Pagi itu, saya kecewa mendengar kabar, "Kak, saya tidak jadi kuliah di Jakarta. Ibu saya ngelarang. Jakarta itu keras. Takut terbawa arus pergaulan yang buruk." Kekecewaan saya bukan terletak pada tidak jadinya kuliah di Jakarta, karena menuntut ilmu bisa dimana saja. Saya hanya menyayangkan alasan pertimbangannya.
Citra buruk masyarakat terhadap Jakarta pernah juga menjadi pertimbangan saya untuk menempuh pendidikan di Ibu Kota. Tindak kriminal, orang-orang yang tidak bersahabat, kemacetan, polusi, bahkan paham radikal. Tapi sekarang saya ada di sini. Bahkan, saya bangga dan bahagia bisa tinggal di kota ini.
Pengalaman tinggal di Ciputat Timur selama dua tahun ini membuat saya membuka mata terhadap Jakarta yang sebenarnya. Memang, tempat tinggal saya bukan Jakarta, tapi tempat destinasi main saya sering kali Jakarta. Mungkin terlalu dini untuk saya menulis ini, tapi inilah curahan hati saya untuk kalian.
Sewaktu awal-awal di Jakarta, saya pernah hampir kecopetan. Itu terjadi ketika turun dari angkutan umum dan hujan deras. Banyak anak-anak yang menawarkan jasa ojek payung. Saya menolak. Di saat anak-anak itu terus mendesak saya untuk memegang payung dan menggunakan jasanya, saya sadar ada tangan orang dewasa yang menyelinap ke kantong belakang celana saya. Dompet menjadi tujuannya. Beruntungnya, saya sadar kemudian menepis tangan itu dan pergi menjauh.
Kejadian itu sempat membuat saya berpikir ternyata benar Jakarta itu keras, menyeramkan. Tapi beruntungnya, kejadian itu malah membuat titik balik pada diri saya untuk mendedikasikan diri ini kepada anak-anak kurang beruntung agar bisa terus belajar, dan mempunyai pekerjaan yang lebih baik nantinya.
Kejahatan bisa terjadi dimana saja, tidak adil rasanya memvonis Jakarta yang bersalah. Kejadian itu juga yang membuat saya lebih menyukai naik angkutan umum Transjakarta dan KRL. Lebih aman dan tentunya lebih nyaman.
Di balik kejadian buruk itu, kota ini mengenalkan kepada saya arti menghargai. Menepis anggapan bahwa orang-orang Jakarta adalah orang-orang yang individualistis dan egois. Jika naik Transjakarta atau kereta commuter line, kita akan melihat pemandangan pemuda-pemudi yang rela berdiri untuk memberikan tempat duduk kepada orang tua atau yang memang lebih diproritaskan untuk duduk. Ini memang tergantung individunya, karena ada saja yang mengacuhkan hal ini. Terutama perempuan — tidak semua, mohon maaf. Mungkin karena beranggapan perempuan makhluk yang lemah. Tapi poinnya di Jakarta juga terselip orang-orang yang penuh perhatian.
Jangankan Jakarta, kota indah kalian pun tentu saja ada orang yang 'kurang' baik itu kan? Tapi apa daya, terkadang satu keburukan akan terus diingat dibanding seratus kebaikan.
Di lain sisi, saya juga pernah menyaksikan kedermawanan pemilik warung yang memberikan minuman kepada seorang nenek paruh baya. Ketika saya mau membelikan nenek itu minuman, Ibu pemilik warung menyuruh saya menyimpan uang saya dan memberi minuman itu secara gratis kepada sang nenek.
Lalu pengamen. Ini memang risih dan mengganggu. Tapi dari mereka terkadang saya mendapat motivasi dan pelajaran berharga. Ketika lagu yang mereka bawakan sesuai dengan isi hati dan keadaan, bisa membuat diri ini semangat kembali. Ketika yang mengamen adalah anak-anak kecil, kita bisa bersyukur dengan keadaan kita yang seakan-akan tidak lebih beruntung dari orang lain.
Di saat kota lain sedang bermusuhan dengan adanya kendaraan umum online, Jakarta sudah berdamai dan bekerja berdampingan. Di sini, kalian juga bisa mengelilingi kota seharian dengan biaya kurang dari lima ribu rupiah dengan naik Transjakarta. Banyak sebetulnya pelajaran yang saya dapatkan di kota ini.
Bagaimana respon Jakarta terhadap perempuan bercadar, laki-laki bersarung, chinese atau minoritas? Jakarta sudah dewasa dalam menyikapi itu. Pemuda bermata sipit, biasa memberikan kursi duduk di angkutan umum kepada lansia atau mayoritas. Perempuan bercadar berkerudung panjang, mudah kita temui. Di Transjakarta dan KRL pun ada ruang serta gerbong yang dikhususkan untuk perempuan. Bahkan penduduk Jakarta gemar bersedekah. Ketika saya membandingkan pemasukan kotak amal masjid hari Jumat di Jakarta dan kampung halaman saya, jauh berbeda. Di Jakarta mendapat jutaan atau belasan juta sangat mungkin sekali.
Mengenai pergaulan, saya memiliki teman-teman Jakarta yang baik hatinya dan tidak sombong budinya. Ketika membutuhkan A, mereka siap membantu. Ketika cerita B, mereka sedia memberi solusi. Dari mereka banyak yang mengajak saya untuk berkunjung ke rumahnya. Sangat ramah bukan? Kembali lagi, pergaulan yang buruk bisa terjadi dimana saja, tidak hanya Jakarta.
Untuk membuktikan Jakarta itu indah, seringkali saya mengajak teman-teman dari kota lain untuk main ke Ibu Kota. Melihat wajah lain Jakarta. Saya ajak mereka menikmati fasilitas kendaraan umum seperti Transjakarta dan KRL, yang mungkin tidak mereka dapatkan di kota tempat tinggal mereka. Bahkan, teman yang saya ajak naik Transjakarta mengatakan, "Ini kaya di Jepang."
Mungkin karena keseringan nonton anime, yaa. But that's right, Jakarta juga modern.
Satu teman yang pernah saya ajak ke Pantai Ancol, dia ingin lagi saya ajak keliling Jakarta. Dia ingin saya mengajaknya ke Monas, Kota Tua di malam hari, dan tempat lainnya. Saya senang, ini membuktikan mereka tidak kapok untuk berkunjung ke Ibu Kota. Walau kemacetan tetap menjadi keluhan utama mereka.Â
Dan harus kalian ketahui, Ibu saya sekarang malah menganjurkan adik saya untuk menempuh studi di Jakarta. Biaya hidup yang murah katanya. Padahal dulu, sewaktu tahu saya keterima universitas di Jakarta, beliau sangat khawatir dan mewanti-wanti saya untuk jangan ini jangan itu. Hidup terkadang seperti itu.
Tulisan ini sangat subyektif. Tapi jujur, dimana pun kalian berada selalu ada dampak baik dan buruk terhadap kalian. Tergantung diri kalian bisa menyikapinya bagaimana. Jangan takut, waktunya membuktikan. Salam dari Jakarta!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”