Engkau tahu untuk pertama kali, aku berterima kasih kepada jarak. Jarak mengajarkanku untuk lapang dada, setelah bertemu tidak ada impian lagi pernikahan denganmu.
Impian gaun putih dengan membawa buket bunga. Bulan madu ke Jepang seperti impianmu. Atau tinggal serumah denganmu, memiliki anak yang lucu dan membantu merintis bisnismu. Tidak ada lagi.
Terima kasih, atas pertemuan denganmu. Pertemuan pertama dan terakhir yang sangat berkesan, setelah menunggu selama tiga tahun. Awal kenal denganmu ketika Mamamu mengatakan seorang lelaki tambun yang dewasa sedang mencari gadis.
Mamamu berharap gadis itu adalah aku. Karena usiamu sudah terlalu sibuk dengan bisnis dan tanggung jawab keluarga. Mamamu berharap ada seorang wanita yang mendampingi sampai usiamu senja.
Kemudian jarak memisahkan kita, sebelum jarak membatasi perasaanku. Engkau pernah berkata semoga menjadi jodohnya. Kalau jodoh pasti bertemu. Aku mengangguk, dan kami memulai hari-hari dengan rutinitas yang makin padat. Suatu hari Mamamu bertanya ukuran sepatuku atau warna kesukaanku. Ia sudah tidak sabar menyaksikan anak pertamannya menikah.
Tetapi, kabar itu berangsur lenyap. Bahkan engkau jarang memberiku kabar, dengan dalih kesibukan di dunia nyata. Bahkan hari libur pun engkau masih ngantor. Aku pun tidak mengusikmu.
Sebulan, dua bulan dan tiga bulan dari pertemuan itu, engkau tidak ada kabar. Kuberanikan melayangkan pesan, bagaimana dengan hubungan kita. Saat itu engkau berkata masih belum siap, maka aku jawab tentu saja tidak apa-apa. Akan kutunggu sampai siap.
Selama 36 bulan aku berteman dengan tulisan dan buku. Buku selalu menjadi penyemangatku, menghabiskan waktu dan sepiku. Sesekali kulihat beranda media sosialmu. Tidak ada postingan terbaru selain temanmu yang menandai. Aku tahu engkau sudah tidak memprioritas media sosial, usiamu terlalu dewasa untuk hal-hal publikasi kegiatan.
Tiga tahun berlalu, usiaku sudah cukup matang untuk ikut berlayar bersamamu. Mengarungi kehidupan yang penuh gelombang susah-senang. Bertemu di sebuah wahana istana kaca, hanya satu pertanyaanku. ‘Apakah engkau sudah siap?’ Kalimat itu hanya tercekat dalam kerongkongan, tanpa ada keberanian dari diriku. Padahal ia sudah di depan mata. Kami terlalu asyik menikmati malamnya kota Batu dengan gerimis dan pemandangan lampu paralayang.
Apakah pertemuan kami adalah jawaban dari doa-doa yang selama ini kutunggu? Kembali merapalkan tangan, jika ia memang terbaik untukku semoga dimudahkan segala prosesnya.
Aku kembali berharap dengan jawaban yang lebih baik. Tetapi, ia mengirimkan pesan yang sama. Ia belum siap. Air mata mengucur. Ia mengatakan semoga aku dipertemukan dengan lelaki yang lebih baik darinya. Aku tidak bisa berkata apa pun, selain tersenyum dalam tangis.
Mungkin benar, aku akan menemukan lelaki yang baik. Lelaki yang dekat jaraknya. Terima kasih, jarak. Berkat adanya jarak aku tidak terluka lebih dalam lagi. Aku pun tidak keberatan jika pada akhirnya jodohku, bukan dirinya yang kudoakan diam-diam.
Terima kasih, jarak. Mengenalnya membuatku sadar, posisiku yang bukan siapa-siapa. Pun tidak pantas jika bersanding dengannya. Pertemuan kemarin menjadi jawaban agar aku tidak menunggu sia-sia seseorang yang belum mau memperjuangkan calonnya. Mungkin juga, jarak memang membuatku berpikir waras, bahwa angan tidak terlalu tinggi.
Jika saja, tidak ada jarak. Mungkin aku akan lebih terasa terluka. Karena diabaikan secara langsung. Terima kasih, jarak. Penantianku mungkin tidak berhasil mendapatkan cintanya. Tetapi pada akhirnya aku dipertemukan dengan orang yang tepat dengan waktu yang cepat dan jarak yang dekat.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”