Aku pernah berkhayal menyusuri jalanan ini, tidak seorang diri. Bersila, menikmati makanan khasnya dan segala suasana seperti apa yang ditembangkan oleh KLA Project. Menikmati lampu jalan, Gedung-gedung tua, dan orang-orang yang berlalu Lalang. Merasakan hembusan angin, diantara alunan pengamen yang silih berganti. Kehangatan, dinginnya malam tidak kuasa mengusirnya pergi.
Jogja dan Malioboro selalu punya cerita buatku. Sekedar untuk mengusir kegalauan, atau menunggu, siapa tahu jodohku ada di tempat ini. Di antara para pejalan kaki, yang konon kabarnya berasal dari berbagai penjuru negeri.
Ada begitu banyak hal yang selalu membuatku rindu. Meski itu hanyalah sebuah harapan. Tetapi itu cukup membuatku berlama-lama tenggelam di sudut-sudutnya. Menikmati malam hanya dengan segelas teh manis dan beberapa bungkus nasi kucing.
…
Dari tempat ini, aku pernah berjanji pada diriku sendiri, kelak aku akan kembali sebagai diriku yang berbeda. Seperti halnya para perantau yang sedang membawa misi keluarga, perubahan. Karena di tempat ini mereka menimba ilmu, bekal yang membuat mereka nantinya menjadi sosok yang mengubah keadaan. Meski aku bukan orang yang sedang menimba ilmu di Jogja, tetapi aku yakin tidak ada yang melarangku membuat janji itu di sini.
Pernah ada sosok yang membawaku ke tempat ini. Ia pernah menjadi mimpi di banyak malamku. Membuat hatiku gelisah, marah karena suatu alasan yang tak kumengerti, dan banyak lagi rasa yang sulit kupahami. Karena dia, aku merindukan Jogja. Hanya butuh beberapa jam dari kota kecil tempatku menimba ilmu.
Akhir minggu, berbekal hidup hemat dari kiriman yang tidak seberapa, Jogja menjadi tujuanku. Aku meyakini, ini adalah perjuangan. Tidak ada yang mudah untuk sebuah keberhasilan, apalagi soal perasaan. Tetapi, Tuhan punya ketentuan lain, dia bukan akhir dari perjuangan itu. Namun itu tidak berarti Jogja kehilangan pesona di mataku. Kegagalanku mewujudkan cinta, membuat Jogja menjadi kota yang sarat makna. Aku belajar banyak hal.
Kegagalan membuatku menengadah. Belajar realistis memandang hidup. Duduk bersila di pinggir jalanan, tidak membuat seseorang kehilangan kehormatan. Dari mereka, aku mendengar banyak gagasan perubahan. Meski hanya bicara, karena hanya itu yang bisa di lakukan sebagai pembelajar, tetapi ide menjadi lebih baik itu nyata. Keluar dari hasil analisa buku-buku tebal yang mereka baca.
Adakalanya aku hanya mendengar, ada kalanya juga aku ikut bicara. Setelah itu, kami larut dalam tawa. Tidak ada beban, meski kami sedang membicarakan hal-hal besar negeri ini. Semua itu melarutkan kegalauanku perlahan. Cinta dan dilematikanya, itu bukan segalanya.
Diantara pejalan kaki, kulihat kelebatnya. Ia menatapku, kubalas dengan senyuman, termanis yang aku punya. Ia melambai, pikiranku larut dalam kenangan. Bertahun sebelumnya, aku juga pernah menunggu seseorang yang mirip dengannya. Seseorang yang berhasil membalut lukaku. Mengisi hariku, menyemarakkan hatiku kembali Ketika menyusuri Malioboro. Membuatku mempercayai bahwa cinta itu nyata.
“Itu kakak pa!” Gadis kecil di sampingku, mengejutkanku, kegirangan. Sedari tadi ia bersamaku, menunggu, setelah kami lelah berjalan. Sementara kedua kakak dan mamanya berbelanja di Pasar Beringharjo.
Jogja, aku memenuhi janjiku, kali ini aku kembali tidak seorang diri. Bukan juga hanya berdua seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini kami telah berlima, buah hati dari cinta yang juga pernah kami semai di kota ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”