[Bridge]
Bilas muka, gosok gigi, evaluasi
Tidur sejenak menemui esok pagi
Walau pedih ku bersamamu kali ini
Ku masih ingin melihatmu esok hari
Dulu waktu masih kecil, rasanya akan bahagia sekali jika hari ulang tahun tiba. Rasanya ingin segera bertumbuh besar. Kita merasa bahwa sekolah sangat membosankan, seandainya dalam perjalanan hidup ini ada program akselerasi, kita pasti akan mengambilnya. Tanpa perlu masuk sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA), kita berharap sudah berada di bangku kuliah, mulai bekerja, bahkan sudah menikah dan punya anak.
Tapi ternyata ketika tahun demi tahun mewujudkan harapan kita, dan akhirnya membawa kita kepada jenjang umur yang baru dan terus bertambah, semua perasaan dan harapan di masa kecil yang ingin cepat besar menjadi sirna. Kenyataannya, menjadi besar itu tidak semenyenangkan imajinasi masa kecil kita. Itu hanya sebuah fatamorgana. Tanggung jawab kita ternyata mulai berubah, bahkan bertambah. Dari yang hanya disibukkan dengan pekerjaan rumah (PR), tugas di sekolah, omelan dari ayah dan ibu atau bapak ibu guru, kini berganti menjadi runtutan rapat dan tuntutan realisasi dari hasil rapat tersebut dengan deadline yang saling berdekatan.
Bisa bayangkan betapa rumitnya kerja otak kita sekarang. Belum lagi, beban untuk bisa membantu orang tua dan adik-adik, lalu masalah hubungan dengan kekasih. Belum selesai dengan semua itu, lingkungan yang toxic bahkan omongan netizen maha benar yang semakin hari semakin santer di telinga kita membuat harapan masa kecil untuk segera beranjak dewasa berakhir pada penyesalan yang mendalam.
Kita dihadapkan pada kenyataan harus menanggung beban yang lebih besar. Kalau waktu sekolah masih diharuskan untuk punya jam istirahat siang alias tidur siang, saat kita bertumbuh besar dan masuk dalam fase kehidupan yang baru sebagai pekerja, bisa tidur di siang hari adalah mukjizat, ya, hal yang mustahil terjadi. Tujuh hari dalam satu minggu pun rasanya tidak cukup. Anjuran orang-orang bijak untuk kita bisa punya me time rasanya bertabrakan dengan banyaknya tuntutan yang harus diselesaikan.
Bersenang-senang dan menunda banyak tanggung jawab di usia yang semakin bertambah ini nyatanya bukanlah solusi terbaik untuk "melarikan diri sejenak" sebagai sebuah bentuk me time. Karena akhirnya kita akan terlena dan tertinggal jauh. Hmm.
Ya, pertambahan umur telah menuntut kita untuk selalu serius, karena ternyata hidup itu tak sebecanda kelakuan kita di zaman putih abu-abu. Dimana hidup itu rasanya hanya tentang menyalin PR teman, menyontek waktu ujian, makan dijam pelajaran, tidur di unit kesehatan sekolah (UKS) waktu pelajaran Matematika, membalas SMS di kolong meja, membuat guru menjadi tidak betah mengajar di kelas, membully para junior, atau bahkan berganti pacar setiap minggunya.
Pertambahan usia dan tanggung jawab nyatanya tak sebecanda itu, karena kini kita sering burn out, kita menjadi kelelahan dan mulai mengomel. Bahkan secara tidak sengaja menyakiti orang-orang yang ada di sekitar kita dan mengasihi kita. Kita tidak bisa mengatasi semuanya, lalu munculah lagu ini, evaluasi. Iya, benar, kita harus mengevaluasi semua respons kita di fase kehidupan yang baru ini, sebuah fase hidup yang perlalu ketangguhan hati untuk melewatinya.
Dalam Reffrain (Reff) dikatakan bahwa, Masalah yang mengeruh, perasaan yang rapuh, ini belum separuhnya, biasa saja, kamu tak apa. Masalah yang mengeruh, perasaan yang rapuh, ini belum separuhnya, biasa saja, kamu tak apa. Karena selama kita masih bernafas dan hidup, masalah memang menjadi sahabat kita sehari-hari. Dan seringkali masalah datang di waktu yang tidak tepat, bahkan datangnya rombongan. Misalnya, ketika kita salah merespon sebagai upaya menyelesaikan satu masalah, ternyata itu membuat masalah lain muncul, lalu kita semakin cemas-ketakutan dan kembali mengambil respons lain yang kurang tepat, dan akhirnya itu menambah datangnya masalah baru lagi.
Benar-benar sangat mengeruh, kita menjadi mudah terbawa perasaan (baper) lalu menjadi semakin rapuh. Kalau sudah begini kita sendiri yang harus bangkit, menenangkan diri, mulai berpikir jernih dan mengambil respon yang benar. Ya, seperti kata lagu ini, kamu tidak kenapa-kenapa kok, biasa saja, lanjutkan hidupmu! Mulailah berlaku sebagaimana usia telah membawamu sejauh ini, ini belum separuhnya dari perjalanan hidupmu, bangkitlah!
Tak kalah powerful dengan reffrain sebelumnya, reffrain lanjutannya pun sangat menegarkan hati, perjalanan yang jauh, kau bangun untuk bertaruh. Hari belum selesai, biasa saja, kamu tak apa. Benar, fase hidup kita saat ini memang belum ada apa-apanya, kita belum memasuki fase yang lainnya, misalnya fase pernikahan atau bahkan fase memiliki anak. Dimana dalam fase hidup tersebut, kita dituntut harus bisa membagi waktu, perhatian (fokus), bahkan uang dengan lebih bijaksana lagi dari yang sebelum-sebelumnya sudah kita lakukan.
Jadi apapun tuntutan dan beban dalam fase kita saat ini, mungkin lagi kuliah atau bekerja, lagi menjalin hubungan yang cukup lama dan rumit, atau lagi sibuk membantu orang tua dan adik, maka saya sarankan untuk kita memutar bahkan menyanyikan lagu ini dengan lantang, karena setiap kita diciptakan untuk berjuang dan menjadi pemenang di babak terakhirnya.
Konklusi lagu ini, menurut saya ada di bagian bridgenya, dimana di dua bait awal bridgenya, setiap kita secara tersurat diminta untuk bangkit dalam keadaan yang sebenarnya. Kita disuruh untuk membilas muka, menggosok gigi, dan mengevaluasi. Ya, mungkin sejauh ini kita sudah salah mengambil beberapa respons yang membuat masalah menjadi sangat keruh. Karena itu, kita perlu untuk bebersih secara fisik untuk menyegarkan diri kita dan mulai membaringkan diri kita (baca : tidur) untuk mengistirahatkan bahkan mereset ulang semua pikiran yang rumit, untuk keesokan harinya kita sudah bisa duduk tenang dengan cara pandang yang lebih fresh.Â
Memang benar sih, ketika permasalah semakin mengeruh, pikiran yang mulai melalang buana tanpa tujuan dan menambahkan ketakutan yang mendalam, bahkan perasaan yang mulai rapuh, kita seringkali akan mendapat tawaran untuk mulai berpikir bahwa sebaiknya mengakhiri hidup saja. Itulah respon kebanyakan dari kita. Tapi lanjutan lirik lagu di bait ketiga dan keempat bridge lagu ini berkata, Walau pedih ku bersamamu kali ini, Ku masih ingin melihatmu esok hari. Ya, meskipun sesulit apapun keadaannya, bahkan orang-orang terdekat kita sekalipun tidak bisa menolong kita, tapi bunuh diri bukan akhirnya.
Orang-orang yang kita sayangi masih ingin melihat kita esok hari dan seterusnya, mereka masih ingin menghabiskan banyak kesempatan hidup ini bersama kita. Jadi jangan bodoh untuk menjadikan bunuh diri pilihan terakhir atas semua kerumitan fase hidup ini. Karena kita tidak sendirian, orang tua kita, kakek nenek, om tante kita sudah melewati fase ini dan mereka berhasil menang. Bahkan teman-teman kita pun di belahan bumi mana pun (mungkin) sekarang sedang melewati fase yang sama seperti kita dan mereka berjuang untuk bisa memenangkannya bersama kita. Jadi berjuanglah terus sampai menang. Lets singing together, "Biasa saja, kamu tak apa!" FIGHTING EVERYONE!
**Thanks to abang Baskara yang telah menjadikan keresahannya sebagai sebuah lagu apik, menginspirasi bahkan mencelikkan mata-pikiran banyak orang yang mendengarnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”