Jangan Buru-buru Menikah Hanya Karena Lelah. Hidup Itu Terlalu Singkat Untuk Dijalani Bersama Orang yang Salah

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Rasa-rasanya baru kemarin melepaskan seragam putih abu-abu. Tapi nyatanya usiaku telah menyentuh angka 20-an dan aku telah menjadi orang ‘dewasa’. Sampai kusadar bahwa satu per satu teman-temanku telah berpindah ke babak kehidupan mereka yang baru.

Advertisement

Lalu kemudian secara berurutan memberiku 'keponakan-keponakan' lucu. Dan ngomong-ngomong, kapan giliranku tiba? Kenapa ya di usiaku yang kesekian aku masih belum menemukan dia. Dia yang bisa menerima segala keunikan yang kumiliki. Dia yang akan menjadi ayah dari anak-anakku kelak.

Dia yang baunya akan kucium sepanjang malam. Dia yang akan kudengarkan mengoceh ketika belanjaku agak keterlaluan dan sedikit melebihi anggaran. Dia yang setiap pagi tersenyum padaku dengan rambut berantakan dan baju tidur kusut. Dia yang selalu memuji masakanku meski rasanya tak karuan. Dia yang selalu menemani aku begadang ketika si kecil bangun di tengah malam.

Dia yang selalu menumpahiku dengan kasih sayang di saat akhir hariku begitu kacau. Dia yang akan hidup menua bersamaku. Aku membayangkan kami sedang duduk di beranda sembari mengamati cucu-cucu kami yang berlarian dan bermain. Menyenangkan sekali. Ya, dialah jodoh yang telah dipersiapkan Tuhan untukku.

Advertisement

Tahukah Tuhan, aku telah menunggunya sekian lama. Aku berpikir kapan aku bisa menemuinya? Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Lima tahun mendatang? Atau sepuluh tahun lagi? Entahlah. Kau tahu, aku sudah tidak sabar untuk mengenalnya! Tapi sampai kapan aku harus menanti?

Menunggu itu memang membuatku jenuh. Terlebih lagi menunggu sesuatu yang masih semu. Hanya ada dua pilihan. Memilih untuk berhenti atau melanjutkan penantian sembari memperbaiki diri. Namun memilih pasangan merupakan hal yang sama sekali tidak sederhana. Aku harus melibatkan suara hati dan menyesuaikan dengan standar yang telah kutetapkan sendiri.

Advertisement

Lalu bagaimana jika aku tak kunjung menemukan dia yang cocok? Padahal dari orang tua hingga rekan kerja, semua mendesakku supaya segera melepas masa lajang. Tanpa berusaha membantuku untuk menemukan dia. Rasanya sudah lelah dan ingin menyerah.


Kau tidak bisa begini terus, kau harus menikah secepatnya. Ingatlah usiamu. Seorang wanita memiliki sistem reproduksi yang terbatas. Cepat temukan jodohmu. Kalau tidak cepat, lama-lama kau tidak kebagian pria, Sayang. Ibu ingin segera bermain dengan putra-putrimu. Coba lihat, si A sudah menikah dengan tetangganya, si B juga sudah dapat teman sekantornya dan si C dilamar teman lamanya setelah reuni akbar. Kau bisa memilih siapapun itu yang dekat dan suruh segera melamarmu. Ibu khawatir kalau kau tidak menikah, Sayang.


Ketika ibu mengatakan seperti itu aku ingin menjawab, “Bu, pria tidak akan habis dimakan waktu. Mereka masih ada sampai kapanpun!” Dan aku meyakinkannya bahwa aku pasti akan menikah suatu saat nanti dengan dia yang tertakdirkan untukku, bukan dengan ‘siapapun itu yang dekat’ seperti kata ibu. Sebelum ibu menceramahi masalah jodoh, tak terpikirkan olehku untuk buru-buru menikah dengan siapa saja yang mau diajak berumah tangga.

Siapa saja termasuk yang bukan standarku. Dalam mencari jodoh, memiliki standar atau kriteria terhadap calon pasangan memang perlu. Namun, ketika sudah ditelan waktu mungkin saja aku jadi tak memerdulikan standar lagi. Aku jadi tak bisa berpikir jernih lagi. Apa sebaiknya memang begitu? Aku bisa dengan mudahnya menyusul teman-teman ke pelaminan, segera menjadi istri yang baik, kemudian memiliki anak-anak yang banyak. Tapi dengan ‘orang lain’ yang bukan jodohku. Aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamanya.


Tunggu sebentar. Sepertinya ada yang salah. Bukan itu yang kuinginkan. Tapi itu keinginan mereka. Yang akan kuwujudkan adalah ‘keinginan’ mereka!


Menikah kan bukan ajang perlombaan. Dan juga, yang lebih duluan tidak akan mendapat piala. Jangan hanya karena kegalauan melanda dan tekanan dari orang untuk segera menikah. Aku jadi mengorbankan diriku sendiri demi mereka. Padahal hidup yang sudah diberikan Tuhan itu seratus persen adalah milikku. Hanya akulah yang berhak menentukan jalanku sendiri.

Terlebih lagi ketika aku menyanggupi menikah dengan ‘orang lain’ tersebut. Semua orang akan ikut bahagia hanya dalam waktu sehari saja, selebihnya mereka tidak terlalu repot-repot memikirkan kehidupanku dengan ‘orang lain’ itu. Sebaliknya, setelah sehari dan seterusnya yang akan mengarungi rumah tangga kan diriku.

Bagaimana dengan kehidupanku kelak bersamanya? Padahal aku terpaksa menikah dengannya karena usia yang semakin bertambah. Meskipun nyatanya aku sama sekali tidak cocok dengannya. Bagaimana aku bisa bahagia? Lalu kalau demikian kenapa harus memaksakan diri demi memuaskan orang lain dan menyiksa diri sendiri?


Itu namanya melarikan diri dari masalah alih-alih menyelesaikanya. Seketika itu pula aku sadar bahwa buru-buru menikah bukanlah solusi. Aku harus menghadapinya dengan yakin. Ya, aku memilih untuk melanjutkan penantian sembari memperbaiki diri.


Ah, penantian yang melelahkan tapi bukankah menikah dengan pria yang salah lebih menjemukan. Aku harus berusaha keras memahami, menerima, dan memperlihatkan rasa nyaman padahal dalam hati tidak. Hidup terlalu singkat untuk dijalani dengan orang yang salah. Aku yakin Tuhan telah memilihkanku jodoh yang tepat. Tapi aku tak bisa menunggu dengan berdiam diri saja.

Aku harus menjemputnya dengan cara yang benar. Aku menemukan istilah yang begitu indah yaitu memantaskan diri. Memantaskan diri menjadi pribadi yang lebih baik agar bisa bersanding dengan dia yang baik pula. Bukankah jodoh adalah cerminan diri?


Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).


Meskipun seluruh dunia mendesakku untuk segera menikah. Rasanya telinga dan hati ini mulai terbiasa. Karena aku masih memiliki tempat menumpahkan keluh kesah. Setiap kali aku menceritakan masalahku. Dia mendengarnya dengan sabar dan aku tahu bahwa Dia sangat mengerti.

Tugasku mudah saja, merayu-Nya dan bekerja sama dengan-Nya. Kutemukan jawaban kenapa jodohku belum bisa hadir, mungkin saja menurut-Nya aku memang belum siap berbagi hidup dengan dia yang tepat. Dia masih ingin mendengarkan curhatku lagi dan lagi. Ketika aku menyerah, mungkin saja Dia akan sedih.


Memantaskan diri adalah cara elagan menjemput jodoh.


Berkomitmen untuk mencintai dan menghargai diri sendiri. Mengasah soft skill baru dan mengelola emosi dengan baik. Memperbaiki hubungan dengan dengan Tuhan, keluarga dan teman-teman. Aktif berkarya dan bersosialisasi dengan lingkungan yang benar. Berdamai dengan masa lalu. Sampai aku siap menatap masa depan bersama dengannya. Setelah usahaku untuk menjadi yang tepat tuntas kujalani, aku tinggal menyerahkan sisanya kepada Tuhan dan menikmati skenario indah-Nya.


Tuhan mengerti hatimu lebih dari yang kau ketahui. Tuhan menjangkau pikiranmu lebih dari yang engkau bayangkan. Dan Tuhan merancang kebahagiaanmu lebih dari rencanamu.


Aku akan menjadi versi terbaik dari diriku. Memantaskan diri menjadi yang tepat. Dengan begitu, dia yang juga tepat akan semakin dekat. Dia tidak akan datang terlalu cepat atau terlalu lambat karena dia akan datang pada waktunya. Dan ketika saat itu tiba, aku akan siap menyambutnya dengan tangan terbuka.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Cewek yang sedang menikmati masa mudanya dengan melakukan banyak hal, dari yang bermanfaat hingga yang absurd.