Muka ibu terlihat cemas melihat surat penerimaan mahasiswa baru yang aku berikan. Keningnya berkerut tampak berpikir keras dan matanya sebentar-sebentar menatapku menunjukkan kegusaran. “Kamu yakin mau masuk PR? Bukannya Public Relations itu kebanyakan perempuan ya? Apa gak susah dapat kerjanya nanti?” tanya ibu mencecarku. Oh, itu rupanya yang dicemaskannya.
Pelan-pelan saya menjelaskan kepada beliau mengenai rencana studi yang ingin saya ambil dan setelah persuasi panjang, akhirnya beliau merestui. Tekad sudah bulat, restu sudah didapat, saya pun berangkat dari Bau-Bau, Sulawesi menuju Jakarta meneruskan berita gembira kelulusanku masuk sebagai salah satu penerima beasiswa studi Ilmu Komunikasi salah satu Univerisitas Swasta di Jakarta.
Empat tahun berlalu, dan sekarang aku sudah memulai perjalanan karirku sebagai praktisi Public Relations (PR) muda di Jakarta. setelah masuk ke dunia PR sih, anggapan ibu kalau PR identik dengan sosok perempuan mungkin ada benarnya. Karena nyatanya ketika masuk di industri PR, aku dikelilingi oleh para perempuan baik. Jadi, apa memang PR adalah industri yang sarat wanita dan “seret” pria?
Dari kacamata awam, aku melihat PR sebagai pekerjaan yang mengandalkan “keindahan” atau berusaha menampilkann diri sebaik dan seetis mungkin dengan berbagai cara dihadapan orang lain. Penampilan diri, gaya hidup dan bagaimana kamu bersosialisasi jadi faktor-faktor yang membentuk seorang PR. Tapi, ini juga diimbangi dengan kemampuan kamu membangun cerita baik lisan maupun ketrampilan menulis, kreatifitas dan logika strategis kamu membangun progra,-program PR yang serius, dan bagaimana membangun hubungan emosional dengan orang-orang yang akan jadi rekan kerjamu, bahkan klien menjadi kemampuan yang diandalkan untuk menjadi sosok PR ideal.
Bicara “keindahan”, maka sosok feminin perempuan-lah yang kita pikirkan, karena perempuan unggul dalam hal spesifik seperti penampilan dan cara bertutur kata, lebih mudah membangun kedekatan emosional dengan orang lain, serta membangun jaringan komunikasi dan interaksi. Oleh karena itu wanita mudah menjadi sosok ideal yang dibutuhkan dan digambarkan dalam dunia PR. Bukan berarti Pria juga gak bisa menampilkan kemampuan-kemampuan ini di kehidupan sehari-hari, lho, hanya saja memang konstruksi sosial di masyarakat kita membangun perempuan lebih mudah mengembangkan kemampuan-kemampuan ini dibandingkan pria.
Tentunya tak ada yang salah dengan dong dengan perempuan di dunia PR, apalagi dengan semangat emansipasi keberadaan wanita semakin didorong untuk eksis di berbagai sektor industri. Banyaknya perempuan yang mendalami PR justru menjadi gambaran kalau industri ini gak peduli kamu laki-laki atau perempuan, kalau kamu merasa memiliki passion dan kemampuan di bidang PR, silahkan dalami studinya dan buktikan.
Seiring berkembangnya industri telekomunikasi, peminat studi komunikasi juga meningkat tajam. Studi Ilmu Komunikasi di Perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, diminati oleh pria maupun wanita dengan persentase yang cukup berimbang. Akan menjadi sangat naif kalau mengatakan PR adalah industri bagi perempuan (saja), karena PR adalah salah satu industri kerja yang sangat menghargai bahkan mendorong adanya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, dengan membuka kesempatan bagi setiap gender bersaing secara kompetitif berdasarkan kemampuan mereka.
Di dunia kerja, pekerjaan-pekerjaan PR mulai dari Corporate Communications, Government Relations, Investor Relations, Media Relations, bahkan Crisis Handling Communication sama-sama membutuhkan kemampuan analitik dan strategis yang mumpuni dari para praktisinya tanpa mengenal gender atau identitas pemisah lainnya. Dengan kata lain, selama sang praktisi mampu menunjukkan kualifikasinya, tidak ada halangan baginya untuk mendapatkan posisi strategis di industri konunikasi.
Hal yang justru perlu menjadi perhatian adalah memanfaatkan keberagaman yang ditawarkan oleh industri ini, dengan mengajak para pendatang baru di industri PR menunjukkan kompetisi mereka dalam memenuhi tuntutan industri komunikasi yang terus meningkat dan membangun jaringan mereka seluas mungkin. Konvergensi media dari konvensional menjadi digital, masuknya media sosial di ranah PR, dan berbagai perubahan lainnya menjadi tantangan baru bagi para praktisi PR untuk terus mengembangkan kemampuan mereka di industri ini
Buat kamu para fresh graduate, intern, bahkan para mahasiswa dan calon mahasiswa yang memilih komunikasi sebagai pilihan studi dan karir, perlu banget memahami dan mengajarkan keluar sana kalau industri PR tidak se-feminin yang digambarkan banyak orang. Karena ketika di dunia kerja, kompetensi personal yang akan dilihat jauh lebih penting dari isu gender. Pertanyaan yang perlu kamu jawab kemudian, siapkah kamu berkompetisi di industri yang hanya melihat kompetensi dan passion sebagai ukuran utamanya?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
hidup anak PR !!! yeay
Bener banget, partner kerja saya seorang wartawan senior juga lulusan PR
semangat terus ya!