Ia yang Memiliki Banyak Nama

[1]

Advertisement

Aku melihat seseorang mengakhiri hidupnya semalam. Ia memutuskan untuk menenggelamkan diri di kolam renang. Orang-orang berusaha menolong namun gadis itu menghindar di kedalaman bagai seekor belut yang menolak ditangkap. Ia terus memfokuskan diri pada dasar, hingga air membawanya kembali ke permukaan tanpa napas, dan ia tersenyum damai bagai terbebas dari siksa durjana.

Beberapa orang menangis. Kelak aku ketahui mereka adalah keluarga si gadis yang baru saja marah-marah. Mereka menyalahkan perut buncit si gadis yang tak bisa diratakan. Mereka tak terima ada jiwa yang tengah tidur di dalam sana.

"Apakah kamu menyesal telah mati?" tanyaku pada asap yang melayang. Bayangan itu menggeleng. Bibirnya bergerak tanpa suara..

Advertisement


Aku tidak menyesali apapun. Daripada dia yang harus mati, lebih baik kami pergi bersama. Persetan dengan langit yang tidak menerima. Atau pun bumi yang katanya menolak. Keputusanku telat bulat. Aku akan membersamai jiwa tak bersalah ini sampai kapan pun.


Gadis itu berkata dengan sungguh-sungguh, kemudian pergi entah ke mana. Ia menghilang bersamaan dengan jasad yang dimasukkan ke dalam mobil ambulans.

Advertisement

Aku tersenyum sendiri. Dasar gadis hebat! Sayang saja dia bertemu laki-laki pengecut, tolol, dan tidak bertanggung jawab.

 

[2]

Aku membaca isi pikirannya. Gadis yang bisa melihat hantu itu. Tepat ketika ia melepas jiwa seorang gadis ke alam antara. Begitulah nasib orang-orang yang mengakhiri hidupnya sendiri Terkatung-katung entah sampai kapan.

Ada perasaan bangga yang ia katakan pada si gadis yang telah mati. Bahwa ia tangguh, dan setia sampai akhir, pada jabang bayi yang ia bunuh sendiri. Kalau memang sehebat itu, kenapa ia memilih mati? Mengapa ia tidak memilih cara lain seperti membesarkan anak itu sendirian?

Umurnya masih delapan belas tahun.

Eh? Suara siapa itu?

Konon otak manusia berkembang sempurna ketika ia berusia dua puluh lima. Dengan ketiadaan uang, ilmu tentang mengasuh anak, apalagi bayangan masa depan —bagaimana gadis itu sanggup mengurus anaknya? Jangankan mengurus anak, kestabilan mentalnya saja masih belum kuat. Apakah kau mendorong anak kecil mengurusi semua itu sendiri?

Aku tidak tahu itu suara siapa, tapi aku ikut menukas. Kalau dia memang tidak sanggup melakukan tugas domestik itu, mengapa harus ngamar tanpa memikirkan dampak resiko?

Sudah kubilang, dia umur delapan belas, dan mentalnya belum berkembang sempurna. Bagaimana dia bisa berpikir rasional kalau kematangan berpikirnya saja masih dalam proses?

Masuk akal juga. Omong-omong, kau ini siapa sih?

Senyap. Suara itu tak lagi menjawab. Pandanganku beralih pada seseorang yang menggoyang keras bahu gadis yang bisa melihat hantu itu. "Kin, Kin!"

"Dia kenapa, Ra?" tanya gadis lain yang tak sengaja mendengar keributan keduanya.

"Oh, ngga apa-apa, Mei. Kin punya beberapa kepribadian. Kadang salah satu dari mereka muncul, dan berakhir ngobrol sendiri. Cuma kepribadian itu sering tidak sadar akan eksistensi kepribadian lain."

Gadis yang dipanggil Mei itu melongo. "Bukankah ini masalah serius, Ra?"

Gadis yang dipanggil Ra itu menggeleng sembari tersenyum. "Dia sudah ditangani profesional. Dia akan baik-baik saja."

 

[3]

Sejujurnya, Kin tidak akan pernah baik-baik saja.

Ada yang pecah di dalam sana. Jiwanya. Berserakan menjadi empat potongan. Tiga kepribadian lain, dan satu kepribadiannya sendiri. Masing-masing memiliki nama. Ada Bintang yang memiliki sisa-sisa kepercayaan diri. Ada Marah yang selalu merasionalkan segala sesuatu. Dan ada Kabut yang menggiring dunia hanya pada kesedihan. Sementara Kin seringkali kosong. Ia seperti mayat hidup yang hidup segan, mati tak mau. Terlebih menonton kejadian tragis seperti saat ini, ia tak bisa mengendalikan dirinya lagi.

Semua orang tahu betapa brengseknya Rudi. Laki-laki yang pernah Kin panggil Bapak sebelum ia membusuk mati di penjara. Polisi bilang, Rudi mengakhiri hidupnya sendiri. Hasil otopsi berkata, Rudi mati disodomi.

Traumatis yang ditinggalkan Rudi benar-benar membekas di sekujur tubuh Kin. Pada lubang vaginanya yang koyak. Pada ujung payudaranya yang rompal. Atau ujung bibirnya yang sobek. Sentuhan sekecil apapun membuat tubuh Kin bergetar. Tak menunggu lama tangisnya akan meledak, dan kegilaan melandanya. Kejadian bertahun-tahun lalu itu mulai membaik dengan lambat. Sekarang yang tersisa tinggal jiwanya yang masih pecah.

"Ra…"

"Ini Kin?"

Gadis itu mengangguk. Sorot matanya kembali lesu. Sudah tidak ada Bintang atau pun Marah di sana.

"Syukurlah bukan Kabut yang datang," Kin menarik napas panjang. Paru-parunya seperti baru diguyur udara segar. "Aku ngga bisa bayangin kamu harus menghadapi mereka."

"Its okay..." Rara menjaga jarak dari Kin. Gadis itu tak lagi bisa disentuh. "Jangan khawatir. Aku akan selalu ada buat kamu kok."

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Hobi random talk. So, Hi Stranger!