Jika Waktu Dapat Diulang Aku Pasti Akan Memperbaikinya

"La, pake jilbabmu kalau ingin keluar, sayang." Ucapan Ibu yang samar terdengar dari dalam rumah.

Advertisement

"Nanti aja, Bu. Kapan-kapan." Melanjutkan langkahku menuju mobil xenia berwarna silver. Menyalakan mesin, dan melaju dengan sempurna. Pagi yang cerah ini, menjadi pagi yang muram ketika Ibu sudah menyuruh lagi, dan lagi untuk berjilbab. Aku ini sudah besar tentu saja akan menentukan jalan mana yang akan aku pilih. Ibu selalu saja mengaturku seperti anak kecil.

***

Kampus terlihat masih lengang, hanya terlihat satu atau dua mahasiswa yang lalu lalang. Lorong demi lorong terlewati menuju ruanganku yang berada di sudut gedung ini. Tiba-tiba, langkahku terhenti. Hatiku seakan tercabik-cabik, lidahku kelu, melihat Renia– sahabatku mengenakan jilbab.

Advertisement

Aku menatap tajamnya tidak percaya. "La, ini buat lo. Pake yak, untuk tutup aurat. Sebelum kain kafan yang menutupnya." Jilbab berwarna magenta diberikan, dengan manut aku menerimanya tanpa sempat bertanya Renia pergi ke dalam ruangan.

Entah, perasaan apa ini. Hanya sepatah kata yang ungkapkan Renia tadi membuatku tidak dapat menolaknya. Bahkan, Ibu yang setiap saat mengeluarkan celotehannya agar aku menutup aurat selalu saja tak kuacuhkan.

Advertisement

Langkah kaki ini berputar menuju toilet. Aku mulai memakai jilbab untuk menutupi helaian rambut yang begitu indah. Aku terpana menatap cermin, perasaan apa ini? Mengapa terasa begitu nyaman aku mengenakannya?

Setelah, terasa nyaman aku mengenakannya. Aku berjalan, dengan pikiran yang melayang. Seperti masih tak menyangka bahwa semudah ini aku melakukannya.


Dan perasaan nyaman, tenang menyelimuti jiwa. Kalau saja rasanya senyaman ini, mungkin dari dulu aku akan memakainya.


Ibu selalu, dan tidak pernah lelah memberitahukan ayat ayat-Nya seorang gadis yang seumuranku sudah menjadi kewajiban menutup aurat. Selangkah aku keluar pintu tanpa mengenakan jilbab, sama saja selangkah membuat Ayah menuju Neraka. Sewaktu Ibu berceramah seperti itu, hanya bagaikan angin yang lewat sekejap. Setiap Ibu memberitahu itu selalu kudengarkan, karena tidak ingin membuat hati Ibu malah terluka hanya karena sikap yang masih belum cocok mengenakan jilbab.

Tanpa kusadari, aku melangkahkan kaki ini ke Jalan Raya. Dan mobil sedan berwarna hitam melaju cepat ke arahku. "Brakk!!". Kemudian gelap.

***

Aku terbangun terasa pegal menyerubungi tubuh ini. Di dalam ruangan yang berdinding serba putih. Bau obat-obatan yang menyelusup ke hidung membuatku tidak sanggup berlama-lama di ruangan ini dan bergegas keluar. Aku tidak tahu pasti dimana sekarang. yang pasti harus secepatnya mencari pintu keluar dari ruangan yang menyesakkan ini.

Mataku menatap liar, malam terlihat sudah pekat. Namun, ada beberapa temanku yang masih menetap. Mereka terduduk di sebuah deretan bangku besi, hening, dan telapak tangan Renia menutupi wajahnya. Mungkin Renia tengah kelelahan, biarkanlah.

Aku memutuskan untuk kembali ke Rumah, walau pun sebenarnya tidak tahu arah pulang. Langkah demi langkah. Perasaan aneh menelusup ke hati. "Hai, Za!" Sapaku terhadap Reza–teman sekelasku, yang tengah berpangkuan dagunya dengan kedua tangannya. Tetapi, ia membisu tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Aku ayunkan telapak tangan ini ke kanan dan kiri, nihil. Ia tetap fokus pada pikirannya sendiri. Sudahlah, Mungkin dia tidak mengenaliku, karena tengah mengenakan jilbab.

Aku berusaha menghilang rasa yang mengganjal hati ini. Ketika hendak melanjutkan langkahku, terhenti. Melihat Ibu yang berlari dengan tergopoh-gopoh dan rasa panik dan kesedihan mendalam yang tergambarkan dari raut wajahnya. Ada apa? '"Ibu, ini Della." Lengang.

Ibu melaju masuk ke dalam ruangan, menggubrisku. Aku berbalik, mengikuti Ibu. Temanku yang terduduk di bangku besi, semua serentak bangkit mengekor di belakang Ibu. Ada apa ini? Perasaan buruk, aneh menikam hatiku. aku terhenti di depan pintu ruangan terdengar isak tangis semua orang terutama Ibu yang amat sangat kukenal.

Aku mulai memasuki ruangan, dan mendekati Ibu yang tengah membuka selimut seseorang yang terselimuti oleh kain putih sekujur tubuhnya. Terbuka, wajahnya mulai terlihat.seseorang yang terbaring di kasur adalah aku.

Bagaimana mungkin? Ini tidak mungkin! lirihku menahan tangis, menoleh ke arah Ibu yang terisak.

"Ibu, ini aku. Aku baik-baik aja, Bu." Nihil, Ibu tidak menoleh ke arahku sedikit pun. Ibu berusaha menghentikan tangisannya, "Alhamdulillah, sayang. Kamu mengakhiri hidupmu dalam keadaan menutup aurat. Ibu bangga padamu, Nak." Ucapan Ibu dengan terbata-bata kemudian menutupi mulut dengan telapaknya menahan isak tangisnya.

Aku limbung. Tidak kuat lagi kaki ini berperan, " Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku…" Aku menangis tersedu, merasakan sebuah yang menyesakkan. Kalut. Tiba-tiba tanganku seperti ada seseorang yang menarik.

Aku meronta-ronta, namun tidak menghasilkan apapun. Orang yang menarikku begitu kuat. Hingga akhirnya menjauh dari keramaian orang di ruangan, suaranya tangisan itu mengecil. "Lepaskan aku… Kumohon lepaskan aku…." Seorang yang menarikku tak mengacuhkanku. Ia begitu kuat dan cepat. Sehingga tidak ada yang dapat kulihat kecuali bayangan hitam

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang gadis pecinta ungu, penikmat hujan, pemain aksara. kelahiran tahun 99 di Jakarta. Need more? you can find her in Meipurple.com

4 Comments