Ini Cerita Saya, Menjadi Pasangan Awardee di Belanda.

Bagi pasangan baru seperti saya, merantau seperti ini adalah pelajaran berharga untuk mandiri berjuang bersama jauh dari keluarga.

Hampir 2 tahun saya tinggal di Belanda, tandanya hampir selesai pula masa studi Magister dari Wenty (istri saya) di Wageningen University and Research dan kami harus bersiap untuk pulang. Akhir-akhir ini di media sosial beberapa teman ramai membagikan tulisan mengenai tips dan pengalaman mereka untuk meraih beasiswa LPDP. Oh, ternyata pendaftaran dan seleksi untuk tahun 2018 telah dibuka. Berarti jika disimpulkan tujuannya mereka membagikan adalah agar para pemburu beasiswa mendapatkan bayangan apa saja yang harus disiapkan.

Advertisement

Saya coba cari di search engine terkait beasiswa LPDP dan luar negeri, banyak sekali ternyata orang yang menulis mengenai tips dan motivasi agar bisa diterima di beasiswa ini. Tetapi hanya beberapa tulisan yang diperuntukkan bagi pasangan penerima beasiswa. Sebelum pulang kembali ke Indonesia, sebagai pasangan yang ikut, baiknya saya menambahkan khazanah tulisan dari sudut pandang pasangan yang mungkin bisa sedikit bermanfaat bagi para pemburu beasiswa ke luar negeri.

Sedikit bernostalgia, akhir tahun 2015, dimana saat itu Wenty akan men-submit syarat-syarat seleksi beasiswa LPDP. Kami masih berstatus pacaran dan hubungan kami pun baru berusia beberapa bulan. Selama rentang waktu seleksi tak pernah terpikirkan dan kami diskusikan, bagaimana hubungan kami jika Wenty akhirnya dapat beasiswa ke Belanda? Saya pun sangat bersemangat saat mengantarkan Wenty tes Wawancara dan LGD di Gedung STAN, Bintaro. Malah saya sampai absen mengajar demi mendukung secara langsung tes seleksi LPDP ini.

Tanggal pengumuman itu pun tiba, malam hari tanggal 10 Maret 2016, Wenty mengabarkan kalau dia lolos dan mendapatkan beasiswa LPDP. Sorak-sorai saya saat itu di rumah, sampai besoknya kami bertemu di kostan Wenty pun masih bersorak-sorai. Bagaimana tidak, seleksi mendapatkan beasiswa itu tidak mudah. Sungguh tidak mudah.

Advertisement

Selebrasi kami akhirnya terhenti saat tantangan baru muncul, tantangan bagaimana kelanjutannya hubungan kami? LDR atau putus? Atau haruskah menikah? Variabel tantangan pun muncul, jika LDR, apa kami sanggup menjalani hubungan hanya melalui video call atau chat? Apa putus, sehingga saya tak perlu menunggu Wenty selama dua tahun dan bisa mencari pacar baru?

Jika menikah, apa kami siap menjalaninya? Usia pacaran belum genap setahun, saya pun baru bertemu orang tua Wenty sekali, karena tinggal di beda pulau. Siapkah kami? Jika siap, bagaimana karir saya? Apa yang saya kerjakan nanti saat menemani di Belanda? Biaya hidupnya memang cukup dari beasiswa?

Advertisement

Masing-masing dari kami merenung dan beribadah untuk mencari jawaban terbaik atas tantangan ini. Tanggal 12 Maret 2016, bulat tekad saya akhirnya melamar Wenty secara personal di depan kosannya. Dia pun kaget, tak ada bunga atau cincin, yang penting dilamar hahaha. Akhirnya dia meng-iya-kan. Saat itu juga kami pun menyusun rencana dan jadwal ini itu untuk kelancaran bersama, dengan tujuan akhir berangkat menuju Belanda pada bulan Agustus. Dari lamaran dan resepsi ala Sangkuriang, legalisir dokumen, sampai mengurus izin tinggal (MVV) di kedutaan Belanda. Berangkatlah kami bersama sekalian berbulan madu di pertengahan bulan Agustus.

Saran saya, jika kalian, para pemburu beasiswa sudah memiliki pacar dengan kematangan secara umur dan keyakinan bahwa hubungan kalian sudah mantap serta tidak mau LDR, menikahlah. Sungguh ini hanya saran, jika kalian sanggup menjalankan LDR, ya berarti kalian lebih hebat dari saya. Jika kalian ingin menikmati kesendirian di luar negeri pun tak masalah, sama-sama membahagiakan kok baik bersama pasangan atau tidak. Tulisan ini hanya subjektifitas saya saja, tidak harus menjadi rujukan. Di sini saya hanya ingin berbagi pengalaman bukan menggurui.

Intinya kalian tidak perlu ragu jika ingin membawa pasangan dengan biaya hidup dari beasiswa. Selain beasiswa LPDP, ada banyak beasiswa lain yang mengakomodir dengan family allowance. Sejak 2017, tunjangan ini dihapuskan oleh LPDP. Jangan khawatir, living allowance masih cukup untuk hidup berdua.

Ada banyak bukti dan pelaku di Wageningen yang bisa mengatur itu. Mungkin jika membawa anak akan beda cerita. Namun ada juga kok awardee yang membawa anak tanpa tunjangan keluarga. Sungguh ini preferensi masing-masing. Tetapi jika terkait keuangan, biaya hidup dari beasiswa untuk berdua itu sudah cukup sesuai pengalaman saya.

Lalu bagaimana kegiatan bagi pasangan? Masa nanti nganggur? Cuma nunggu suami atau istri pulang kuliah? Di sini adalah titik bagaimana si pasangan harus memiliki kemauan. Tidak bisa hanya berdiam lalu tiba-tiba datang perkerjaan. Setiap negara dan kota memiliki kesempatan yang berbeda-beda. Si pasangan harus mudah beradaptasi dengan lingkungan.

Saya sendiri selama di Wageningen memiliki kegiatan dan pekerjaan seru untuk mengisi hari. Pagi dan sore meloper koran (https://www.hipwee.com/narasi/cerita-puasa-loper-koran-di-belanda/), siang hari berbelanja makanan di tempat yang murah (meski jauh, ya diladeni demi akhir minggu bisa jalan dan jajan), serta seminggu tiga kali bermain sepak bola dengan masyarakat sekitar.

Jika pasangan yang dibawa perempuan bagaimana? Masa ngeloper? Banyak banget potensi kegiatan agar tidak merasa menganggur bagi pasangan. Ada yang menjadi daycare anak-anak pelajar Indonesia yang kedua orang tuanya sekolah juga, mengantar jemput anak. Ada yang jualan masakan Indonesia, pelajar Indonesia nggak semua bisa masak, dan nggak mungkin tiap hari harus makan kebab atau pizza.

Perut nasi mana kerasa. Pasangan pria tidak mau ngeloper dan daycare? Di Belanda kalian bisa buka service tambal ban dan perbaikkan sepeda. Banyak banget peluangnya, tak perlu khawatir jika memiliki kemauan.

Terkait karir di Indonesia yang harus ditinggalkan atau resign? Nah ini lebih kepada preferensi masing-masing. Saya tidak menilai resign lebih baik daripada tetap kerja. Tidak sepenuhnya menemani dan meninggalkan pekerjaan itu lebih baik bagi hubungan keluarga. Sekali lagi saya tegaskan, ini bukan perihal baik dan buruk, hanya sekedar berbagi pandangan.

Karena banyak juga di Wageningen yang suami istri mumutuskan untuk MDR (Marriage Distance Relationship) karena satu dan lain hal. Salut sebetulnya pada mereka yang bisa mengatur semuanya itu. Bahkan selain dengan pasangan ada juga jauh dari anak. Tetapi dari kondisi ini mereka bisa menjalaninya toh.

Ada beberapa manfaat yang saya dan Wenty rasakan saat hidup merantau bersama di luar negeri. Saat pasangan stress dengan tekanan kuliah baik ujian atau tugas, ada teman curhat yang selalu siap sedia mendengarkan dan menyemangati kembali. Sungguh kuliah di Wageningen tidak mudah, kasus bunuh diri karena stress itu nyata dan ada. Memang ada teman Indonesia maupun Internasional yang siap sedia mendengarkan, tapi akan terasa berbeda saat kalian menceritakan kepada orang terdekat, yaitu keluarga.

Bagi pasangan baru seperti saya, merantau seperti ini adalah pelajaran berharga untuk mandiri berjuang bersama jauh dari keluarga. Saat di Indonesia, jika ada permasalahan, keluarga selalu siap membantu dengan jarak tinggal yang berdekatan. Nah kita harus menyelesaikan masalah apapun hanya berdua, dari masalah recehan menu makanan nyampe masalah berat seperti sakit.

Masih banyak lagi sih manfaat dan cerita perjalanan kami selama hampir 2 tahun ini. Tapi nanti terlalu panjang dan membosankan, mungkin ini pun sudah terlalu panjang hehe. Tulisan ini hanya sebagai gambaran saja semoga bisa bermanfaat bagi kalian pemburu beasiswa ke luar negeri. Karena setiap orang akan menjadi cerita bagi generasi setelahnya. Selamat berjuang para pemburu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Senang cah kangkung sama pepes tahu