Aku hidup bersama ibu hanya sampai berumur dua belas tahun, setelah itu ibu adalah alasanku melanjutkan hidup atau mati muda.
Ibu adalah sosok yang begitu rumit di kepalaku. Semua kenanganku bersamanya sulit untuk kujabarkan artinya, separuh dari diriku menolak untuk menceritakan sosoknya. Begitu sesaat kupejamkan mataku, yang teringat jelas adalah kemarahannya. Memoriku selalu berontak, hatiku teriris. Begitu kesakitankah diriku? Padahal ibu sudah tidak bersama sampai setengah usiaku saat ini. Mungkin itu alasannya bagiku untuk menghilangkan memori bersamanya, karena yang ada aku begitu terluka.
Aku tidak mengerti bagaimana seorang anak kecil menyimpan begitu kenangan pahit bersama ibu kandungnya bahkan menyimpan perih sampai hari ini. Meskipun menyedihkan aku bertekad untuk mencari sendiri kehidupan masa kecilku dulu, dengan membuka berbagai foto ibuku. Dimulai dari ketika ibu menikah dengan ayah, foto abang – abangku dan terakhir, begitu kulihat lembaran setelahnya foto seoranng anak bayi dipelukan ibu. Dan langsung kutebak itu adalah aku, meskipun foto itu tak tergambar jelas wajahnya mungkin karena masih bayi. Di dalam foto itu ibu menggendongku dan tersenyum ke arah kamera. Ya. Mungkin hanya itu yang bisa dia tunjukan bahwa ibu mencintaiku.
Banyak yang bilang
" Ibumu sangat menyanyangimu "
Itu memang benar. Aku tak bisa menyangkali itu sama sekali. Tetapi saat kulihat wajahnya yang dulu saat memarahiku, semuanya hilang. Kebaikan ibu hilang, cintanya seakan memudar. Ibu bukanlah yang terbaik buat diriku.
Ibuku adalah perempuan yang sangat tegas dengan semua anak – anaknya terlebih padaku, mungkin karena aku adalah anak perempuan satu – satunya. Selama hidup bersamanya, diriku selalu dituntut menjadi anak yang mandiri, harus kemana – mana sendirian, tak boleh minta ditemani oleh siapapun. Aku juga dilarang menumpahkan airmataku, atau merengek minta sesuatu karena baginya itu akan membuatku terlihat cengeng dan lemah di depan banyak orang. Ketika aku bertekad menangis ibu tidak akan segan – segan untuk memukulku memakai sapu lidi.
Semua orangtua pasti mengajarkan anaknya untuk bersikap rendah hati dengan menyuruh anaknya meminta maaf saat melakukan kesalahan. Tapi ibuku tidak begitu. Ibu tidak mengizinkan aku melakukannya sama sekali. Terkadang aku merasa ibu mengajarkan anaknya untuk menjadi sombong dengan tidak mau menunduk saat tahu bahwa anaknya melakukan kesalahan.
Suatu waktu sepulang dari sekolah aku melihat boneka barbie yang di jual di dekat sekolahku, kira-kira saat itu usiaku berusia sebelas tahun. Di perjalanan pulang aku berpikir, mengapa seumur hidup aku tak pernah punya barbie seperti teman-temanku kebanyakan? mengapa ibu tidak pernah membelikanku boneka barbie? Pertanyaan-pertanyaan itu yang akhirnya membuatku bertekad untuk memohon pada ibu untuk membelikanku boneka barbie.
Sesampai di rumah, seperti apa yang sudah kurencanakan. Aku memohon pada ibu untuk dibelikan barbie. Saat kuminta ibu hanya menatapku lesu tanpa berkata sepatah katapun, lalu aku kembali bermain bersama dengan teman-temanku sampai sore. Sepulang bermain, aku menemuinya lagi di dalam kamar. Masih sama, ibu hanya menatapku. Diam. dan wajah ibu terlihat pucat, tubuhnya terlihat lesu. Saat itu aku tak perduli pada ibu, aku tetap meninggalkannya seorang diri di dalam kamar.
Sebelum aku pergi tidur, untuk ketiga kalinya aku memintanya lagi. Tapi ibu tetap sama, tak bicara sedikitpun. Di situ hatiku sangat terluka. Aku membayangkan semua teman-temanku punya boneka barbie, tapi aku tidak punya satupun. Aku mulai membandingkan diriku dengan teman-teman lain. Aku mulai berandai. Andai aku punya ibu seperti mereka, pasti aku tidak akan seperti itu.
Aku menangis dan merengek untuk di belikan boneka barbie, Aku tak perduli meskipun ibu akan memukulku atau tidak, yang penting aku bisa membeli barbie sama seperti teman – temanku. Akhirnya, ibu mengambil dompetnya dan memberikanku uang 50.000. Tangisku jadi reda, dengan sesenggukan kuambil uang itu dari ibuku.
" Mengapa datang ke sini hanya meminta uang? " Tanya ibuku
Seketika langkahku terhenti sesaat, namun aku tak perduli. Dengan perasaan senang kusimpan uang itu di dalam tas. Dan akhirnya besok aku bisa membeli boneka barbie seperti apa yang kuharapkan.
Pada tengah malam aku terbangun, karena berkeinginan untuk ke kamar mandi. Saat kulewati kamar ibu, aku melihatnya menangis dengan map berwarna hijau di pegangnya. Ayahku hanya diam, tetapi ayah ikut menenangkan ibuku yang berada di sampingnya. Aku sungguh heran, tak biasanya ibu menangis. Bahkan sedikitpun ibu tak pernah menangis kurasa. Tapi berkali-kali aku tak perduli aku tetap diam, dan tak mau bertanya. Tanpa perasaan aku tetap tidur pulas malam itu.
Sebelum sekolah aku mengintip kamar ibuku, di sana aku melihatnya tidur dengan baik. Kuperhatikan wajahnya
" Tapi mengapa ibu terlihat sangat tua padahal ibu masih berusia 39 tahun ? "
Di samping kasurnya terlihat map hijau yang mengintip dari bawah bantal. Karena penasaran aku membuka isinya, dan tak mengerti apa maksud dari tulisan itu. Tapi diam-diam aku mengingatnya di dalam pikiranku.
Ketika aku menemukan artinya, aku berpikir
" Mungkin itu bukanlah suatu hal yang besar, tapi mengapa ibu menangis ? "
Aku membawa barbieku ke rumah dan menunjukannya pada ibuku. Ibuku membalasnya dengan tersenyum lesu. Lalu aku duduk disampingnya, dengan tiba – tiba ibu memelukku
" Kamu akan baik-baik saja " katanya
Sejak saat itu, ibu terlihat ingin bersama dengan anak – anaknya. Ibu seringkali memelukku tapi aku selalu enggan memeluknya. Selama beberapa bulan itu ibu berbeda dengan selama ini yang kutau. Lagi – lagi aku tak mengerti apapun, aku tetap menjadi anak yang keras kepala yang tak mau perduli tentang itu.
Setelah natal berakhir, ibu menyampaikan pada anak – anaknya untuk untuk tinggal dengan saudara kandungnya. Mendengar itu aku terkejut. Rasanya begitu menyedihkan, aku tak menyangka ibu memilih untuk tidak tinggal bersama kami. Untuk kedua kalinya aku menangis lagi dan meminta ibu supaya tidak tinggal di sana.
Berkali-kali ibu meyakinkanku katanya, ibu akan kembali, ibu juga memohon padaku untuk tidak lagi menangis. Bukannya diam, tangisku bertambah kencang, sehingga ibu memukulku lagi. Hatiku bertambah sakit, lalu aku berlari-lari meninggalkan ibu di kamarnya. Saat ibuku pergi membawa tas yang besar, tak sedikitpun pandanganku menemuinya lagi. Aku benar – benar tidak mau melihat ibuku lagi.
Hingga suatu hari, ada kabar tentang ibuku melalui telepon. Seseorang berkata padaku
" Semuanya akan baik – baik saja "
Dan saat itu barulah aku tau maksud dari ucapan suara itu. Hatiku bertambah terluka, tapi tak sedikitpun aku menitikan air mataku. Aku hanya diam di dalam kamar ibuku dan berselimut panjang yang hampir menutupi seluruh wajahku. Aku tertidur, dan berharap semuanya hanya mimpi yang panjang.
Dan, semuanya bukanlah mimpi seperti harapanku. Dua hari setelah itu, raga ibuku sudah tidak bisa lagi kulihat. Semuanya terjadi begitu cepat di dalam hidupku. Kenangan bersama ibu tidak pernah banyak kutemui lagi. Ketika menjadi dewasa seperti sekarang, saat kulihat seorang ibu yang berjalan bersama anaknya, aku selalu berandai
" Jika ibuku masih ada, mungkin ibuku sudah setua ini sekarang "
Aku rindu ibuku mungkin sesekali. Sesekali rindu, aku menginginkan diriku untuk pergi bersamanya. Begitu paham diriku saat ini, bahwa apa yang dilakukan ibuku saatku masih kecil memang tidak sia – sia. Aku menjadi perempuan yang sangat mandiri, berani melakukan apapun tanpa merasa khawatir. Aku juga menjadi orang yang berhati-hati saat mengambil keputusan. Saat masalah yang datang menghampiriku, aku tak menjadi orang yang mudah menangis atau merasa sedih.
Ibu, aku tak ingin rindu denganmu, karena aku ingin menjadikanmu alasan untukku terus hidup. Meskipun langkah yang kulewati setiap hari sungguh sulit, walaupun setiap pagi nafasku begitu berat saat kutemui tubuhku masih berada di dunia ini.
Ibu, Terima kasih
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”