Surabaya, 31 Maret 1995
Hai, Irene, apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja dan sehat selalu. Aku di sini baik-baik saja. Uh, lelahnya. Aku baru pulang dari tempat kerja dan badanku letih. Sebenarnya seusai mandi, aku ingin langsung tidur. Tapi, begitu melihat fotomu, terpikirkan olehku untuk menulis surat. Lagipula, sudah sebulan yang lalu sejak kuterima balasan suratmu. Irene, aku rindu sekali padamu. Maaf kalau aku tidak bisa pulang. Pekerjaanku di sini sangat banyak.
Besok saja, ada tiga proyek yang harus kukerjakan. Tidak ada waktu bersantai. Mungkin masih beberapa bulan lagi aku di sini. Kamu tidak marah 'kan? Jangan marah ya. Kalau pulang, pasti kubawakan oleh-oleh yang banyak. Bagaimana kabar ayah dan bunda? Irene, sampai di sini suratku. Aku sudah mengantuk sekali. Kalau sudah sampai cepatlah balas.
Penuh cinta
Yuda Pratama
***
Sudah 3 hari Irene duduk di tepi trotoar ini. Mengharap keajaiban. Sejak surat Yuda sampai seminggu yang lalu di pintu pagar rumahnya, Irene hanya bisa menatap Pak Pos yang meletakannya begitu saja dan memandanginya terus. Irene sudah ribuan kali berusaha mengambil surat tersebut tapi tak bisa. Rumah ini sepi ketika ayah dan bundanya memutuskan untuk menjual rumah ini dan kembali ke kampung halaman. Tapi sampai sekarang rumah ini belum terjual.
Tiba-tiba ada angin besar yang menerbangkan surat itu. Irene mengikuti ke mana surat itu terbang. Surat itu sampai di kaki seorang bocah. Bocah itu memungutnya dan membacanya sekilas lalu membuangnya. Irene bersorak gembira karena surat itu terbuang dalam keadaan terbuka sehingga dia dengan leluasa bisa membacanya. Tak terasa air matanya pun menetes. Ah, andai saja Yuda tahu, apa yang terjadi sekarang. Yuda mengharap Irene membalas suratnya dan bercerita tentang keadaan di sini, padahal Irene tahu hal itu tidak mungkin terjadi.
Hujan turun dengan derasnya lalu seketika hilang. Ah, Irene tahu siapa yang akan datang.
"Irene, kau harus ikut kami." Suara yang kemudian diikuti sesosok cantik muncul di hadapan Irene.
"Aku Sherapina. Kau mungkin sudah tahu siapa aku." Sosok itu lalu menatap tajam pada Irene.
"Tolong beri aku waktu beberapa hari lagi disini, ku mohon," sahut Irene lirih pada Sherapina.
"Sudah waktunya, Irene," kata Sherapina.
"Ku mohon," pinta Irene dengan suara memelas.
"Baiklah, 3 hari. Setelah itu kau harus ikut aku," jawab Sherapina tegas lalu menghilang.
Irene tertunduk sedih. 3 hari, ya hanya 3 hari batas waktu yang memang bisa diberikan. Irene sudah mendengarnya dari yang lain. Setelah itu, dia harus mengucapkan selamat tinggal pada rumah ini, Ayah, Bunda, dan Yuda. Pada dunia yang pernah ditinggalinya, pada kenangan, karena setelah dia ikut Sherapina, semua akan kembali ke nol, dia tidak akan ingat apa-apa lagi.
***
3 haripun lewat sudah, Sherapina kembali lagi dan kali ini Irene tidak bisa menawar lagi. Memang sudah waktunya.
"Kalau kau ingin bicara, ingin meluapkan apa pun, masih ada waktu. Aku selalu bisa mendengarkan kau ingin bicara apa pun untuk yang terakhir," kata Sherapina.
Irene hanya menggeleng. Tidak ingin kembali mengingat malam dirinya diperkosa lalu dibunuh dengan kejam. Tidak, Irene tidak ingin mengingat hal itu lagi. Meskipun rasanya lega karena Sherapina akan menghapus semua ingatannya, tapi tetap ada rasa tidak rela untuk semua hal manis yang pernah terjadi dalam hidup Irene.
"Baiklah. Ayo ikut aku."
Irene mengikuti Sherapina, jauh, jauh ke alam baka terdalam. Tidak akan pernah bisa kembali lagi.
***
Yuda turun di terminal bus. Pandangannya menyapu ke sekeliling terminal yang begitu sesak dan panas. Meneliti satu persatu orang yang berlalu lalang. Dia mencari Irene, Irenenya terkasih. Sudah lama suratnya tak ada balasan. Belasan surat yang dikirimkan. Bahkan disuratnya yang terakhir, Yuda mengatakan akan pulang dan berharap Irene menjemputnya seperti biasa. Di mana Irene? Kenapa dia tak nampak di antara lautan manusia ini?Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”