Berakhirnya Hubungan adalah Keputusan Kita Bersama, tapi Kenapa Seolah-olah Kau yang Menjadi Korban?

korban berakhirnya hubungan


Kau mulai memainkan kartu trufmu sebagai korban. Kau mulai membicarakan pengorbanan. Khususnya pengorbananmu. Kau mulai menghitung pengorbanan layaknya ilmu eksak; untuk tahu mana yang minus dan mana yang surplus. Ketahuilah di saat yang sama, cintamu mulai retak. -arifmulyono


Advertisement

Kemudian, di malam yang sama. Kau mulai menghubungi sahabat-sahabatmu. Menangis sejadi-jadinya, sehingga orang akan merasa iba. Lalu saat tangismu reda, mereka akan bertanya “Kau kenapa? Bukankah kau adalah pribadi yg tadinya riang, bersahaja dan selalu bahagia? Sekarang harus menangis, sekeras yg kau bisa. Apakah ini tentang dia? Tentang cinta?”

Lalu setelah kau usap kedua air di matamu itu, kau mulai berbicara. Mengutarakan asmara yang akhirnya menjadi luka dan bahagia yang akhirnya menjadi duka.

Kau mulai berpikir dirimu adalah korban. Tapi lupakah kalian, jika saling mencintai tidaklah sendirian?

Advertisement

Kau mulai mengungkit-ungkit masa lalu. Mendobraknya dengan kencang, hingga istirahatnya tak lagi tenang. Katamu kau telah berusaha mati-matian. Melawan lingkungan sekitar, menerimanya hingga di titik paling dasar. Kala itu kau merasa berjuang sendirian bahkan hingga kini. Saat hubunganmu sudah kandas dan kau masih belum bisa ikhlas.

Di hadapan sahabat-sahabatmu kau mulai memainkan kartu trufmu; sebagai korban. Seakan-akan kau yang paling menderita dalam hubungan. Kau yang paling keras berjuang, dan kau yang paling banyak untuk berkorban. Dan lagi, bagimu kau yang paling tersakiti, kau juga yang dikhianati. Lantas sekarang benar bukan kau adalah korban?

Advertisement

Korban dari pengkhianatan cinta, korban dari brengseknya pasanganmu. Ah, lagi kau memang korbannya. Tapi lupakah kau, jika saling mencintai tidaklah sendirian? Lupakah kau jika dirimu bukanlah satu satunya yang berjuang? Lupakah kau jika dirimu bukanlah satu-satunya yang paling banyak berkorban? Lupakah kau jika dirimu bukanlah satu-satunya orang yang menangis, saat hubungan yang lama ini harus berakhir tragis?

Lalu kini, untuk apa kau mulai memainkan peranmu sebagai korban? Bukankah kalian yang sudah sama-sama berjanji untuk berjuang bersama? Saling menerima hingga titik paling dasar, dan saling berjuang melawan lingkungan sekitar? Kau lupa sebelum hubunganmu kandas, tidak mungkin ada hubungan yang bahagia jika hanya salah satu dari kalian yang berjuang. Lantas sekarang, mengapa hanya dirimu yang merasa menjadi korban? Bukankah kalian sama-sama berduka saat menerima luka karena cinta?

Kau masih merasa dirimu adalah korban. Kau dikhianati, lantas jika bukan korban, lalu apa?

Kau memang pernah sama-sama berjuang dengannya. Melalui naik turun hubungan, membawa segenap kemungkinan hingga berubah menjadi setumpuk keyakinan. Tapi, ingatkah dirimu, di masa-masa menyenangkan itu, kau mulai mendominasi dirinya? Ingatkah dirimu bahwa alasan kau ingin bersamanya karna kau ingin merubah sifatnya? 

Bukankah kau yang membuat dirimu sendiri berekspetasi lebih? Bukankah kau sendiri yang membuat dirinya terpaksa mengucap janji? Bukankah kau yang membiarkannya melakukan pengkhianatan ini? Dan lagi, bukankah kau yang memberi kesempatan berulang kali? 

Lalu sekarang, kau mulai merasa dirimu adalah korban. Pun di saat yang sama kau mulai melahirkan dendam. Dan hal yang terburuk kini, cinta adalah soal pelarian. Lantas apa bedanya kau dan dia? Bukankah dia juga adalah korban? Korban atas keegoisanmu, atas tindakanmu yang tak tegas, atas ekspetasimu, atas dominasimu, atas alasanmu memulai hubungan ini, dan atas semua kesempatan yang kau berikan.

Tidak! Aku tidak berucap bahwa pengkhianatan adalah hal yang benar, pun adalah hal yang terpuji yang bisa di lakukan. Tapi, kau tahu? Saat kau mulai memainkan kartu trufmu sebagai korban. Kau bukanlah menjadi sosok yang lebih dewasa, sosok yang akan belajar ikhlas dan lapang dada. Kau hanya akan melahirkan sosok pendendam, melahirkan sosok yang sekali lagi akan terjebak dalam siklus yang sama, dan melahirkan korban-korban berikutnya.


Kau dan aku sama. Pernah memainkan peran sebagai korban. Hal terburuknya adalah melahirkan dendam, hingga cinta adalah soal pelarian. Selamat kau terlah menciptakan korban yang baru. Kini tinggal menunggu waktu, sampai kau mulai memainkan kembali peranmu. – arifmulyono


Andai kau tahu sekarang, perihal korban tergantung dari mana kita melihat. Istilah korban hanya berlaku untuk kita yang tak dapat menginstropeksi diri, yang tidak dapat berbesar hati, bahwa yang hilang akan terganti.

Kau kini mulai membicarakan pengorbanan. Khususnya pengorbananmu.

Kau mulai menghitung pengorbananmu layaknya ilmu eksak. Untuk tau mana yang minus dan mana yang surplus. "Cinta bukan soal hitungan?" begitu katamu, saat dirimu belum menjadi korban. Tapi kini, kau mulai menghitung detailnya; tanggal, hari dan jam.

Seolah-olah semuanya tertulis dalam sebuah pembukuan. Kau mulai mengingatnya satu persatu. Membicarakannya berulang-ulang, seperti orang yang hampir kehilangan akal. Semua itu kau lakukan untuk menguatkan dirimu, bahwa kau adalah korbannya. Bahwa kau telah kehilangan banyak.

Apakah kau lupa untuk mendapatkan sesuatu, kaupun mengorbankan sesuatu. Lalu kini sebagai korban, telah berapa banyak yang kau korbankan. Merekapun adalah korbanmu. Korban dari keegoisanmu, dari seluruh ekspetasimu, dan dari seluruh tindakanmu. 

Lalu apakah mereka memainkan kartu trufnya sebagai korban? Atau justru mereka menerimanya sebagai sebuah pengorbanan yang bahkan tidak sempat mereka hitung. Kau harus ingat dari setiap pengorbanan terdapat banyak keikhlasan. 

Terdapat banyak doa dan pengharapan. Terdapat rasa untuk mengakhiri dan rasa untuk memulai. Ya, mengakhiri semua sesal, ego, amarah, kesedihan dan memulai lembaran baru untuk belajar dari masa lalu. 

Bukankah pengorbanan terdengar lebih tulus, lebih ikhas, dan justru mengandung moral yang positif. Lalu sekarang untuk apa kau hitung? Apakah hanya untuk membantu peranmu sebagai korban?  

Ah sudahlah! Aku tau kau orang yang lebih dewasa kini. Maka bersabarlah, lupakan semua hitung – hitungan itu dan tutuplan kartu trufmu. Mulailah menginstropeksi dirimu. Sudah berapa banyak hal yang kau korbankan. Mungkin ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkanmu, bahwa kau telah kehilangan banyak untuk mendapatkan dan akan mendapatkan banyak saat kehilangan. 

Tumbuh dan mekarlah kali ini, tak masalah meski waktunya lama. Bukankah itu hal yang wajar, bahwa tidak semua bunga akan bersamaan mekar.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Tulisan adalah apa - apa yang tidak dapat dilakukan oleh lisan.

Editor

une femme libre