Nonton kdrama sudah jadi kegiatan favorit saya beberapa tahun belakangan. Meskipun saya sendiri sudah mengenal drama korea dari bangku sekolah dasar namun perhatian saya akan faktor-faktor pendukung hadirnya kdrama seperti aktris dan aktornya, sutradara hingga penulis naskah baru saya pelajari sekarang ini. Terlambat? Menurut saya enggak karena memang kdrama sedang memasuki momentumnya sekarang. Momentum dimana orang-orang nggak lagi pusing membedakan mana Song Joong Ki dan Kim So Hyun.
Obrolan mengenai kdrama juga gampang ditemui di berbagai forum. Mulai dari akun media sosial sampai forum khusus untuk penggemar kdrama. Semuanya ada dan mudah didapat. Untuk itu pengetahuan saya seputar dunia kdrama mulai menumpuk dan meluas. Saya pun menemukan tambatan aktof favorit baru yang sebenarnya sudah pernah saya taksir dulu cuma ya…dulu kan nggak seberapa atentif.
Beliau adalah Lee Sun Gyun. Biar gampang kenalannya saya mau ingetin kalian sama seorang bapak muda nan keren yang berakting di film PARASITE. Pasti pernah dong ya denger film Parasite? Untuk filmnya sendiri sudah banyak yang mengulas disana sini. Saat ini saya mau bahas drama terbarunya yang tayang bulan Desember 2019 kemarin.
Judul dramanya adalah Diary of Prosecutor. Isinya berkutat pada kehidupan sehari-hari para jaksa yang bertugas di kota Jinyeong, kota nelayan yang penuh budaya. Terletak di pinggiran, reputasi jaksa yang bertugas di sini nggak memiliki trademark khusus seperti yang ditempatkan di pusat kota Seoul. Ya ibaratnya mereka jaksa yang dipandang dengan kualitas biasa-biasa saja, tidak istimewa. Setidaknya menurut para penduduk di Korea Selatan sana.
Karena bagi saya drama ini mengajarkan banyak pelajaran hidup yang baru bagi saya. Di sini terdapat empat jaksa yang kegiatan hariannya disorot, keempatnya punya peran berbeda. Mulai dari seorang Ibu yang punya dua anak kembar, seorang jaksa senior yang disorot karena laju kerjanya yang lamban, lajang yang ambisius untuk merebut posisinya kembali di Seoul sampai seorang suami yang menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan istrinya.
Dari sekian banyak pelajaran hidup yang digambarkan disini ada satu yang cukup membekas di ingatan saya. Dimana di episode tujuh Jaksa Lee Sun Woong (yang diperankan oleh Lee Sun Gyun) mendapat ujian sebagai orang tua. Anaknya terlibat kasus pembullyan. Jelas ini cukup menggemparkan karena ia seorang jaksa, masa sih nggak becus ngajarin anak sopan santun?
Akibatnya sang istri kalang kabut di rumah. Di kantor sendiri ia juga turut berhadapan dengan rekan sejawat yang mengurus kasus bully di sekolah lain. Sebagai orang tua dan seorang jaksa batin Lee terombang-ambing. Antara menjadi jaksa yang tegas mengesampingkan perasaannya sebagai orang tua atau justru mengabaikan tugas yang diembannya dan memberi support penuh pada putranya yang didesak hadir di pengadilan meskipun usianya masih muda?
Bingung gak? Ya jelas bingung. Orang saya yang jadi penonton juga ikut galau dibalik layar laptop.
Pada akhirnya Sun Woong memilih untuk tetap menjaga perannya sebagai jaksa. Ia nggak ikut campur lebih dalam di kasus bully anaknya. Sebagai orang tua Sun Woong jelas merasa gagal karena belum mampu mengawasi dan membimbing anaknya menjadi manusia yang bertanggung jawab.  Drama ini menunjukkan bila Sun Woong seorang jaksa yang handal belum tentu ia menjadi suami yang seratus persen handal pula di rumahnya sendiri. Tidak ada yang bisa sempurna memainkan tiap peran yang kita miliki.
Yang bisa dilakukan hanya satu, memberikan yang terbaik dalam tiap peran yang kita jalani untuk memenuhi peran yang kita pikul di pundak masing-masing.
Sebagai manusia kita hidup dengan banyak peran. Seperti Sun Woong ia hidup sebagai seorang jaksa, ayah, suami, warga negara dan jaksa. Nah itu baru yang saya tahu sebagai penonton kan? Jelasnya sulit untuk memainkan tiap peran yang kita miliki dengan benar.
Melihat pelajaran yang diberikan oleh drama ini jujur membuat beban yang saya bawa setiap harinya untuk bersikap seratus persen sempurna dimanapun berada merasa lega. Lega sudah diingatkan bahwa kita manusia ini memang dilimpahi tugas yang kadang mau bagaimanapun keras usahanya masih terasa kurang hasilnya.
Saya belajar menerima saat saya bisa seratus persen di satu peran, bukan berarti saya bisa terus menerus memberikan seratus persen pada yang lain. Saya manusia, saya punya kekurangan serta kelebihan dan saya perlu belajar menerima itu semua.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”