Bola kara, orang Sumatera bilang begitu. Bola yang terbuat dari plastik, yang dijual di kios dan toko-toko mainan anak-anak dan biasa dimainkan anak-anak di jalanan atau di tanah lapang. Melihat anak-anak bermain bola kara menjadikan saya teringat masa kecil di kampung nun jauh di timur, tempat matahari terbit. Bukan kara namanya tapi bola rokot. Tidak juga terbuat dari plastik bahkan bahan kulit. Bahannya terbilang sederhana dan sangat sederhana. Seharusnya tidak disebut bola, tetapi gumpalan sampah. Sebab, bahan bolanya dibuat dari kertas, plastik, dan bahkan dedaunan hutan yang digumpal hingga berbentuk bulat. Gumpalan itu kemudian dilapisi plastik dan dianyam menggunakan tali sekuat dan serapi mungkin. Ketika itu jadi, ia disebut bola. Bola rokot.
Bermain bola kara sebenarnya mirip-mirip bermain bola rokot. Perbedaannya terletak pada kualitas bola. Jika tali-tali mulai putus bola rokot siap kembali menjadi sampah dan permainan pun usai. Untuk membuatnya kembali butuh waktu dan keterampilan khusus untuk menganyam. Sebab tak sekedar menganyam, ketelitian dan daya seni menjadi tuntutan tersendiri membuat bola rokot.Â
Pada bola kara, jika bola kara mulai bocor maka akan mudah pecah. Jika sudah pecah maka harus diganti. Yah, mengganti bola kara tidaklah sulit. Pergi ke toko membelinya lalu kembali dan permainan bisa dilanjutkan.Â
Hanya saja bermain dengan bola rokot atau bola kara bagiku memiliki filosofi tersendiri. Ada estetika permainan yang kaya akan nilai kehidupan yang bagus untuk dipelajari. Bermain bola kara ataupun bola rokot tak asal menendang, tak sebebas menyepak apalagi menginjak-injaknya. Selain karena bahannya yang sederhana dan mudah rusak, para pemain tak mau direpotkan dengan hanya mengurusi bola setiap saat. Yang diutamakan di sana adalah permainan. Maka untuk menjaga stabilitas dan efisiensi permainan para pemain berusaha sedemikian agar permainan tidak membahayakan bola. Bola menjadi nilai tertinggi dan menentukan apakah permainan bisa dilanjutkan atau tidak. Sebab ketika bola pecah dan rusak, permainan terhenti dan nikmatnya permainan tak selesai untuk dijelajah oleh rasa.
Bermain bola-bola ini butuh kesabaran. Yah, kesabaran untuk mengoper dan menggiring bola sebagus dan seakurat mungkin agar tak cepat diambil lawan. Ada keterampilan untuk menahan bola pada kaki agar tak lepas dan tak pecah, tak jauh tertendang, tak pula tak sampai jika dioper. Ada juga keterampilan membidik bola ke gawang dengan mengukur jarak tendang, kekuatan angin dan lainnya. Pada akhirnya bermain bola kara memiliki kesenangan sendiri untuk berimajinasi. Berimajinasi menjadi pemain bintang sekelas Messi, Ronaldo, Totti, Hazard, Lampard, Xavi Hernandez, dan sederetan nama lainnya yang selalu menghiasi layar kaca di laga-laga mancanegara. Ketika lesakan bola berhasil menjebol gawang lawan, tak terkira anak-anak berlari ke sudut lapangan, meniru para bintangnya dengan berbagai macam gaya. Mulai dari gaya biasa sampai gaya luar biasa.
Sayangnya imajinasi ini terhenti kala kaki-kaki kecil mulai menginjak paku, terantuk batu, bahkan tergores kayu dan semacamnya. Imajinasi itu tergerus lecetan pada tubuh yang jatuh di tanah berbatu, dengan kerikil-kerikilnya memberi salam tempel pada tubuh. Dan di saat itu para pemain berhenti sebentar, entah membantu yang celaka atau sekedar memberi rasa iba dengan menengok dan melihat-lihat.
Yah, ini kisah bola kara. Kisah anak-anak kecil yang mulai menggunakan pekarangan rumahku menjadi arena permainan mereka. Selain karena pekaranganku luas, di sini ada sedikit rumput dan tanahnya tidak keras. Aku hanya menahan napas dan tersenyum bungkus saat dentuman bola bergema dari tembok dan kaca jendela yang pada saat tertentu memberikan hadiah bekas lumpur dan kotoran lainnya.
Semua itu tak jadi soal. Ada kebahagiaan sendiri menonton mereka bermain. Selain menjadikan suasana ramai, juga memberi ketentraman batin melihat anak-anak mempermainkan si kulit bundar.Â
Kini permainan itu semakin seru dan mengasyikkan. Selain anak-anak, orang muda pun turut meramaikan pekaranganku setiap sore. Tak ketinggalan aku pun tiba-tiba lebur dalamnya. Ada sedikit nostalgia bermain bola kara. Nostalgia bola rokot yang tak selesai di masa lalu bersama kawan-kawan di masa itu yang kini entah di mana. Adakah mereka masih bermain bola rokot? Atau bola kara? Atau tidak sama sekali?
Â
Kamar Sepi
Batusangkar, April 2019
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”