Dinamika hidup kita berhentinya nanti sudah habis tenggatnya dan diminta oleh yang punya hidup. Selagi masih punya waktu, ya jalani seperti apa yang seharusnya. Meraih apa yang seharusnya diraih, mengejar apa yang seharusnya dikejar, memasang target hidup, meraih tujuan sesuai dengan titik masing-masing.
Paragraf di atas adalah kondisi ideal as we all expected. Nyatanya dalam hidupku tidak begitu. Terhitung tiga minggu semenjak kusia-siakan hidupku. Rasanya untuk aku yang produktif ini marah kepada diri sendiri. Namun, upaya untuk berubah dalam diri ini tidak ada. Masih saja berkutat dengan rebahan tiada henti, scroll timeline tiada berpikir, dan banyak hal-hal sia-sia lainnya. Bahkan parahnya untuk beribadah kepada Tuhan sekadar meminta segala cobaan ini dituntaskan, aku enggan. Duh Tuhan, hamba macam apa lah aku ini. Banyak minta, tapi ibadah minim kualitasnya.
Aku bermalas-malasan setiap harinya. Tak ada pekerjaan wajib yang harus dikerjakan, kendali diri menjadi rendah sekali. Nanti aku akan masuk kerja di bulan Mei, tidak tahu apakah sesuai jadwal yang ditetapkan atau tidak, pandemi corona ini mengubah seluruh tatanan dalam kehidupan dalam berbagai sektor. Banyak manusia pusing dibuatnya.
Aku juga pusing. Menyendiri di dalam kamar kos-kosan padahal aku suka keramaian. Tidak ada kesibukan, namun aku yang terlalu malas mencarinya. Ketakutan dan hati tidak tenang karena ibadahnya jarang, sering merasa tidak enak badan-karena panik kebanyakan terpapar konten bernada negatif di media.
Berubah diri ini rasanya. Tidak kutemukan bahagia di dalam kesehariannya. Bahagia merupakan tanggung jawabku, yang harusnya kuupayakan sendiri, bukan kulimpahkan kepada orang lain. Pacarku misalnya. Tidak punya salah apa-apa, tapi selalu kusalahkan atas kesedihanku sendiri. Kasihan dia, takutnya habis sudah kesabarannya menghadapi wanita gila yang selalu mencari problematika di kehidupannya. Sekali batas kesabarannya habis, maka hancur sudah rencana ke depan yang kita susun bersama-sama. Aku yang tidak ada kerjaan ini seolah sengaja mengacaukan hidupnya. Mengganggunya, mmencari-cari masalah, buat dia semakin marah.
Malam ini aku sadar akan apa yang terjadi. Belakangan emosiku sangat kacau tak terkendali. Aku bisa menangis tersedu seperti ditinggal mati hanya karena kata-kata yang sedikit menyinggung hati. Aku bisa marah-semarah mungkin hanya karena merasa terabaikan dan dianggap lalu seperti angin. Aku bisa sangat ketakutan. Alasanku adalah takut mati. Tapi parahnya meskipun aku takut, tapi aku tak mempersiapkan matiku dengan baik, hari-hariku masih tidak penting. Amalan ibadahku masih sangat kering.
Kukira, aku begini karena takut pandemi, ternyata salah kaprah. Tidak lain tidak bukan, sebabnya adalah diri sendiri. Aku yang kacau, aku yang malas, aku yang membuat hidupku tidak berarti. Hidup yang kupinjam ini mau kukembalikan pada Tuhan seperti apa? Dunia kacau, akhirat lebih kacau balau. Sesak nafasku mengingat ibadahku yang bolong-bolong. Perbaiki salatmu, maka Allah akan memperbaiki hidupmu. Salatku parah itu yang ku lihat makin memperparah hidupku.
Masih banyak hal yang mengganjal di dalam hati dan menyumbat di dalam kepala. betapa aku menyesal menghabiskan waktuku dengan sia-sia. Padahal aku punya talenta, padahal hal baik yang harusnya kukerjakan masih sangat ada. Tapi mengapa kukerahkan segala tenaga tuk bermalas-malasan saja. Konsep diriku perlahan berubah menjadi negatif, berikut arah pikirannya. Menyalahkan orang adalah imbasnya, mengutuk diri sendiri adalah efek jangka panjangnya. Seolah kehidupan ini bakal berjalan buruk ke depannya tanpa ada harapan. Seolah bilang ke diri sendiri bahwa jalani saja hari ini dulu, untuk besok kita pikirkan lagi. Padahal setiap harinya kosong, bagaimana mungkin mau memulai berpikir esok hari. Diriku sengaja membuat kehidupan ini jadi minim substansi.
Marah perlahan menyelimuti diri ini. Penyakit malas yang kian mengakar seolah nyaman bersemayam. Menggerogoti hal-hal baik di dalam hati dan pikiran yang harusnya terealisasi dalam bentuk perbuatan. Menyesal, detik ini yang aku rasakan. Betapa kemalasan memberikan problematika lebih dengan efek domino yang menyesakkan. Bukan pandeminya yang harusnya disalahkan, penyakit malasnya yang harusnya disembuhkan.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”