Surat Terbuka untuk Kita yang Tengah Berjuang Melawan Insecure dan Mulai Kehilangan Syukur

Insecure kurang bersyukur

Izinkan aku menghentikan dentingan jam, barang sejenak saja. Mencoba mengingat tentang bagaimana semua ini berawal. Senja di sore itu ialah momen senja terakhir yang kurasakan di masa belasan tahunku. Oranye sendunya membawaku ke pintu baru, sebuah realita kehidupan di mana aku bukan lagi seorang anak kecil yang gampang menangis karena mainannya direbut oleh teman. Bukan lagi anak kecil yang belum bisa membedakan mana yang baik untuknya dan mana yang sepatutnya dihindari. 

Advertisement

Ketika lilin kue tart berbentuk angka dua puluh itu kutiup, aku sadar bahwa jiwa kekanakan dengan segala naluri labil remajaku harus kuganti menjadi ke arah dewasa. Aku yang siap tidak siap harus tegak berdiri dengan pundak yang mudah rapuh oleh badai permasalahan. Hingga aku berada tahap ini, fase di mana aku dengan segala pesimistis terhadap diriku sendiri. Bahwa ini tidak sesederhana yang dibayangkan, betapa meragukan diri sendiri jauh lebih mengerikan daripada meragukan yang lain. Bahwa ketidakpercayaan yang paling berat ialah ketidakpercayaan pada diri sendiri. Dan, inilah aku yang sekarang.

Saat melihat ke kiri, temanku berhasil. Saat melihat ke kanan, temanku berjaya. Sementara aku masih begini-begini saja. Sementara aku masih stagnan tanpa ada peningkatan apa-apa. Sebuah perjuangan memang kuakui itu tidaklah mudah. Betapa proses untuk mencapai apa yang diinginkan membutuhkan usaha yang gigih. Sama seperti yang lain, aku pun juga berusaha mengupayakan diri untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tapi lagi dan lagi, yang kutemui ialah kegagalan. Menangispun tidaklah menjadi sesuatu yang menyedihkan lagi sebab betapa banyak kata gagal yang ku temui. 

Namun ketika aku menengok ke sekitar, bagaimana temanku, bagaimana orang lain dengan perjuangannya bisa meraih kesuksesannya. Aku juga sama, dengan perjuangan yang sama, tetapi mengapa hasilnya berbeda? mereka dengan kesuksesan sementara aku dengan kegagalan. Aku merasa jauh dari tempat mereka, merasa bahwa aku tak layak meski itu hanya sekadar berdiri sejajar dengan mereka. Aku dengan kegagalanku, bagaimana bisa aku maju?

Advertisement

Label rupawan tidak kumiliki. Rupa lumayan, tidak. Pintar, tidak. Bakat terpendam, tidak punya. Skill mumpuni, tidak ada. Apakah harus menjadi spesial dahulu agar aku bisa mendapatkan tempat dilingkungan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kerupawanan menjadi point plus yang mampu memudahkan seseorang di segala urusan. Aku dengan mukaku yang ya, pas-pasan, bahkan lebih dari itu aku sering membandingkan fisikku dengan yang lain. 

Tentang bagaimana aku yang tak sebanding dengan mereka, tentang aku yang tidak bisa berada dititik seperti mereka hingga tak jarang aku merasa hopeless, bahkan terlebih lagi satu-dua kali aku menerima ujaran bodyshaming yang itu sungguh membuatku jatuh. Di sisi lain kemampuan seseorang juga tak bisa disepelekan dilingkungan, aku paham akan hal itu.

Advertisement

Tapi sayangnya aku tak memiliki keahlian yang membuat namaku menghiasi lingkunganku. Lalu dengan kondisi yang seperti itu, dapat dipastikan aku tidak akan memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusiku di lingkungan.

Aku bisa apa? Aku tidak punya kelebihan, apapun itu. Apa yang selama ini aku usahakan, orang lain pun bisa melakukannya juga. Ketika aku mematut diri didepan cermin, kuperhatikan lekat-lekat sosok yang ada di depanku itu. Semakin aku memperhatikannya, semakin terlihat jelas kekurangan-kekurangan yang membuatku semakin sulit untuk sekedar berdiri tegak menatap pantulanku sendiri. Aku merasa berada di dunia lain, di sebuah sudut gelap yang terasa sunyi dan kelam. Aku hanya bisa meringkuk tanpa mampu bergerak barang sedikitpun. Berteriak pun tidak bisa, apalagi berpikiran untuk mencari pintu agar bisa keluar dari ruang gelap yang sebenarnya tercipta oleh diriku sendiri.

Semesta, tolong buat aku bahagia kegagalan kemaren membuatku trauma untuk kembali melahirkan usaha. Sementara perjuanganku hari ini terasa tak bernilai apa-apa. Muhasabah, perenungan yang ku lakukan justru terlalu berlebihan hingga aku lebih terfokus pada segala kekurangan yang kumiliki. Aku sadar betul bahwa meremehkan diri ialah bentuk kepengecutan terhadap diri sendiri.

Insecure membawaku jatuh ke jurang yang gelap nan kelam. Aku terlanjur memposisikan diriku di sudut yang tak terjangkau oleh sinar. Saat aku berusaha untuk menegakkan pundak, mencoba berpikir bahwa aku memiliki sisi putih di antara ribuan gelapku, saat itu pula aku kembali sadar bahwa aku pasti akan kembali lagi ke keadaan semula, kelam. 

Tapi bukan aku jika tidak menyayangi diriku sendiri untuk terus berusaha bangkit keluar dari jurang yang ku gali sendiri. Bahwa aku berhak untuk mencintai diriku sendiri, mencintai segala kelebihan dan kekurangan, lalu berdamai dengan semua sisi gelap yang ku miliki. Seperti yang dikatakan oleh orang lain untuk menghadapi orang yang tengah berada dalam fase insecure, aku harus percaya pada diri sendiri. Bahwa aku berhak bahagia dengan segala apa yang ku miliki, hingga kemudian aku sadar bahwa aku terlalu jatuh hingga lalai akan kehadiran-Nya.

Karena segala yang diciptakan-Nya akan selalu membawa manfaat. Tak terkecuali alasan mengapa aku diciptakan, bukankah untuk menyebar kebahagiaan dan kebermanfaatan? Aku dengan insecure-ku, membawaku lupa akan caranya bersyukur. Bukankah dunia ini terlalu berwarna untuk kuwarnai dengan sendu dan kelam?

Seperti yang seseorang katakan. Sebelum membuat orang lain bahagia terlebih dahulu kau harus mengenal apa itu bahagia. Siapa yang akan menerimamu dengan sepenuhnya selain itu diawali oleh dirimu sendiri?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Abadi meski berlalu.

Editor

Not that millennial in digital era.