Tahun lalu, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah pada awal sampai dengan pertengahan Oktober untuk perhelatan Asian Para Games. Dari event tersebut hendaknya menjadikan sarana bagi Indonesia untuk lebih menaruh perhatian pada kaum penyandang disabilitas.
Bukan berarti dengan begitu Pemerintah tidak ada perhatian dengan para penyandang disabilitas, justru saat ini sudah banyak aksi pemerintah untuk menunjukan bentuk perhatiannya pada penyandang disabilitas. Mulai dari adanya Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kemudian adanya pembahasan mengenai beberapa RPP delegasi dari UU tersebut sebagai bentuk jaminan perlindungan bagi penyandang disabilitas.
Dari segi pekerjaan pun sudah ada beberapa perusahaan yang mulai berusaha menuju menjadi perusahaan yang inklusi, mulai mempekerjakan penyandang disabilitas, kemudian perlahan mereka mencoba memperbaiki dan menambah ataupun mengganti fasilitas yang ada supaya bisa lebih memudahkan penyandang disabilitas meskipun belum banyak perusahaan seperti itu
Mengutip dari https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/18/07/17/pc0czh349-meresapi-kopi-dari-kopi-tuli , saat ini di daerah jakarta selatan sudah ada tempat ngopi, yang didirikan oleh tiga sekawan tuli, dari pengalamannya sulit mencari pekerjaan dan mengalami penolakan saat proses interview akhirnya mereka mendirikan tempat ngopi yang disebut Kopi Tuli
Dari contoh paparan tersebut, saat ini diharapkan penyandang disabilitas tidak perlu takut lagi tidak mendapat pekerjaan. Namun tantangan saat ini lebih kepada bagaimana cara kita sebagai penyandang disabilitas meyakinkan kepada non disabilitas bahwa disabilitas tidak melulu menyusahkan, merepotkan, menakutkan atau bahkan menyebalkan.
Masih sering dirasakan saat ini, banyak orang yang seolah terlihat seperti tidak memberi kesempatan penyandang disabilitas dengan mengasihani mereka. Mengapa demikian? kebanyakan orang masih merasa mungkin sungkan, sulit dan tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas, sehingga beberapa orang non disabilitas sering mengatakan "sudah kamu duduk saja, kasihan nanti capek", atau "sudah kamu gausah melakukan ini, biar aku saja yang melakukan, kasian daripada kamu capek". Kalimat tersebut tidak hanya terdengar diluar, tak jarang di lingkungan keluarga pun juga terdengar. Karena sebenarnya penyandang disabilitas tidak hanya mengalami penolakan di dunia kerja saja, namun juga di lingkungan terdekat yakni keluarga.
Padahal dari sudut pandang kaum non disabilitas, mungkin ada beberapa alasan diantaranya : bisa jadi mereka tidak tau bagaimana cara berinteraksi dengan disabilitas, bisa jadi mereka tidak tahu bagaimana cara memberikan bantuan atas kesulitan yang dialami para penyandang disabilitas sesuai dengan jenis disabilitasnya, bisa jadi kata kasihan itu adalah satu-satunya yang bisa dilakukan oleh non disabilitas sebagai bentuk perhatian,atau singkatnya mereka mau ambil jalan cepat daripada ribet.
Hal itu masih dirasakan oleh sebagian penyandang disabilitas, karena memang bagi sebagian kaum non disabilitas, sepemahaman mereka, disabilitas yang dimiliki seseorang terlihat menjadikan seseorang tidak mampu melakukan sesuatu, sehingga perlu dikasihani atau menyebalkan. Terkadang ada kisah bahwa penyandang disabilitas merasa tak dianggap oleh Ayah, Ibu, Kakak, Adik, dan Handai Taulannya serta merasakan diskriminasi dari rekan kerja non disabilitas
Namun, bisa jadi dari sudut pandang penyandang disabilitas berpendapat lain, jika memang non disabilitas kasihan dengan penyandang disabilitas, akankah lebih baik jika ada pendampingan dari non disabilitas pada saat penyandang disabilitas melakukan sesuatu? tujuannya? Jelas untuk membantu jika sewaktu-waktu penyandang disabilitas mengalami kesulitan. Contoh, jika memang non disabilitas kasihan dan mengambil jalan supaya kita tidak melakukan kegiatan yang di maksud, bukankah lebih baik non disabilitas ada untuk memberikan pengarahan, memberi tahu, memberi contoh, supaya apa yang mereka lakukan bisa juga dilakukan oleh penyandang disabilitas? tentunya dilakukan dengan tidak memaksakan kehendak.
Penyandang disabilitas akan merasa mendapat pengalaman baru dari kegiatan baru yang mererka lakukan berdasarkan arahan dari non disabilitas. Dengan begitu penyandang disabilitas akan lebih merasa dianggap daripada sekedar dikasihani. Jika non disabilitas mengasihani penyandang disabilitas dengan cara memerintahkan untuk tidak melakukan sesuatu, bukankan itu lebih kasihan lagi karena penyandang disabilitas seolah tidak diijinkan untuk memiliki keterampilan baru? Padahal sebenarnya hanya karena penyandang disabilitas belum pernah melakukan, dan non disabilitasnya tidak tau caranya atau bahkan malas untuk sekedar berbagi memberikan contoh, hahah…
Pertanyaan diatas memang belum seluruhnya bisa diimplementasikan, meskipun saat ini banyak komunitas-komunitas yang membahas mengenai disabilitas, komunitas yang menyerukan kesetaraan disabiliras dan non disabilitas, platform penyedia lowongan kerja khusus bagi penyandang disabilitas, namun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini tugas penyandang disabilitas adalah mencoba perlahan mengubah atau mengurangi image "kasihan" dari non disabilitas menjadi image yg lebih baik.
Seperti pemaparan di paragraf sebelumnya, mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan non disabilitas untuk turun tangan membantu, atau bahkan bisa jadi dari penyandang disabilitasnya sendiri juga kurang ada pengetahuan dan belum ada keberanian untuk mengedukasi non disabilitas mengenai kebutuhan penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari sesuai jenis disabilitasnya.
Senada dengan kutipan pada narasi ini, tugas penyandang disabilitas saat ini bukan lagi menunjukkan bahwa mereka adalah kaum penyandang disabilitas yang berdaya. Ada beberapa perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas sebagai salah satu wujud implementasi menuju perusahaan yang inklusi. Artinya penyandang disabilitas sudah bukan dipandang disabilitas yang menyusahkan, namun juga disabilitas yang mampu bekerja karena perusahaan memberikan kesempatan, tentunya dengan proses seleksi terlebih dulu. Namun pada praktiknya terasa masih belum bisa dikatakan sebagai perusahaan inklusi sepenuhnya karena didalamnya masih terbentuk dua kubu. Kubu penyandang pegawai disabilitas dan kubu pegawai non disabilitas.
Kubu inilah yang sebenarnya harus dikurangi bahkan dihilangkan. Seperti yang dikatakan oleh Lais Kari dalam kutipan narasi ini, khususnya kaum disabilitas saat ini memiliki tugas baru meyakinkan orang lain, baik kepada sesama dan non disabilitas bahwa disabilitas bukanlah suatu masalah, selama semua aspek terpenuhi. Aspek yang dimaksud disini adalah, penyandang disabilitas mau untuk terus belajar dan meningkatkan skill minimal di bidang yang mereka sukai dulu, tidak malu untuk menyampaikan atau mengedukasi tentang hambatan apa saja yg dialami kepada orang non disabilitas. Dari non disabilitas mau membuka mata dan tidak malu untuk bertanya serta turut membantu kesulitan penyandang disabilitas tentunya didukung juga dengan sarana prasarana yang sudah aksesibel baik di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga.
Tidak ada di dunia ini makhluk sempurna, maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, oleh karenanya akan lebih baik jika semua orang, baik disabilitas dan non disabilitas sama-sama terus belajar saling bertukar informasi, saling membantu, dengan begitu Indonesia yang inklusif pun akan terwujud karena akan terlihat setara jika semua bisa berdaya bersama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”