Seharusnya aku tidak memaafkanmu.
Setahun yang lalu, aku menerima kata 'maaf' darimu, ucapan sumpahmu pada Ilahi untuk tidak menyakitiku. Jabat tangan yang kita lakukan, sebagai tanda bahwa dirimu serius untuk mengubah sikapnya.
Namun hati kecilku berkata, ia tidak pantas diberi maaf. Dan aku seharusnya tidak memaafkannya.
Dan rupanya hati kecilku benar.
Tidak butuh waktu lama bagimu untuk kembali ke dirimu semula. Sumpah serapah dari mulutmu mengalir lancar layaknya air jernih sungai dari pergunungan.
Jari-jarimu, bahasa tubuhmu, matamu, seperti biasa, membuat diriku layaknya sampah tak berguna. Erangan ketidakpuasanmu seakan menyatakan bahwa aku ini jahanam yang kata-katanya tak pantas didengarkan.
Setiap kali api keluar dari mulutmu dan menyerang badan, aku seperti sedang meminum sebotol racun. Kata-kata makian yang kau agungkan itu terpatri layaknya litani liturgi, membuat diriku semakin rendah, semakin lebih hina daripada orang miskin.
Dan doamu yang berisi keinginan agar diriku meninggalkan dunia ini masih terngiang-ngiang. Panjatan inilah yang membuat hatiku, yang memang pada dasarnya terbuat dari kaca, hancur lebur. Semakin sering kau banting hatiku, semakin hancur dia, menjadi debu.
Inikah namanya cinta?
Tidak. Ini bukanlah cinta.
Dan ini bukan kasih sayang.
Jikalau engkau adalah orang lain, engkau pasti sudah masuk penjara, dan ku=ita sudah berpisah dan tidak bertemu lagi selamanya. Namun engkau adalah orang tuaku sendiri.
Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang sudah bersusah payah menghasilkan lebih yang kau minta Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang sudah memberikan hasil yang terbaik yang bisa kuraih, namun tetap saja merasa kurang? Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang harus membuang impianku demi melaksanakan impianmu yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku?
Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang mau tidak mau harus melupakan segalanya? Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang harus menderita demi memenuhi kebutuhanmu, dan tidak mendapat upah sama sekali? Setidak puaskah dirimu terhadapku, yang kau perlakukan layaknya pembantu, namun bukannya berterima kasih, tapi malah menghinaku lebih parah dari pembantu?
Tidakkah kau sadari bahwa, dengan membanding-bandingkan relasimu dengan diriku, artinya kau sudah memandang rendah diriku? Tidakkah kau sadari bahwa, dengan menghinaku, kau membuatku membenci diriku sendiri? Tidakkah kau sadari bahwa, doa orang tua terhadap anaknya adalah doa amanah tertinggi yang didengarkan Tuhan, maka, jika kau mendoakan agar aku cepat mati, doa yang kau panjatkan itu bisa dikabulkan oleh Tuhan?
Inikah namanya cinta dari orang tua, yang sudah berjuang merlahirkan diriku ke dunia yang fana dan keras ini? Inikah namanya cinta dari orang tua, yang sudah mendidik diriku untuk siap menghadapi dunia?
Apalah jadinya, jika semakin tua, engkau semakin membenciku? Apakah ini saatnya kita berpisah?
Seharusnya aku tidak memaafkanmu. Namun kitab suci melarangku untuk tidak memaafkanmu. Maafkan aku Tuhan. Tetapi apakah memang lebih baik begini terus? Sampai kapan ujian ini akan terus berlanjut?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”