Suatu hari ketika kuliah pagi, teman sebangku aku meletakkan kepalanya diatas meja. Heran deh, kuliah belum dimulai tapi dia udah mau tidur aja. ‘Semalem begadang ngerjain laporan ya?’ tanyaku padanya. ‘Enggak’ jawabnya singkat. ‘Terus kok kamu kayak kurang tidur gitu?’ tanyaku lagi. ‘Iya, abis maraton drakor’ jawabnya santai.
Mendengar jawabannya aku bener-bener heran, ‘Kok bisa ya ada orang yang rela ngabisin waktu istirahatnya hanya demi nonton drama korea?’ tanyaku dalam hati. Mungkin aku adalah salah satu cewek yang nggak ikut terbawa arus segala macam hal yang berbau korea. Aku selalu menolak ketika ditawarin untuk menonton k-drama entah oleh siapa saja. Aku nggak punya alasan pasti kenapa aku selalu nggak mau, pada intinya aku merasa nggak tertarik aja. Hal itu membuatku merasa menjadi alien saat lagi ngumpul dengan teman-temanku yang asyik ngebahas k-drama yang lagi booming waktu itu. Aku adalah satu-satunya orang yang nggak nyambung dengan apa yang mereka perbincangkan. Berdiam diri dengan melihat raut wajah mereka yang begitu ekspresif saat menceritakan aktor korea yang katanya ganteng, menjadi hiburan tersendiri buatku.
Menjadi seseorang yang tidak tahu-menahu tentang kekoreaan sama sekali tidak membuatku merasa ketinggalan zaman sedikit pun. Bagiku, hidup itu penuh dengan pilihan dan saat itu aku memilih untuk tidak terjun ke dalam arus kekoreaan. Kalau kayak gitu nggak salah, kan ?
Ternyata, idealisme anti Korea masih bertahan setelah lulus kuliah, saat bekerja, hingga awal-awal pandemi muncul. Selama pandemi, banyak drama korea yang rilis dengan tujuan untuk menemani waktu #dirumahaja katanya. ‘Apa cuma aku doang yang sama sekali nggak tertarik buat nonton drakor sampai saat ini?’ tanyaku pada salah seorang temanku. ‘Ah, enggak kok. Aku juga nggak pernah nonton sama sekali’, katanya. ‘Oh yaudah, aku normal berarti, hehe’ jawabku yang sedikit merasa lega, seolah-olah merasa aman aja punya teman yang setipe denganku.
Selama pandemi, waktu banyak kuhabiskan di media sosial. Setiap kali membuka medsos, entah itu instagram atau twitter pasti ada aja orang yang ngomongin k-drama, dan yang paling banyak kujumpai adalah konten review. Mau nggak mau nih aku jadi ikutan membaca review yang ada di media sosial. Waktu itu, k-drama yang lagi booming dibicarakan adalah It’s Okay not to be Okay. Berdasarkan review yang aku baca, drama tersebut memiliki alur yang bagus, pemain yang cakep, serta sisi psikologi yang kuat, akhirnya aku pun goyah. Aku merasa harus melihat drama itu karena penasaran. ‘Gapapalah, sekali ini saja.’ kataku dalam hati.
Well, setelah menonton satu episode aku merasa ada yang aneh dengan diriku, ‘kenapa aku ingin segera menonton episode selanjutnya?’ apalagi diakhir episode selalu dimunculkan potongan-potongan episode selanjutnya which is bikin penasaran dong. So, believe it or not aku selesai nonton It’s Okay not to be Okay yang punya 16 episode itu hanya dalam waktu 3 hari. Kalau kamu tanya ke aku, kok bisa ? Dulu aja ogah-ogahan kalau disuruh nonton, terus sekarang sama aja kek ngejilat ludah sendiri.
Jawabanku adalah ‘Semua akan demam korea pada waktunya’ dan sekarang ini aku sedang menikmati waktu ‘ketagihanku’ bersama dengan k-drama. Setiap selesai satu drama, berlanjut drama yang lain lagi dan begitu seterusnya. Bahkan saking ketagihannya aku sampai pernah maraton episode hingga jam 2 malem! Fix nih kalau temenku yang dulu pernah aku ledekin gara-gara begadang nontonin drakor pasti kalau dia tahu aku jadi mendadak korea gini auto dihujat deh aku!
Kalau ditanya kenapa aku jadi mendadak korea ? Well, harus kuakui beberapa hal tentang k-drama yang sukses bikin aku jatuh hati. Pertama, alur cerita yang nggak bisa ditebak. Kamu boleh saja menduga-duga ceritanya bakal berjalan seperti apa, si ini berpasangan dengan siapa, endingnya kayak gimana, tapi siap-siap aja kamu bakalan nggak nyangka dengan cerita yang akan terjadi karena k-drama berbeda dengan sinetron Indonesia yang ceritanya mudah ditebak. Terkadang kamu pengen banget happy ending tapi ternyata malah bikin kamu mewek sampai bantal yang kamu pakai menjadi basah semua, hahaha.
Alur cerita yang nggak ngebosenin membuat penonton selalu merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Walaupun terkadang kesel karena ending yang nggak sesuai dengan ekspektasi, penonton tetep aja dibikin baper dengan cerita yang disajikan.
Kedua, Korea Selatan memang negara yang memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Apalagi di sana punya musim yang nggak dimiliki oleh Indonesia seperti musim semi, salju, dan gugur. Scenery yang cakep-cakep sangat mendukung feel cerita yang disajikan dan begitu memanjakan mata para penonton. Jadi, setelah melihat k-drama tuh fix banget Korea Selatan menjadi destinasi wisata yang wajib untuk dikunjungi !
Ketiga, jumlah episode yang nggak terlalu banyak bikin penonton nggak capek dengan cerita yang disuguhkan. Berbeda dengan sinetron Indonesia yang cenderung memiliki episode yang panjang bahkan hingga ribuan episode. Dengan episode yang nggak terlalu panjang dan alur yang nggak monoton membuat ketertarikan sendiri bagi para penonton.
Nah, dari ceritaku yang berawal dari idealisme untuk menolak semua hal yang berbau korea tapi pada akhirnya ikut jatuh hati juga, mengajarkanku untuk lebih berhati-hati dalam bicara. Mungkin memang ada benarnya juga pepatah bilang ‘benci jadi cinta’ karena saat ini aku udah merasakannya. Harus aku akui bahwa ‘setiap orang akan demam korea pada waktunya’.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”