Ibu,
Aku bertemu seorang laki-laki. Ah, tidak. Ketika itu dia bahkan belum genap 14 tahun. Tapi sebocah itu pun dia sudah bisa membuatku menulis puisi. Aneh ya, Bu? Tapi begitulah aku jatuh cinta pada bocah itu.
Dia tidak pernah memilihku, Bu.
Apakah yang ada di dadanya itu cinta atau belas kasihan atau hanya kesalahpahaman, aku tidak pernah tahu. Sekalipun mata menunjukkan rasa, tiap menatapnya aku tidak menemukan apa-apa selain larik-larik yang melahirkan puisi. Aku selalu memungutnya, menyimpannya rapi di atas kertas-kertas yang tak pernah dia baca.
Aku memang bodoh, Bu.
Berapa kali pun luka membabatku sampai habis, aku selalu mengais lagi apa yang tersisa –lalu menemukannya: utuh di sana. Aku tidak mengerti, Bu. Padahal aku tidak pernah bersumpah untuk setia dan dia tidak juga menjadikanku satu-satunya.
Terbuat dari apakah senyumnya itu, Ibu?
Hingga tanpa melihatnya pun aku akan kalah, terasa menyedihkan sekaligus mendebarkan.
Tanyakan padanya, Bu, bagaimana dia masih bertanya ‘kenapa’ setelah sekian banyak waktu kuhabiskan dengan meyakinkan, menjadi pengingat luka-luka? Sekalipun kepedihannya adalah kesakitanku, bagaimana mungkin aku akan menyembuhkan, jika pedihnya yang paling getir adalah karena perginya perempuan yang dia cinta?
Tanyakan padanya, Bu, bagaimana bisa dia bertanya padaku tentang cara melupakan, sementara selama sembilan tahun aku sendiri masih belum lupa padanya –masih saja ingat untuk menginginkannya?
Aku tidak pernah mengerti, Bu, tentang bagaimana cara dia mengingatku atau caranya bercerita tentang perempuannya –seakan-akan lupa bahwa aku juga perempuan (yang mencintainya).
Aku memang tidak secantik perempuan-perempuan itu, Bu.
Aku hanya punya cinta yang tidak bisa dimakan dan puisi-puisi yang tidak bisa dijual. Tapi bagaimanalah, jika hati memang tidak bisa memilih, tapi hanya bisa jatuh: padanya –pada bocah di balik jendela.
Ibu yang baik dan lembut hati,
Sebatas inilah upayaku untuk merengkuhnya ke dalam ingatan. Jika hingga waktunya dia tidak pernah lagi memilihku, setidaknya aku punya puisi-puisi ini, tempatku menyimpan dia yang tak pernah kumiliki.
Peluk hangat dariku,
Gadis yang jatuh cinta pada putramu
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
sukaaa sama bagian ini “Sebatas inilah upayaku untuk merengkuhnya ke dalam ingatan. Jika hingga waktunya dia tidak pernah lagi memilihku, setidaknya aku punya puisi-puisi ini, tempatku menyimpan dia yang tak pernah kumiliki”
Tri Ismi samaaaa…. entah puisi atau apa bentuknya, yang jelas selalu dituang dalam tulisan 😀
Tri Ismi hahaha bener banget, trus sekarang biar gak lupa tiap kali nulis dikasih kode nama doi. hahaha