“Ikuti kata-kata aku, Boy,” Puthut menarik napas panjang dulu, ”Bangs*t! Bajingan! Biadab!”
“Bangs*t. Bajingan. Biadab.”
“Pake tenaga dong, Boy!” Puthut bergeleng-geleng, “Kamu kalau kesel karena Iva jalan sama cowok lain, ya ekspresikan saja, Boy, enggak perlu berlagak kalem, gitu.”
“Tapi kami cuma temenan.”
“Tapi kamu tetep kesel, ‘kan?”
Aziel duduk menunduk. Puthut menyeringai menang. Ekspresi itu sebenarnya sangat menyebalkan untuk dilihat. Tapi kalau Aziel menjawab ‘enggak’, berarti dia sudah bohong besar.
“Aku enggak punya hak apa-apa soal Iva.”
“Yang kamu punya itu rasa spesial ke Iva,” Puthut menyamai intonasi tenangnya Aziel, “Kamu jatuh cinta sama dia, Boy.”
“Mungkin cuma aku aja yang jatuh cinta ke dia, kalaunya dianya enggak.”
Puthut mengerahkan kekuatan dirinya agar tidak terbahak-bahak. Enggan rasanya menyudahi sesi curhat bersama sahabatnya ini. Dia pun hanya tersenyum simpul.
“Sok tahu ah kamu, Boy!”
“Memangnya kamu lebih tahu?”
“Ya enggak juga,” Puthut yang dari tadi berdiri jadi ikutan duduk,”Makanya kita harus cari tahu.”
Aziel hanya menatapnya. Kalau tatapannya bisa diterjemahkan, Aziel secara tidak langsung meminta Puthut untuk melanjutkan apa maksudnya. Maka sebagai sosok yang sudah dekat dari TK, Puthut sukses menerjemahkan tatapannya.
“Bilang ‘Aku Mencintaimu’ ke Iva, Boy,” dengan hati-hati Puthut kembali menyampaikan usulan lamanya.
“Nantilah, tunggu dulu.”
“Tunggu apa lagi, Boy? Hanya dengan itu, kita jadi sama-sama tahu.”
“Aku enggak mau kehilangan teman perempuanku.”
“Kamu jatuh cinta, Boy, sama teman perempuan kamu itu,” Puthut mulai gemas, “Kamu takut kehilangan, tapi kamu menyiksa diri, Boy!” ada jeda sejenak, “Aku tahu kamu introvert, tapi, uh! Untuk urusan yang satu ini, beranilah!”
“Sudahlah, Puthut, aku keluar dari obrolan ini.”
Berbekal jawaban itu, Aziel ke luar dari kelas kosong mereka. Dia tahu dan bisa merasakan, kalau Puthut tidak mengikutinya. Tetapi dia tetap melangkah tergesa-gesa. Sehingga dia pun tidak tahu, kalau Puthut sedang bergeleng-geleng sambil terkekeh-kekeh mencibirnya.
“Halah bilang enggak mau kehilangan teman perempuanmu, eh! sekarang hampir kehilangan teman laki-lakimu ini, Boy.”
~
Aziel memilih koridor yang lebih sepi. Dengan demikian, dia tidak perlu menjawab sapaan para mahasiswa lain yang kebetulan mengenalinya. Di dalam pikirannya, seperti biasa, seumpama sedang ada orkes saja.
Dengan harapan cepat sampai ke kosan, Aziel berjalan sambil memutar ulang percakapannya dengan Puthut. Dia bingung sendiri, apakah curahan hatinya pada Puthut itu keputusan tepat atau justru blunder. Sebab sejak sahabatnya tahu bagaimana Iva sudah merusak ritme detak jantungnya, dia terus mendesak Aziel agar segera nembak Iva.
Ketika pertama kali mendengar usulannya, Aziel sendiri bingung kenapa reaksinya sangat buruk. Dia memarahi Puthut dengan dalih kalau ungkapan ‘Aku Mencintaimu’ itu sakral. Tidak bisa sembarangan. Tidak bisa dianggap gampang. Tidak bisa asal disegerakan.
Namun lama-kelamaan, Aziel mengaku sebagai lelaki introvert yang payah. Sudah lama dia mendekam dalam penyangkalan. Sebenarnya dia juga ingin menyatakan cinta seperti kaum adam pada umumnya. Hanya saja, dia masih sedang memungut keberanian. Bagaimana pun, soal asmara, dia memang tidak berpengalaman.
Sebentar lagi, Iva. Hampir sampai. Tunggu, ya!
“Ziel!”
Langkahnya tercekat ketika suara familier memanggilnya. Dia pun mengurungkan niat untuk menyeberang dari pintu gerbang kampus. Dia memilih untuk balik kanan dan hampir terpingkal –pingkal melihat gaya berlari Iva ke arahnya.
“Ziel!” panggil Iva lagi sambil tersengal-sengal mendekati Aziel, “Ih kamu emang masih introvert, ya?”
Aziel tersenyum, “Gak ada niat untuk berubah, tuh.”
“Kamu harus lebih banyak bicara.”
“Kamu juga masih ekstrovert,” Aziel masih tersenyum melihat Iva mendongak ke arahnya, “Kamu harus lebih banyak diam.”
Iva meninju lengan Aziel, “Enggak sopan ih!”
Jika Iva menjadi perempuan yang baru dikenal, mungkin Aziel akan segera lari tunggang langgang. Sebab ketika Iva menipiskan jarak, organ pernapasan Aziel oleng dan sesak. Ketika tangan Iva menyentuh lengannya, tulang-tulang di balik kedua dengkul Aziel seperti diganti oleh bubur sumsum.
Kekuatan superhero apa yang dimiliki Iva? Apa orang lain juga merasakannya? Atau hanya dia yang menjadi korbannya?
“Kamu menghindari aku apa gimana sih, Ziel?” tohok Iva, membuat mesin di otak Aziel bergerak, “Kita jarang jalan bareng,” sambungnya sambil manyun.
Aziel menelan ludah.
“Sekarang kita lagi jalan bareng, ‘kan? Hehehe.” Aziel baru sadar kalau Iva membarengi langkahnya menuju kosan.
“Kamu tahulah maksudku, Ziel.”
Tidak ada tanda gurauan dalam jawaban Iva. Dia bahkan memelototkan mata. Seketika, tingkah cengar-cengir Aziel pun berakhir.
Sebelum Aziel membuka mulut, suara klakson motor membuatnya dan Iva menoleh ke belakang. Tampak Puthut memelankan motornya dan mendekati Aziel.
“Sekarang atau enggak sama-sekali, Boy!” Puthut berujar sambil menepuk pundak Aziel, membuatnya menatap dengan rasa tidak enak, “Kita sudah saling memaafkan, kok. Semangat ya, Boy! Dadah, Iva!” lanjutnya lagi sambil melaju.
~
Tidak kuasa menolak ajakan Iva, Aziel pasrah saja ketika perempuan tersebut menggiringnya ke sebuah kedai kopi. Mereka duduk di pojok, di spot pilihan Iva sendiri. Aziel lupa kapan terakhir kali berduaan dengan Iva bisa setegang begini. Mungkin di awal-awal semester pertama.
“Waktu semester pertama, kamu pinjem buku lingustik aku,” Iva menusukkan pandangannya pada Aziel, membuat nyali lelaki itu meringkuk, “Dari sana, entah bagaimana ceritanya kita jadi dekat.”
“Aku …”
“Diam!” Iva menghardiknya dengan suara pelan, namun tetap membuat Aziel gemetar, “Beberapa kali aku berkorban enggak nongkrong dengan yang lain karena kamu ngajak ketemuan berduaan – selalu inginnya berdua, bukan?” pertanyaan Iva hanya dijawab anggukan penuh ketundukan, “Kamu ngajak nonton, traktir makan, ngasih kejutan, kirim chat yang so sweet,” Iva berhenti sejenak, membuat Aziel mendongak, “Kita saling curhat, eh, aku yang sering curhat. Kamu sih kebanyakan cuma mendengar. Tapi kita emang sering bercanda dan berdebat dengan lepas. Aku suka dengan apa yang kita jalani, Ziel.”
Aziel memerintahkan jajaran otak dan hatinya untuk memeroses apa yang sedang Iva katakan. Omongan Iva terbilang panjang, namun Aziel ingin mengurai dan memahaminya. Dia meminta apa pun dalam dirinya untuk segera merancang reaksi dan jawaban yang benar.
“Tapi secara tidak langsung, kamu menghalangi aku buat dapetin gebetan,” Iva mengaduk kental manis dan kopi robustanya.
“Bagaimana bisa?” tanya Aziel refleks.
“Bagaimana bisa, kamu bilang?” ulang Iva dengan intonasi tidak senang, “Kita sering menghabiskan waktu berdua, Ziel. Orang-orang enggak percaya kita sahabatan. Mereka menyimpulkan kalau kita ini pacaran!”
Inilah saatnya. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Iva.
Aziel menggedor-gedor pintu otak dan hatinya untuk menyetor hasil kerja. Momen ini sudah tepat. Dia ingin membebaskan rasa yang sudah lama terpenjara.
Tapi keadaan pikiran dan perasaannya malah bergemuruh berantakan. Semuanya terasa beku. Dia mendadak gagu. Yang dia dengar hanya kebisingan. Aziel benar-benar kewalahan.
“Ah!” Iva menggeletakkan cangkir kopinya dengan cukup keras, “Kamu hobi banget, ya, bikin aku frustrasi, Ziel!” Iva berdiri, membuat Aziel otomatis ikut berdiri, “Kamu bayar semua ini,” Iva mengedarkan pandangannya pada kopi dan roti bakar di meja mereka, “Anggap saja hukuman karena kita sudah begitu bodoh, karena kamu sudah sangat bebal.”
Tanpa menghiraukan hinaan padanya, Aziel hanya membuntuti Iva dan mencoba untuk tenang agar tidak memancing perhatian. Langkahnya tercekat di muka kedai. Selain Iva berhenti mendadak, Aziel juga sadar kalau pesanan mereka belum dibayar dan para pelayan sudah menatapnya penuh curiga.
“Tunggu aku dulu, Iva.”
“Memangnya selama ini aku main gundu?” Iva melipat tangan di dada, “Aku ini sudah lama menunggu, Ziel, dan menunggu itu mestinya berhasil ngajarin kamu. Kalau segala sesuatu itu bukan cuman tentang kamu. Ada orang lain juga.”
“Iva, hey!” Aziel memberanikan diri mencengkeram siku Iva sampai perempuan itu meringis.
Tetapi tampaknya usaha Aziel ada di ambang kegagalan, sebab terlihat seorang pelayan mendekati mereka.
“Sudahlah, Ziel, aku keluar dari obrolan ini,” Iva memanfaatkan pegangan Aziel yang mengendor, lalu benar-benar melangkah keluar.
Aziel terpana. Kata-kata Iva terdengar familier baginya. #RD
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”