Malam ini terasa sunyi. Udara malam nan dingin semakin menambah kesunyian relung hati ini. Sudah beberapa waktu lamanya sejak pertemuan terakhir di penghujung tahun itu kita tak berjumpa. Kupandangi fotonya yang tersimpan rapi di memori ponselku. Ingin sekali kubelai wajah nan teduh itu, memeluknya seraya membisikkan “aku rindu”.
Tuhan, kutahu ini keadaan yang sulit. Mungkin tak hanya terjadi padaku, tetapi berjuta umat di berbagai penjuru bumi ini. Tatkala badai menghadang, di situlah manusia diuji dengan kesabaran. Bumi memang tengah membersihkan diri dari segala hingar bingar yang biasa melingkupi. Memasuki bulan ketiga di tahun yang baru, keadaan sudah berubah drastis. Hilir mudik para pelancong yang biasa memadati sudut-sudut kota, perlahan sirna berganti sepi. Jangankan untuk melancong, bepergian ke luar rumah untuk mencari sumber-sumber penghidupan pun telah dibatasi. Namun apa boleh buat, demi kebaikan bersama, segala kebijakan pun harus dipatuhi. Jikalau kepatuhan saja masih enggan dilakukan, niscaya bumi ini pun akan semakin lama menyembuhkan diri dan kembali ceria seperti sedia kala.
Aku berharap, keadaan ini tak akan berlangsung lama sehingga segala aktivitas yang selama ini sempat tertunda segera dapat terlaksana. Sebagai manusia biasa, terkadang jenuh juga kerap menghampiri, terlebih ketika menghabiskan sebagian waktu untuk bekerja dari rumah, berlama-lama memonitoring seluruh pekerjaan di balik layar di laptop.
Ada kerinduan yang sering kali terbersit di hatiku akan suasana kota yang kembali ramai seperti semula, di mana aku sering menghabiskan waktu bersama teman-teman untuk sekadar bercengkerama sembari menikmati seduhan kopi panas di sebuah kedai dekat stasiun kota tatkala akhir pekan tiba. Sebelum kembali ke rutinitas harian di kantor menghabiskan waktu dari matahari terbit hingga matahari mulai terbenam lagi. Meskipun demikian, aku mensyukuri setiap detik kesibukan yang Tuhan titipkan.
Aku percaya ini adalah cara Tuhan untuk menjadikanku wanita yang kuat dan mandiri. Terlebih, ada teman-teman yang selalu menjadi semangatku setiap hari sehingga hari-hari panjang tak terasa melelahkan. Sungguh, aku rindu itu. Lamunanku pun memudar seiring dering telepon yang masuk. Kutatap layar ponsel, sebuah nama yang tampaknya mengerti jika selalu kutunggu.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“Waalaikumsalam. Kamu lagi apa?” tanyanya dari kota seberang.
“Seperti biasa, Mas, menulis cerpen-cerpenku.”
“Hebat. Kamu tulis nggak kisah kita? He..he..he.”
“Nggak perlu!”
“Kenapa?”
“Tanpa ditulis pun sudah tersimpan di hati,” candaku.
“Ah iya, bener! Hmm, sayang jauh.”
“Untuk waktu yang lama.”
“Demi kebaikan bersama.”
“Hmm, iya sih. Mau bagaimana lagi?”
“Ya udah, dilanjut dulu. Jaga kesehatan ya! Assalamualaikum.”
“Jaga kesehatan juga ya! Waalaikumsalam.”
Pikiranku sejenak kacau. Bagaimana tidak? Di tengah pandemi global yang melanda, pemerintah telah menetapkan daerah-daerah yang masuk kategori zona merah. Kutahu dia pun berada di daerah zona merah itu, yang setiap jengkal langkah akan banyak ditemui puluhan orang yang terjangkit virus-virus itu.
Tinggal di ibu kota memang penuh dengan perjuangan. Tak hanya sebagai pusat perekonomian, ibu kota juga sebagai pusat pemerintahan negara. Maka tak heran jika persebaran virus di daerah ini sangat tinggi dibandingkan daerah-daerah lain di negeri ini.
Dilema. Itulah dampak yang ditimbulkan. Pada satu sisi, ketika pemerintah mengimbau warga untuk berdiam diri di rumah, masih banyak pekerja kantoran di ibu kota yang belum menerapkan sistem Work From Home (WFH). Keadaan itu diperburuk dengan dibatasinya sarana transportasi umum seperti MRT, LRT, KRL, Bussway, angkot, maupun bus-bus umum sehingga terjadilah kepadatan penumpang.
Tak heran jika kontak fisik pun terjadi dalam keadaan desak-desakan. Sementara pemerintah terus menggalakkan physical distancing. Itulah salah satu faktor penyebaran di ibu kota sangat pesat. Termasuk risiko kematian yang tinggi karena sejumlah rumah sakit rujukan sudah tak kuasa lagi menampung jumlah pasien yang terjangkit.
“Oh Tuhan, tolong jagakan selalu dia. Dan izinkan pertemuan yang telah lama kami nantikan ini berujung indah,” pintaku dalam hati.
Pertemuan. Satu kata yang memang selalu ada dalam pikiranku. Aku tahu, menjalani semua ini tidak mudah. Bukan hanya untukku, tapi juga untuknya nan jauh di sana. Jarak Yogyakarta dan Jakarta memang bukanlah suatu kendala ketika keadaan biasa. Namun kini semua sedang tidak baik-baik saja. Ada sejumlah imbauan, bahkan larangan tegas yang harus dipatuhi untuk tidak melakukan perjalanan pulang ke kampung-kampung halaman, terlebih bagi yang berasal dari daerah berzona merah.
Kita memang tidak boleh egois, memaksakan diri. Memiliki sebatas angan, meski masih tertahan. Seperti yang selalu dia katakan “demi kebaikan bersama”. Harapanku, semua lekas pulih seperti sedia kala. Kota-kota yang sepi mulai menggeliat lagi. Para pedagang pun dapat menggelar lapak kembali. Juga para driver online yang selama ini sepi order dapat tersenyum lagi. Akan ada pelangi selepas hujan. Dan sesuatu yang selalu kusimpan dengan penuh keyakinan bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmah di baliknya.
Untukmu nan jauh, aku hanya bisa menitipkan rinduku lewat doa yang selalu kupanjatkan pada Tuhan. Aku rindu tatapan matamu nan meneduhkan. Aku rindu genggaman tanganmu nan menguatkan. Aku rindu dekap erat tubuhmu nan menghangatkan dan segala hal tentangmu. Aku rindu bagaimana kita selalu menghabiskan waktu bersama, menghabiskan malam nan istimewa sembari mengitari sudut-sudut Kota Yogya.
Dari sudut kota ini aku menunggumu. Jika nanti keadaan telah membaik, aku akan menyambutmu pulang, menantimu menemuiku di bangku tunggu stasiun kota tempat biasa kita berjumpa usai kau tiba. Lalu kita akan menumpahkan segenap rasa dan tersenyum bersama karena sepasang hati nan rapuh kembali utuh.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”