Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.00 siang. Sekitar 15 menit lagi, masuk waktu dhuzur. Bapak sudah bersiap-siap dari tadi dengan peci hitam sebagai ciri khasnya. Ada satu kebiasaan bapak kala masuk waktu sholat. Bapak akan duduk sebentar di kursi favoritnya yang terletak di ruang tamu sambil berzikir.
Namun, tak seperti hari biasanya. Bapak duduk termangu menghadap jendela luar rumah. Ada apa gerangan? Aku dan abangku, Bang Fajar mencoba bertanya kepada bapak, apa yang sebenarnya terjadi. Bapak hanya diam dan memilih untuk sholat sendiri di ruang keluarga. Lalu, kami semua berkumpul di meja makan untuk makan bersama. Masih terlihat jelas raut muka bapak yang masih sedih karena tak mendengarkan suara azan hari ini. Disela-sela makan, bang Fajar mencoba bertanya kepada bapak.
“Sebenarnya bapak itu kenapa? Tidak biasanya bapak duduk termangu lama sekali seperti itu.”
“Bapak tidak mendengar suara azan dzuhur hari ini, Jar. Padahal tadi bapak sudah siap-siap mau berangkat ke masjid. Bapak pikir hari ini ada keajaiban akan ada suara azan dari masjid kita. Soalnya sudah dua minggu tidak ada yang azan.”
Betapa pilunya hati kami ketika mendengar bapak berbicara seperti itu. Bapak yang usianya tak lagi muda masih bersemangat untuk sholat berjamaah di masjid. Sedangkan, kami yang usianya terbilang muda masih enggan untuk sholat berjamaah di masjid. Jangankan sholat berjamaah, sholat sendiri-sendiripun rasanya masih malas.
“Pak, kita ngerti bagaimana perasaan bapak saat ini. Untuk saat ini, kita harus menuruti apa kata pemerintah, pak. Ini demi kebaikan kita semua agar tidak tertular virus corona. Bapak paham kan?”
“Bapak sangat paham, Jar. Yang membuat bapak sedih itu adalah kenapa masjid kita tidak ada suara azan. Seharusnya kan ada yang azan sebagai penanda masuk waktu sholat walaupun pada akhirnya kita diharuskan sholat di rumah. Bapak sama sekali tidak jadi masalah. Bapak cuman sedih melihat nasib masjid kita aja, Jar. Sebelum virus corona menyerang saja, masjid kita sepi jamaah yang mau sholat. Yang sholatpun bisa dihitung dengan jari. Apalagi di saat ini, tambah sepi masjidnya. Itu kan rumah Allah, Jar.”
“Ya allah, pak.”
Keesokan harinya….
Aku dan bang Fajar pamit sebentar untuk pergi ke rumah pak Joko, ketua RT kami untuk mencari solusi.
“Jadi gini pak Joko. Kami ke sini untuk meminta saran bapak. Siapa tahu bapak bisa kasih solusi ke kami. Bisakah bapak carikan solusinya? Misalnya bapak bilang ke panitia masjid, ke pak Sobri untuk bisa azan kembali seperti sedia kala.”
“Sebenarnya bapak mau, Jar. Tapi…”
Belum sempat pak Joko melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba, datanglah pak Sobri bersama panitia masjid lainnya ke rumah pak Joko.
“Begini ya, nak Fajar. Bukannya bapak tidak mau azan lagi di masjid kita. Tapi, nak Fajar sudah tahu kan bahwa pemerintah menghimbau kita untuk beribadah di rumah untuk mencegah penyebaran virus corona. Jadi, bapak hanya nurut saja. Daripada ada apa-apa dengan masyarakat kita, apa nak Fajar mau bertanggung jawab?.”
“Apa yang pak Sobri katakan itu benar? Tapi, tidak adakah solusi lain pak. Seperti dilakukan social distancing di antara shaff jamaah atau pemberian hand sanitizier kepada jamaah yang akan masuk masjid. Atau pak Sobri bisa berikan kunci masjidnya ke Fajar. Fajar dengan senang hati akan menjadi muazin dimasjid kita.”
“Apakah hal ini efektif untuk kita semua, nak Fajar?.”
“Jika bapak-bapak sekalian masih ragu. Bagaimana jika setelah selesai azan, Fajar tutup kembali masjidnya biar tidak ada jamaah yang sholat di masjid. Tentunya Fajar juga akan sholat dirumah. Tolonglah, pak. Ini demi bapak kami. Bapak kami sudah rindu mendengar suara azan. Sudah dua minggu semenjak virus corona menyerang, selama itu pula bapak kami tidak lagi mendengar suara azan.”
“Baiklah, nak Fajar. Kita setuju. Asal kamu langsung menutup kembali masjidnya. Ini demi kebaikan semua. Tapi, jika kamu melanggar. Mohon maaf dengan terpaksa kuncinya akan kami ambil lagi,” ucap pak Joko seraya memberikan kunci masjid.
“Baik, pak. Terima kasih banyak.”
Akhirnya, mulai besok bang Fajar sudah jadi muadzin. Secara diam-diam, bang Fajar keluar dari rumah menuju ke masjid agar tidak ketahuan bapak. Namun, sepintar-pintarnya tupai melompat pasti akan ketahuan juga. Mungkin itu pepatah yang tepat untuk bang Fajar saat ini. Sampai pada akhirnya, bapak mengikuti kemana perginya bang Fajar. Betapa terkejutnya bapak ketika tahu bahwa selama ini yang jadi muadzin adalah anaknya sendiri. Ketika selesai azan, bang Fajar terkejut dengan kehadiran bapak. Sejak kapan bapak ada di situ?
“Bapak, ayo kita pulang. Kita sholatnya di rumah aja, yah,” pinta bang Fajar.
“Bapak mau sholat di sini juga, Jar. Sudah lama bapak tidak sholat di sini.”
Tiba-tiba, pak Joko dan panitia masjid sudah ada di masjid. Bang Fajar semakin ketakutan dan tidak enak dengan pak Joko dan lainnya.
“Pak, maafkan Fajar karena tidak bisa menepati janji. Fajar akan bawa pulang bapak untuk sholat di rumah saja. Iya kan, pak?”
Kelihatannya bapak tidak setuju. Bapak menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak mau pulang dan masih mau di sini.
“Nak Fajar, tidak perlu mengajak bapakmu pulang kerumah. Bapak-bapak semua bisa sholat di sini. Oh ya, sebelumnya bapak minta maaf jika selama ini apa yang bapak lakukan itu salah. Bapak sebenarnya juga ingin menghidupkan aktifitas masjid ini seperti sedia kala. Terima kasih, Fajar. Berkat keberanian kamu untuk menghidupkan masjid ini kembali. Kami semua menjadi sadar bahwa apa yang sudah kami lakukan itu salah.”
“Fajar sudah memaafkan semuanya, pak. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Dan terima kasih sudah mengizinkan untuk azan dan sholat berjamaah kembali di masjid ini.”
Mulai hari ini, suara azan mulai berkumandang kembali. Dan rindu bapak terhadap suara azan kini sudah terobati. Ini semua berkat keberanian abangku, bang Fajar.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”