Kring.. kring.. kring bunyi alarm ponsel seketika menyadarkanku. Pikiranku pun melayang, ”Wah gawat! Ini kan hari pertamaku, aku tak boleh terlambat.” Tekadku begitu kuat, seakan ada aliran listrik yang menggerakkan seluruh tubuhku untuk melangkah dengan sigap. Dan benar, tak perlu berlama-lama, kaki yang baru saja melangkah ke kamar mandi kini sudah kembali ke dalam sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter lengkap dengan setelan kemeja kotak-kotak, celana jeans, kacamata, dan tak lupa kaos kaki abu-abu minie mouse pun sudah rapi terpakai.
Lalu, aku melangkahkan kakiku mencari-cari dimana lagi benda yang paling dibutuhkan setiap pagi berada. Selalu saja tak berada di posisi semula. Seakan berbisik aku pun mulai membuka mulutku, ”Oh tolonglah, dimanakah pria berkumis itu menyimpannya sekarang?” Berpikir tak ada seorang pun dapat mendengar bisikanku, tiba-tiba suara lain menyahut, ”Begitulah Ayahmu, dia tak bisa semenit pun tidak bersama kaca itu. Baginya, penampilan itu yang terutama. Entah perempuan mana lagi yang akan digodanya.”
Lagi, lagi, dan lagi, Ibuku memperlebar masalahnya. ”Sudahlah Ibu, aku hanya mencari kaca, tak perlu Ibu menimbulkan pernyataan-pernyataan yang bisa menimbulkan keributan lagi. Tolonglah, ini hari pertamaku.” pintaku dengan sinis. Mendadak wajah yang tak lagi muda itu merunduk, terlihat kerutan di wajahnya semakin bertambah, tiba-tiba di ujung matanya menetes lelehan air. ”Gawat, Ibuku menangis. Butuh waktu yang lama untuk menenangkan dan meyakinkannya, bahwa aku sebenarnya tak bermaksud menyakiti hatinya dengan semua kata-kataku tadi.” gumamku dalam hati.
Ya, benar, Ibuku kini bukan lagi seorang ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang kuat, tegas, bijak, dan penuh wawasan. Rasa sakitnya karena penyakit tulang dan kabar perselingkuhan ayahku dua tahun belakangan ini, telah menghancurkan semua keberhargaan dan kepercayaan dirinya sebagai seorang wanita yang tangguh.
Aku mendekatinya perlahan dan mulai membujuknya, ”Ibu, Syena tak bermaksud menyakiti hati Ibu. Syena hanya ingin membuat Ibu tidak terlalu banyak berpikir, Ibu tak perlu lagi mengingat perselingluhan Ayah, lihatlah Ayah sekarang di rumah, dia sudah bersama kita sekarang. Maafkan dia dengan segenap hatimu, Bu.” Dengan mengusap lelehan air yang berjatuhan dari matanya, dia mulai menatapku dan menjawab, ”Kamu belum tahu rasanya nak, tak semudah itu memaafkannya.”
~~~
”Maafkan saya Pak, Ibu saya sakit, jadi saya harus menjaganya beberapa saat.” ucapku.
”Klise. Orang kalau belum menikah, pasti alasannya orang tua yang sakit, nanti kalau sudah menikah, alasannya suami atau anaknya yang sakit.” jawab sang pemimpin redaksi (pimred). Tak mampu untuk membalasnya, aku memilih menundukkan kepala. Hening. Tanpa suara. Lalu, aku mulai mengangkat wajah perlahan, dan benar, pria dengan perawakan tidak terlalu tinggi dan badan yang melebar ke samping itu tidak lagi berada di depanku.
Sempat kaget, tapi tetap berusaha tenang, aku akhirnya memutar kursi, dan benar saja, ”Ada apa Syen? Mencari saya? Hahahaha. Tenang saja, saya tak kemana-mana, malahan, di waktu-waktu ke depan kamu akan merasa bosan melihat muka saya terus. Hahahaha.” jawab sang pimred santai bernada satire dari sudut jendela di ujung ruangan. Dengan senyum simpul, sang pimred yang biasa dipanggil dengan sebutan Mas Abi ini bersuara, ”Dengar Syen, di awal kita wawancara, saya sudah tanyakan ke kamu kan tentang status kamu, masih ingat? Sahutku, ”Masih Pak.”
”Saya maunya, para wartawan saya itu profesional, nggak banyak alasan, apalagi yang perempuan. Jadi kalau kamu belum menikah itu bagus, tapi orang tua jangan dijadikan alasan apapun lagi ke depannya. Mengerti?” Dengan sigap mulutku menjawab, ”Mengerti Pak.”
”Baguslah, sekarang pergi cari berita, pukul 4 sore kamu sudah harus kembali dengan membawa minimal 3 berita, Mengerti?” suruhnya.
”Jenis beritanya apa, Pak?” tanyaku.
”Bebas. Dan satu lagi, jangan lupa panggil saya Mas saja.” pungkasnya.
~~~
”Permisi Pak, di sini kantor polisi daerah Kabupaten Mojoanyar ya?” tanyaku.
”Iya betul, darimana?” tanya seorang anggota polisi di daerah Kabupaten Mojoanyar.
”Saya dari wartawan koran Petro, Pak. Saya mau menanyakan tentang isu polisi gopek, apa Bapak ada waktu,” pintaku.
”Waduh mbak, bukan saya yang mengurus tentang itu, yang bersangkutan baru saja pergi. Ada rapat katanya.” terangnya.
”Diwakilkan Bapak tidak bisa ya? Saya sudah jauh-jauh Pak dari kota, minta tolong dibantu.” bujukku.
”Tidak bisa mbak. Saya sibuk, silahkan keluar.” jawabnya tegas. ”Oh baiklah Pak terimakasih.” sahutku singkat. Lalu aku mulai membereskan tasku dan bergegas pergi dengan menaiki motor matic merahku (si merah).
Waktu terus berjalan, dan kini jam di tanganku sudah menunjukkan jarum pendek di angka 3 dan jarum panjang di angka 6. ”Dan aku belum mendapatkan apa-apa, God help!” gumamku. Dengan pikiran yang sudah melayang jauh kemana-mana, aku tak menyadari bahwa si merah sudah membawaku ke sebuah bantaran sungai. Mendadak aku mengingat satu kisah yang menggemparkan seluruh Kota Mojoanyar, seorang anak dan ayah yang mobilnya tercebur dalam sungai.
Ayahnya meninggal, dan anaknya masih selamat, beberapa koran kota tidak berhasil meyakinkan keluarga untuk memberikan kesempatan bagi para wartawannya untuk mewawancarai anak itu. Dengan modal keberanian, diiringi rintik hujan, aku mulai mencari-cari dimana rumah mereka. Bertanya kepada satu orang kepada orang yang lain, usahaku berbuahkan hasil. Aku menemukan rumah mereka! Tapi bukan sapaan hangat, makian yang aku dapat.
Dengan tekad yang kuat, dan tentunya dengan baju yang agak basah aku meyakinkan mereka, ”Saya tidak bermaksud apa-apa Bu, saya hanya ingin memberitakan sebuah berita yang akurat. Saya ingin masyarakat mengerti bahwa Hilmi kini semakin sehat dan traumanya perlahan hilang.”
”Saya beri waktu 5 menit untuk anda bertanya, setelah itu silahkan pergi.” tandas Ibu Hilmi.
~~~
”Mas saya sudah menyelesaikan berita saya, bisakah saya pulang lebih awal?” tanyaku.
”Berapa berita yang kamu bawa?” tanyanya.
”Satu Mas, tapi itu bisa jadi headline. Tidak semua orang bisa meyakinkan Ibu Hilmi untuk mau diwawancarai.” ungkapku dengan bangga.
”Apa? Hanya satu? Dan itu isu penting? Asal kamu tahu isu itu sudah terlalu ketinggalan untuk dibilang isu penting, dan tentunya bukan headline lagi. Lucu sekali.” tandasnya. Ucapannya ini mendapat sambutan dari semua wartawan pria di ruangan redaksi. Rasanya malu, tapi yasudahlah. Mas Abi pun kembai menjelaskan kepadaku bahwa aturan wartawan di koran Petro adalah datang pukul 4 sore dan mulai menulis berita, setelahnya menunggu sampai berita kita di edit olehnya dengan waktu yang tak ditentukan. Dan akhirnya hari pertamaku berakhir dengan pulang pukul 10 malam.
~~~
Keesokan harinya, masih berusaha mengatur pikiran untuk mulai mencari subjek apa yang layak dijadikan berita, terdengar teriakan ayahku memaki ibuku dengan isu yang masih tetap hangat, ya benar, tentang perselingkuhan ayahku. Berusaha tetap tenang dan tak berniat mencampuri, aku melangkahkan kakiku pergi. Aku menstarter si merah dan mengarahkannya ke kios koran, beberapa kali aku membolak-balikkan koran Petro itu, tapi tak juga kutemukan tulisanku.
”Dengar Syen, kamu itu kan seorang wartawan baru. Jadi jangan terlalu berharap.” kataku dalam hati. Hari kedua terasa semakin berat, apalagi ketika usahaku mendapatkan berita si Hilmi tak mendapat penghargaan dengan terbitnya berita tersebut di koran hari ini. Tapi yasudahlah, aku memang harus lebih tahu diri, tak penting diterbitkan atau tidak, setidaknya memenuhi target dan bisa diizinkan pulang lebih awal itu sudah sebuah pencapaian yang cukup melegakan.
~~~
”Belajar cara penulisan nama pejabat, aparat kepolisian dengan benar, jangan sok pintar pergi sendiri, berkenalan dan minta tolong sama wartawan yang lain. Sekalipun mereka semua laki-laki, tapi mereka pasti mau membantumu.” tutur Mas Abi.
Dan kata-katanya ini menjadi konfirmasi bahwa aku belum diizinkan untuk pulang lebih awal. Huft. Baru saja sampai di rumah dan merebahkan badanku yang mulai menghitam, tiba-tiba ibuku datang. Dia menjelaskan bahwa ujung perdebatannya tadi pagi dengan ayahku mengerucut pada memintaku untuk mencari pekerjaan lebih baik lagi. ”Apa? Ini baru hari kedua aku bekerja, dan kalian menginginkanku berhenti? Omong kosong apa ini, Bu?” rasa lelah bercampur kecewa memenuhi hatiku dan keluarlah semua perkataan kasar itu.
Lalu, sambil mengusap rambutku, dia menjawab, ”Syen, kamu anak cerdas, kamu tak pantas mendapatkan pekerjaan ini, gaji asisten rumah tangga bahkan lebih besar darimu, nak. Kamu pergi dari pagi sampai selarut ini, tenaga dan otakmu diperas, tapi mereka tak tidak memberikan gaji yang sebanding. Cobalah berpikir dengan waras, nak.”
Seakan ledakan gunung Agung terdengar sampai di jendela kamarku, aku beranikan diriku untuk menjelaskan, ”Ibu, ini adalah batu loncatanku untuk akhirnya aku menjadi seperti Najwa Shihab. Proses awal memang akan lebih berat, tapi aku menikmatinya, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan semuanya, setidaknya sampai masa percobaanku lima bulan ini selesai.”
”Baiklah, hanya sampai masa itu selesai.” pungkasnya.
~~~
Satu Bulan berlalu dan seakan semuanya semakin melelahkan. Jarum jam di kamarku seolah berkata, ”Inilah angka favorit barumu Syena, 10.00, waktu di mana kamu baru bisa merebahkan badanmu.” Tapi aku tak mau menyerah. Aku akan buktikan semuanya kepada ayah dan ibuku. Sampai suatu malam lelahku terbayarkan, Mas Abi tiba-tiba memanggilku, ”Syen, Robin tak lagi bergabung dengan kita, kini kamu akan menggantikan dia meliput di Pengadilan Agama (PA).
Kamu harus mengemas hasil liputanmu menjadi berita ringan penuh nilai tapi bernada humor.” Sempat tak percaya, aku pun bertanya, ”Maksudnya meliput tentang kasus perceraian, Pak? Jawabnya, ”Iya, benar. Dan kamu harus menyamar saat meliputnya. Waktu wawancara jangan sampai ketahuan kalau kamu wartawan, nanti kabur mereka, kamu akhirnya nggak punya berita.”
~~~
Meskipun para narasumber masih sering menganggapku wartawan muda tak berpengalaman, bahkan sempat beberapa kali mereka menolak wawancara dan mengusirku secara halus (ya terutama kalau narasumbernya pejabat pemerintah yang tercium merekayasa program untuk kepentingan perutnya sendiri), tapi yasudahlah karena empat bulan ternyata sudah berlalu. Dan perkembanganku terekam begitu pesat, Mas Abi dan beberapa wartawan lainnya kini memperhitungkan kemampuanku.
Bahkan seorang wartawan senior mendatangiku dan memintaku membantu membuat berita berkaitan dengan gaya hidup masyarakat kekinian. Dan dia tak salah pilih, aku berhasil menghasilkan banyak berita berbobot yang tentunya diminati pembaca. Aku bahkan dipercaya bergabung dengan tim media online, untuk berkontribusi dalam Petro Online.
Banyak promosi mulai kudapatkan, aku bahkan menjadi juri perlombaan seni yang diadakan Petro, namaku mulai dikenal beberapa wartawan koran lokal lainnya, dan diperhitungkan sebagai salah satu wartawan wanita paling tangguh di Mojoanyar.
~~~
”Besok adalah hari terakhirmu menjadi wartawan, nak.” tutur ibuku sambil menyiapkan sarapanku.
”Apa? Tidakkah ibu melihat bahwa aku semakin dipromosikan? Posisiku semakin baik sekarang, Bu.” jawabku.
”Tapi tidak sebanding dengan gajimu, nak. Bahkan lihat tubuh sekarang, semakin tak terurus. Kamu terlihat semakin kurus dan hitam. Bahkan mungkin organ-organ tubuhmu mulai tak sehat, nak.” jelasnya.
”Tapi Bu, aku yang menjalani hidupku, dan aku baik-baik saja.” bantahku sinis.
”Lihatlah motormu itu, motor saja bisa turun mesin, apalagi badan kecilmu, bijaksanalah. Ibu tak akan berbantah lagi denganmu. Ayahmu akan datang ke kantormu besok dan menyerahkan surat pengunduran dirimu.” tandasnya.
Hatiku membeku, air mata bahkan tak setetes pun turun dari mataku, rasanya ingin kabur, tapi aku tak mampu menyakiti mereka, apa yang bisa kuperjuangkan sekarang?
”Harapan kami hanya padamu nak, ayahmu sudah tak mendapat panggilan menyelesaikan kasus lagi. Ibu pun sekarang sudah ringkih dan tak bisa membantu apa-apa.” Sambil menarik nafas, dilanjutkannya lagi kalimatnya, ”Jujur, uang darimu tak pernah cukup, nak. Ibu mencari pinjaman kemana-mana untuk kita bisa bertahan hidup. Manfaatkan gelarmu dengan pekerjaan yang lebih menghasilkan.”
~~~
Semalaman aku tak bisa tidur, esok harinya aku terbangun di siang hari, kubuka ponselku dan benar, pesan Mas Abi benar-benar menyadarkanku dari kantuk.
”Syen, apa yang terjadi? Benarkah kamu merasa menjadi wartawan adalah sia-sia? Potensimu besar. Perlu kah kami datang ke rumahmu dan membantumu meyakinkan orang tuamu?”
Rasanya sedih, hatiku hancur, perjuanganku berakhir disini, teringat bagaiman hari pertamaku mencari berita, ditolak, pernah tidak dibukakan pintu bahkan dimaki, (kemungkinan) hampir semua perjuangan seorang pemburu berita sudah kulalui selama lima bulan ini. Sekarang aku harus menguburnya.
Mimpi dan passion yang bagi beberapa pemuda di luar sana sangat mudah untuk diraih dan diwujudkan, ternyata belum berlaku untuk diriku saat ini. Sepertinya Tuhan sedang mengujiku untuk lebih bersabar sampai giliran itu menyapaku lagi, ya, giliran untuk mempunyai kesempatan mewujudkan mimpi menjadi seorang wartawan ternama sekelas Najwa Shihab.
Berusaha tersadar dengan semua perasaan dan pikiran yang bercampur aduk menjadi satu, aku mulai menguatkan jemariku untuk mengetik pesan balasan, tak ingin membuat mereka datang ke rumahku dan memecahkan pertengkaran antara mereka dan orang tuaku, akhirnya ku balaskan pesan ini kepada Mas Abi,
”Syena minta maaf ya Mas, terimakasih sudah sangat baik kepada Syena. Syena harus berbakti dan membalas semua jerih lelah ayah ibu. Salamkan permohonan maaf saya juga kepada yang lain, maaf saya belum bisa berpamitan secara langsung.”
**polisi gopek adalah orang yang berjaga di U Turn atau persimpangan-persimpangan padat, kerjanya membantu mengatur lalu lintas kendaraan yang lewat, dengan harapan mendapat imbalan recehan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”