Awalnya, kau mungkin tahu, tentang aku dan sebuah rasa yang kusimpan. Namun, entah mengapa, pada suatu waktu, aku tidak sengaja menitipkan rasa itu kepadamu. Sebenarnya bukan masalah besar, hanya saja aku takut kau membawanya pergi dan lupa untuk mengembalikannya kepadaku. Jika sudah seperti itu, semuanya akan terlanjur. Mau bagaimana lagi?
Aku tidak mudah membukakan pintu bagi seseorang yang ingin menyentuh rasaku. Tidak buruk, bukan? Namun, tunggu, masih ada titik buruknya. Tidak mudah membukakan pintu bukan berarti menutup pintu selamanya. Ya, jika pintuku sudah terbuka, aku membiarkan semua rasaku tersentuh, terkoyak, dan ditinggalkan. Mau bagaimana lagi, lagi-lagi terlanjur, lagi-lagi salahku, lagi-lagi aku yang harus menyembuhkannya sendiri meski beberapa luka yang tertoreh berhasil menyisakan bekas.
Suatu hari, kau datang dengan senyuman indah yang terlabuh di atas paras yang menawan. Aku tak tahu pasti apa maksud kedatanganmu. Yang jelas, aku tetap mematung, bersikeras menyembunyikan rasaku yang sudah tak sama lagi, ringkih.
Kau hanya mendekatiku, diam, dan tanpa sepatah kata kau utarakan kepadaku.
Sudah cukup lama kau seperti ini. Tiba-tiba, aku menitipkan rasa ini kepadamu begitu saja. Untung saja bukan memberikan, hanya menitipkan. Berharap suatu saat kau akan mengembalikannya jika sudah tak membutuhkannya lagi.
Sebenarnya, aku mempunyai pengalaman yang sedikit tidak menyenangkan. Dulu, ada seseorang yang sama sepertimu. Hanya mendekati, diam, dan bermain-main dengan rasaku. Itu saja. Lalu dia pergi tanpa sepatah pamit. Aku hanya bisa bertanya, mengapa? Dia hanya bisa menjawab, Kita hanya teman, bukan? Mengapa? Apa maksud pertanyaanmu? Tidak ada apa-apa di antara kita. Aku hanya mengangguk, mempersilakannya pergi, dan kembali membersihkan luka dari rasaku yang menangis. Sendirian.
Aku sedikit malu untuk mengakui tentang masa laluku yang tidak berhati-hati menjaga rasa. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri tentang datang dan perginya seseorang dari ruangku. Semuanya berlalu karena keegoisanku, amarahku, dan salahku. Sekarang, aku tidak memaksamu pun tidak mengekangmu untuk tinggal. Selain rasaku, aku juga sedikit menyembunyikan sifat burukku. Aku memperlakukanmu sewajarnya saja. Aku mulai memahami, tak perlu sesuatu yang berlebih untuk menjaga seseorang agar tetap tinggal, termasuk dirimu.
Aku tak ingin banyak bercerita kepadamu tentang aku, rasaku, dan masa lalu yang mengungkung. Aku hanya ingin bertanya, kau tidak akan seperti yang lain, bukan? Namun, sebelum kau menjawab, biar kutebak, kelihatannya senyummu mulai redup. Tinggal menunggu waktu saja, kau akan pergi juga, benar? Sebelum semuanya terlanjur, bisakah kau kembalikan rasaku sebelum tergores? Aku membutuhkannya untuk tersenyum. Kala sendiri, aku membutuhkannya untuk menyembunyikan sepi. Aku membutuhkannya.
Satu lagi yang perlu kau ingat, jika suatu saat kau harus pergi, aku harap bukan karena salahku. Aku tak ingin lelah menyalahkan diriku sendiri, lagi, dan lagi. Biarlah waktu yang bekerja untuk secara perlahan, sedikit demi sedikit, memberi jarak di antara aku dan kau, hingga akhirnya memisahkan kita.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”