Aku ingin bersuara. Aku ingin berteriak!
Mewakili siapa saja di luar sana yang sedang merintih menahan sesaknya dada dari perasaan hancur yang sedang dialami. Rasa sedih, rasa marah, rasa kecewa, rasa malu, rasa tertekan, rasa benci, rasa muak, rasa tidak percaya, hingga rasa takut kehilangan kini telah bergabung di dalam satu hati menjadi satu kesatuan yang ku sebut dengan perasaan yang hancur.
Perasaan hancur dari luka yang diberikan orang terdekat. Perasaan hancur yang tidak akan hilang begitu saja. Perasaan hancur yang menyebabkan sesaknya dada hingga sering meneteskan air mata tiap kali mengingat segala hal tentang itu. Perasaan hancur yang dapat mengubah sikap dan prilaku seseorang.
Bahkan perasaan hancur juga yang dapat memperbaiki hubungan antara hamba dan Tuhan-Nya. Namun, kita hanyalah insan kerdil biasa yang memiliki hati rapuh dan jauh dari sempurna. Betapa tidak enaknya tiap kali dada terasa menyesakkan karena hati dan pikiran saling berdebat mencari penyebab dan akibat sendiri, hingga sering kali diakhiri dengan sebuah tangisan sampai mata lelah dan terlelap.
Perasaan mudah hancur setiap orang-orang terdekat kita berkata,
“Kok belum wisuda, anak paman A aja yang kecil dari kamu udah duluan wisudanya” atau
“Masih santai ya di rumah, belum diterima kerja ya” atau
“Masih kerja di sana ya, nggak minat cari pekerjaan yang lebih menjamin?”, atau
“Saudara dan teman seumuranmu udah pada nikah, kamu kapan?” atau
“Dia nggak cocok denganmu, Ibu nggak setuju, cari yang lain aja yang selevel!” atau bahkan
“Nanti kamu sengsara, kamu nggak akan bahagia kalau memilih dia”. Astagfirullah kalimat-kalimat sederhana yang sangat membekas dihati.
Kalimat yang jawabannya sering diganti dengan sebuah senyuman di sudut bibir, penanda obrolan berakhir namun, mereka tak pernah tahu padahal otak langsung berpikir sangat jauh. Apa yang salah dengan suatu kehidupan seseorang yang mereka sendiri memilih untuk berada dijalur itu dan mereka sendiripun bertanggung jawab penuh atas risiko dari jalan yang telah mereka pilih tersebut?
Orang–orang tersebut sebenarnya tak berhak menghakimi jalan kehidupan orang lain.
“Oh kita kan saudara, kita keluarga, kita ingin yang terbaik untuk kamu”, oke terima kasih.
Kalimat klise ini yang sering mereka gunakan sebagai pembelaan atas luka yang mereka beri. Ini luka. Bukan seperti ini sikap simpati dan kasih sayang yang seharusnya diberikan oleh keluarga, saudara, atau bahkan orang terdekat. Andaikan mereka mengerti sedikit tentang arti sebuah pilihan perjalanan hidup, pasti mereka akan paham bahwa…
tidak ada manusia yang ingin hidup sengsara di dunia ini,
tidak ada manusia yang ingin menjerumuskan dirinya sendiri kedalam kesusahan,
tidak ada manusia yang memilih jalan terburuk untuk hidupnya,
dan yang harus diingat bahwa tidak ada manusia yang tahu bagaimana kehidupannya di kemudian hari.
Tak terlepas dari kodrat-Nya, manusia hanya bisa berencana, berhasil atau tidak kembali kepada kuasa-Nya.
Saya berharap kepada sobat Hipwee untuk bersama-sama jangan pernah lagi menghakimi kehidupan seseorang, apalagi orang terdekat kita. Sebab kita tidak pernah tahu apa alasan mereka memilih jalan hidup tersebut. Bila memang bersimpati, alangkah lebih baik memberikan dukungan dan kepercayaan kepada mereka, bertuturlah dengan baik tanpa membandingkan, tanpa menyakitkan hati, karena sakit hati terdalam pada seseorang berasal dari luka pemberian orang terdekat.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”