Puisi 1: Bukan Hanya Senda Gurauan
Berjumpa di persimpangan
Lakunya tak lebih dari sebatas angan
Berlenggak-lenggok demi memenuhi kebutuhan
Ataukah sejatinya, hanya untuk mengejar keinginan?
Ah sudahlah, lihat saja peluhnya yang tak berkesudahan
Hingga tak sempat menggubris cibiran-cibiran tak beralasan
Yang mungkin dapat membuatnya berhenti memperjuangkan kehidupan
Sebab lidah yang tajamnya lebih dari pedang peperangan
Sesekali, pandanganku menangkapnya dalam lamunan
Sembari menatap sebuah foto, lalu di dekapnya dalam pelukan
Tanyaku, ada apakah gerangan?
Sementara, belum genap rasa ingin tahuku, air matanya telah membasahi jalanan
Tangisnya pecah, seolah tak peduli siapa saja yang memperhatikan
Sontak, lalu kudatanginya dengan langkah perlahan
Sembari usaha memaknai tangis yang ditutupi dengan lengan kanan
Dalam diamnya, sedikit demi sedikit aku menangkap jawaban
Ditunjuknya potret wanita paruh baya yang berada dalam pembaringan
Wajahnya berseri, senyumnya penuh keikhlasan
Sementara tatapnya, menyiratkan kedamaian
Sungguh, air mataku turut jatuh hingga merusak polesan bedak lima belas ribuan
Kala diri ini dingatkan dengan ambisi-ambisiku yang menyilaukan
Hingga tak pernah sadar, jika ada yang bersedia menjadikan nyawa sebagai taruhan
Namun tetap optimis bahwa segala ketetapan-Nya adalah yang terbaik untuk kebaikan
Bukan, bukan hanya menjadi bahan senda gurauan
Melainkan sebagai renungan, bahwa sudah sejauh mana rasa kebersyukuran?
Â
Puisi 2: Hanya Debu di Paru
Tekadnya ingin terus maju
Meski raganya kini mulai tertunduk lesu
Setelah seharian beradu dengan waktu
Di kala sebagian tak mahu tahu
Sementara, aku hanya bisa bertanya pada diriku
Apakah hanya sebatas hal akademis saja yang bisa diguru?
Bukankah siapa pun yang kutemu
Bisa mengajarkan hal-hal yang tak pernah didapatkan di sekolah dulu?
Lagi lagi, diri ini merasa malu
Sedangkal inikah jalan pikirku diramu?
Sementara, jika diukur dengan angka saja tidak sampai nilai tujuh
Bisa jadi, suara hatinya gemar berseru
Bukan dengan kata, tapi dari pandangannya yang sayu
Setelah lutut dan sikunya bertemu untuk bejibaku
Dalam pertemuan dengan-Nya, dimana pertolongan tak ada jemu
Lalu, saat itulah lidahnya terasa kelu
Bukan, bukan karena mendadak menjadi kaku
Namun momen itu benar-benar dirindu
Oleh dirinya yang saat berada di hadapan-Nya tak lebih dari sekadar debu
Yang jika dibiarkan hanya akan menjadi sesak di paru
Jadi, masihkah perlu merasa ragu
Bersandar hanya pada Dzat Yang Maha Satu?
Â
by Eva Rosana (IG: @evrosana)
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”