasaannya yg pencet pasta gigi dari bawah.
What??? Jujur saya juga kaget. Tapi ini real adanya.
Ada juga yg kalau habis makan, kotoran di piring tidak pernah dibuang langsung ke tempat sampah padahal kebiasaan kita sebaliknya. Bikin gregetan katanya. Ada pula yang mengeluhkan kebiasaan suami di sosial media lantaran tidak pernah mengembalikan barang-barang di tempat semula dan ditaruh berserakan, padahal kita memiliki kebiasaan rapi dan sebagainya.
Ini sedikit gambaran ujian pernikahan..
Saat kita bicara pernikahan berarti kita juga berbicara tentang tanggung jawab yang tak ringan, terlebih saat telah dikaruniai keturunan.
Tanggung jawab menafkahi dan membimbing istri bagi para suami, misalnya. Tanggung jawab melayani suami dan mendidik anak2 dengan segala dinamika yang mengiringi, misalnya.
Bicara menikah, berarti juga bicara tentang tanggung jawab. Itulah kenapa dikatakan menikah itu setengah agama. Karena tanggung jawabnya pun tak mudah.
Kita perlu membangun paradigma bahwa dalam setiap pernikahan pasti akan dipergilirkan antara nikmat dan ujian. dipergilirkan suka dan duka. Dipergilirkan gelak tawa dan derai air mata.
Itulah kenapa sabar dan syukurpun akan menjadi sebuah keniscayaan dalam biduk rumah tangga. Hanya saja sisi-sisi kemanusiaan kita lebih sering mudah bersyukur saat kondisi lapang, tapi berat untuk bersabar dalam kondisi yang sulit dan tidak menyenangkan.
Dalam persiapan mental dan ruhiyah ini butuh ilmu tentang menata ketundukan pada setiap ketentuanNya, butuh ilmu tentang bagaimana manajemen konflik dalam rumah tangga. Perlu tahu bagaimana kebutuhan emosi dan gaya komunikasi pasangan yang secara fitrah memang tak sama dengan kita. Termasuk berlatih mengubah espektasi menjadi sebuah obsesi. Apa maksudnya?
Seringkali saat masih single kita berespektasi kelak akan mendapatkan sosok suami yang shalih, yang bisa jadi imam yang baik untuk kita, yang turut andil dalam mengawal tumbuh kembang anak-anak kita, yang romantis dan sebagainya.
Yang laki-laki pun berekspektasi kelak akan dapat istri yang shalihah, yang pandai memasak dan ketrampilan rumah tangga lainnya, yang unggul sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya, dan sebagainya.
Apa salah? Tidak. Namanya juga berharap. Tapi patut diwaspadai. akan “sakit dan mengecewakan” lho jika espektasi ini ternyata tidak kita dapati dalam dirinya kelak.
Alangkah bijak seandainya kita ubah espektasi ini menjadi sebuah obsesi. Berpikir, kira-kira apa ya yang bisa aku lakukan untuk suamiku kelak agar ia bisa jadi imam yang baik untukku? Apa ya yang bisa aku bantu nanti saat sudah menikah agar suamiku bisa romantis dan makin sayang kepada istrinya? Langkah apa ya biar suamiku mau bekerja sama dalam pengasuhan buah hati? Apa ya yang harus aku lakukan agar istriku kelak bisa makin shalihah? Apa yang bisa aku bantu agar ia bisa jadi bunda juara untuk anak-anakku kelak?
Dan seterusnya.
Jadi subyeknya bukan pasangan kita. Tapi kitalah yang lebih dulu harus berbuat. Merubah ekspektasi menjadi obsesi.
Oleh karena itu paradigma yang benar dalam memandang pernikahan harus benar-benar kita siapkan sejak awal. Biar ndak terkejut dan shock saat menghadapi ujian dan tanggung jawab ini. Biar kita tidak kaget saat harus dipergilirkan antara sabar dan syukur. Biar kita juga siap dengan berbagai sikap yang bijak dan tepat saat menghadapinya.
Bahwa menikah tak sekedar berbicara tentang cinta dan romantisme, tapi ada ujian dan tanggung jawab besar yang menyertainya.
Yakin, akan sangat berbeda mereka yang menikah dengan atau tanpa persiapan. Setidaknya begitulah yang saya rasakan dan puluhan member komunitas yang bercerita kepada saya. Rata2 menyampaikan rasa syukur sudah pernah belajar sebelum menikah. Sehingga banyak hal yang bisa diantisipasi dan dipersiapkan sebelumnya.
Jadi, teman2 persiapan menikahnya sudah sampai mana?
Terus semangat belajar dan memantaskan diri ya.. Sama-sama belajar. Belajar sama-sama
Karena menikah tak sekedar tentang cinta
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Sama-sama memantaskan diri dan tetap bersyukur walau bagaimanapun keadaan yang sedang dihadapi.
Oo begitu y…hehe…
masih dalam proses pemantasan diri,, semoga di redhoi allah swt