Ngobrol adalah kegiatan buang-buang waktu. Aku baru tahu semenjak ku pelajari dari buku yang setahun lalu kubeli tapi baru selesai hari ini. Prioritas ngobrol itu sama dengan kita lari dari dunia nyata. Eits… tunggu sebentar. Ngobrol yang dimaksud adalah ngobrol tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kalau ngobrolnya buat rapat ya tentu saja masuk skala prioritas yang mendesak. Rapat sangat berkebalikan dari ngobrol yang aku maksud. Jika skalanya 1 sampai 4, ngobrol itu ada di urutan 4 dan rapat ada di urutan 1.Â
Berhubung waktu masih saja terus berjalan dan aku masih diam di tempat, terkadang aku jadi merasa tertinggal. Ini bukan kebetulan. Aku jadi menjauh dengan keadaan dan melihat semua yang terjadi secara nyata di waktu yang telah lalu maupun yang imajinasi kapan tak tahu akan terwujud lewat buku. Iya, buku adalah pelarianku dari ngobrol tanpa tujuan yang jelas.Â
Termasuk hari ini. Di dalam kereta yang tak penuh sesak karena memang harus jaga jarak, aku tenggelam dalam buku yang bercerita tentang diri yang mati buat kedua kali. Rasanya berlebihan sampai sebelum aku menyentuh bab ketiganya. Aku rasa penulis sudah tidak waras, ku kembalikan pada diriku, ternyata sama tidak warasnya denganku saat ini.Â
Aku menapakkan kakiku di Stasiun Tugu Yogyakarta, menghela nafas panjang : aku sedang tidak senang. Dulu kalau aku melewati bandara, aku dalam percakapan daring di media sosial yang bisa meraihmu, harus sudah bilang.Â
Sudah sampai bandara nih, jemput ya. Jangan lupa bawa helm dua! :))
Sekarang aku memang tinggal pesan kendaraan lewat portal-portal digital buatan anak bangsa atau negeri tetangga yang sama hijaunya itu. Tapi selain itu, alasannya ada pada dirinya yang kurasa mulai berjarak semenjak aku pamit : mau meninggalkan Yogyakarta. Tapi aku pamit buat kembali. Entah dalam waktu yang mana, dengan keadaan seperti apa?.Â
Aduh! Memikirkannya jadi kebanyakan "tapi", memikirkannya membuat asam lambung yang bakal naik karena stres kambuh lagi. Jadi aku berhenti dulu memikirkannya. Saat ini aku harus memeriksa layanan ojek itu tersedia atau tidak dengan kondisi hujan deras begini.Â
Aku menunggu di bangku-bangku yang tak jauh dari keramaian orang membeli oleh-oleh bakpia kukus. Bukan. Aku menunggu tanpa duduk di bangku, sebab semua telah penuh. Sisi lain, karena jaga jarak tetap kosong. Kalau ada ibu dan anak, mereka lebih memilih duduk sekursi berdua. Jadi, karena tidak ada lagi kursi untukku aku berdiri di batas aman dan berjarak dengan kerumunan yang sama-sama berteduh.Â
Ah ya, dulu kalau sedang hujan dan kubilang lewat percakapan daring.
Sudah lewat bandara nih, jemput dong. Jangan lupa bawa helm dua :")Â
Lalu kamu balas.
Hujan sayang, kamu naik gocar atau grabcar aja ya. Jangan ngegojek!
Aku kadang tidak mengindahkan perhatiannya sebab biaya naik mobil itu jadi dobel mahalnya daripada naik motor dengan aplikasi yang sama. Jadi aku menunggu reda. Kalau masih rintik, selama aku bawa payung, aku yang akan jemput ojeknya. Aku memang nekad kalau urusan itu. Mungkin dia sebenarnya juga diam-diam tahu.Â
Lah, kenapa jadi ingat nasihatnya?. Aduh aku harus lari dari basa-basi pikiranku sendiri ini.Â
Akhirnya setelah menunggu reda dan memang telah benar-benar hujan reda, ku rasakan kebas juga kakiku dengan berdiri lama tanpa sandaran. Setelah itu kurasa aku mulai kesemutan. Benar saja, ini hujan di Yogyakarta. Dinginnya melebihi rindu, dinginnya bisa-bisa membuat urat-urat kakuku reflek jadi belibet dan kadang dalam waktu lama tak bisa digerakkan. Rekornya, di Jogja aku pernah kram dari ujung kaki kanan sampai ke pantat selama 4 menit. Untungnya sekarang hanya kesemutan. Meski kesemutan adalah tanda-tanda kram, tapi semoga dalam perjalanan kali ini tidak merepotkan.Â
Dulu kalau kram begitu, yang dia bilang kepadaku.Â
Sini tanganmu coba lihat, tempelkan di tembok nih. Pelan-pelan jangan kasar.
Itu kalau tangan yang mati suri. Kalau kaki, dia langsung sigap menghampiri, membuang sepatu atau alas kaki yang aku gunakan, menyuruhku duduk perlahan meluruskan kaki dan didorongnya kakiku ke arah tubuhku. Tentu saja dengan sikapnya yang lembut, mau memahami, tidak buru-buru.Â
Euh! Lagi-lagi aku melantur tentangnya.Â
Memang kalau buku sudah jauh dariku, aku jadi kepikiran terus tentang dia. Padahal dia sudah tidak memikirkanku sama sekali. Tidak seperti dulu lagi.Â
Aku menemukan ojek yang aku pesan. Di atas kendaraan mas-mas ojek itu, aku tidak ditanya macam-macam. Tidak biasanya. Iya, yang biasa adalah aku suka melakukan pembicaraan di atas kendaraan. Jadi aku yang biasa adalah orang yang memulai duluan untuk bicara. Tapi sekali lagi ini tidak biasa. Aku membisu setelah memberi tahu arah tujuanku.Â
Sampai juga aku, setelah 10 menit dalam diam yang berlalu. Mas-mas ojek itu pergi setelah mengucapkan "terima kasih" yang kubalas "hati-hati". Mas-mas ojek itu tersenyum, mengerti bahwa sebetulnya aku yang harus lebih berhati-hati.Â
Aku ucapkan salam di depan rumahnya yang mungkin belum dipagar atau sama sekali tidak akan dilakukan demikian. Kalau sekarang, hal itu dikarenakan buat hemat lahan. Kulihat jua tanah di sekitar rumahnya kini basah, terkena hujan yang sama. Hujan yang kutunggu redanya di stasiun tadi.Â
Kali ini aku bisa bertemu kamu, kali ini aku ingin bercerita padamu
Aku bohong selama ini, saat kamu menasihatiku harus menggunakan mobil kalau hujan. Aku tetap memilih motor karena selain perkara biaya, pakai motor juga lincah sehingga aku akan cepat sampai ke tempat tujuan. Sama seperti hari ini, aku cepat sampai di rumahmu, bukan?
Kamu senang atau tidak? Tapi tadi aku sangat hati-hati tak mau mengambil risiko buat tidak menunggu hujan reda, tentu saja seperti katamu yang selalu memberikanku pengertian mengenai 'batas' atas sebuah fenomena
Aku rindu. Tak maukah kamu membalas cerita-ceritaku saat kamu harus menjemputku di Yogyakarta?
Di atas rumahnya yang berupa gundukan tanah dengan bunga-bunga segar yang kelihatannya baru diganti atau ada yang menghampiri itu, aku menangis atas keindahan hidup seiring kembalinya ia ke rumah miliknya. Aku tidak bisa menahan tangis itu, hidup jadi terlalu 'indah' dengan kehilangannya. Sungguh aku sedang bersyukur, bukan? Masih di rumahnya, aku pun mendoakan kebahagiaannya, meski ia menemuiku hari ini kita tak lagi dapat mencipta pembicaraan yang hangat lagi, seperti saat aku pamit sebelum meninggalkan Yogyakarta di tahun-tahun gelisah buat meninggalkan tapi nyatanya aku yang ditinggalkan.Â
"Maafkan aku tidak segera, tapi kali ini aku akan menitipkan tiap-tiap ucap selamat jalan dan selamat tinggal di sisimu. Jika kamu masih bisa mendengar, ku izinkan kamu berkata seperti yang sudah-sudah"
" Kalau sampai rumah kabari ya," begitu katanya dulu, kalau kita akan berpisah. Sedikit kata, bermakna banyak.Â
'Tapi' kini segalanya tak lagi sama. Aku tak memenuhi dunia. Kupikir semua jadi melambat, dan aku terus berlari dengan hati yang aku usahakan kuat, serta menguatkan kaki yang tak kram lagi, tapi masih kesemutan ini.Â
Di Yogyakarta yang merupakan bagian kecil dari dunia, aku telah kehilangannya. Aku kehilangan dia yang memicu bicara-bicara dalam kehangatan, tulus, dan doa.Â
Cuma hari ini, aku menganggap 'ngobrol' yang aku perbuat tak di skala 4. Pun hari ini terwujud tanpa tujuan yang jelas, aku tak merasa ada 2 arah datang dari bicara yang tak jelas antara aku dan dia. Ini juga bukan hal yang mendesak, 'tapi' mungkin penting aku lakukan. 'Tapi' pun, aku tak merasa buang-buang waktu melakukan. Banyak kata 'tapi' mampir di tiap pikiran-pikiran di atas rumahnya kini. Persis seperti ia yang selalu mengatakan fakta yang lebih baik ketika kita saling bicara. Tapi sekarang hanya 'bicara' tanpa 'saling' yang berhubungan.Â
Setelah ini aku akan pulang, kembali tenggelam dalam buku-buku yang sama tak bicaranya 'tapi' memberi ruang untukku buat berangsur-angsur pulih mengadaptasi dengan sekitar. Aku hanya akan kembali meninggalkan 'tapi' aku masih menunggu sandyakala menuju warna merah keunguan. Aku berpikir mungkin saja kalau ditunggu ia sempat muncul. Warna miliknya yang diutarakan olehnya pada semesta dulu, kala kita bersama masih bisa saling bicara.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”