[CERPEN] Terminal Kedatangan

Kurasa ia hendak membatalkan pernikahan kami.

Advertisement

Bukan, aku bukannya sedang merajuk atau mendramatisir keadaan. Bukan pula sedang meramalkan masa depan. Aku hanya tengah berusaha menggabung-gabungkan fakta, dan mencoba menganalisanya untuk menemukan satu kesimpulan. Bukankah hidup ini semata perkara sebab-akibat? Selalu ada penyebab dari sebuah kejadian. Begitu juga dengan keterlambatannya kali ini.

"Masih mau menunggu?"

Aku menoleh. Di sebelahku, Bang Reza bertanya. Aku mengangguk tanpa ragu. Aku akan terus menunggu sampai dia datang, kenapa masih ditanya? Bang Reza, abangku yang nomor dua, hanya menghela napas panjang, lalu lanjut membaca koran.

Advertisement

Kutatap jam tanganku. Sudah pukul delapan. Sudah lewat 40 menit dari jadwal kedatangan yang dijanjikan. Mataku tak pernah lepas dari koridor panjang di terminal kedatangan Bandar Udara Depati Amir sejak subuh. Namun, Dimas, sosok yang kutunggu-tunggu itu belum juga tiba.

Lantas pemikiran itu seperti meloncat begitu saja di kepalaku. Dimas terlambat, entah juga bila ia memang tidak jadi berangkat. Mengapa? Bagaimana mungkin dia bisa mengingkari janji yang ia buat sendiri? Bagaimana mungkin ia membiarkanku menunggu selama 40 menit lebih, padahal selama ini dia adalah orang paling tepat waktu yang pernah kukenal? Apa Dimas ingin membatalkan pernikahan kami dengan absen di hari yang telah dijanjikan? Tapi mengapa? Apa karena pertengkaran kami kali terakhir hari itu?

Advertisement

 

***

 

"Swasti, diam dulu!"

Mulutku langsung tertutup sepenuhnya. Jutaan kata penuh emosi yang sudah siap kukeluarkan terpaksa kupendam lagi. Baru kali ini Dimas meninggikan suaranya saat bicara padaku. Bukan cuma tinggi, itu nyaris membentak. Nyaliku sontak menciut. Aku tak melihat ekspresinya secara langsung saat ini karena kami bicara melalui telepon. Namun, aku bisa menduga wajahnya pasti kesal luar biasa.

"Aku nggak ngerti kenapa kamu harus permasalahin hal-hal kayak gini," katanya. "Aku setuju yang mana pun pilihan kamu, biar lebih gampang kan? Biar waktu kita nggak habis buat berdebat dan akhirnya nggak melangkah ke mana-mana."

"Tapi pernikahan ini kan bukan cuma pernikahanku, Dim! Pernikahan kamu juga! Masa semua-semua aku yang mutusin??"

"Terakhir kali aku nggak setuju sama pilihan desain undangan itu, kamu bilang pilihanku terlalu cowok kan??"

"Ya tapi kan bukan berarti kamu boleh lepas tangan!"

Terdengar Dimas menghela napas panjang. "Oke! Oke! Mana pilihan dekor bunganya? Mana? Bisa kirim fotonya ke aku? Sama apa lagi yang belum clear? Kirim aja semuanya, nanti aku lihat, dan aku kasih pendapatku. Oke? Beres kan? Aku kerja dulu ya?"

"Nggak usah!" jawabku ketus. Aku juga bingung apa yang merasukiku, sehingga hari ini moodku benar-benar kacau. "Kerja aja sana! Kayaknya kamu emang nggak serius sama rencana pernikahan ini."

Tanpa menunggu jawaban Dimas, kumatikan sambungan telepon dan mengakhiri percakapan kami. Dimas meneleponku beberapa kali. Namun, aku memilih mengabaikannya dan menyibukkan diri memeriksa foto-foto dekorasi bunga yang dikirimkan oleh vendor. Tak lama, Dimas mengganti komunikasi melalui pesan.

Come on, Swasti, kamu nggak harus bersikap kekanak-kanakan begini.

Kekanak-kanakan? Aku mengurus sendiri semua rencana pernikahan kami, dan ia bilang aku kenakan-kanakan?

Lantas kami melanjutkan pertengkaran itu melalui WhatsApp. Karena tak kunjung ada perdamaian, akhirnya Dimas berjanji akan pulang ke Pangkal Pinang karena, katanya, obrolan tanpa tatap muka membuatku mudah salah paham.

***

 

Seharusnya memang hari ini.

Dimas tidak pernah terlambat. Dia selalu datang tepat waktu, dan marah-marah bila aku yang terlambat. Katanya, terlambat adalah bentuk paling dasar dari sikap tidak menghargai orang.

Karenanya, keterlambatannya kali ini membuatku berpikir bahwa mungkin saja…aku salah hari. Namun, aku sudah mengecek kalender kurang lebih tujuh kali, dan ini benar-benar tanggal 29 Oktober. Tepat seperti yang dijanjikan Dimas, bahwa ia akan pulang ke Pangkal Pinang dengan penerbangan Senin pagi karena dia berhasil mengajukan cuti.

Sekarang sudah pukul sembilan. Sudah lewat satu jam empat puluh menit dari waktu yang seharusnya. Namun, batang hidung Dimas belum muncul-muncul juga. Kenapa dia tidak mengabari kalau pesawatnya delay? Apa dipikirnya, pekerjaanku hanya menjemputnya di bandara??

Di depanku, orang-orang silih berganti lewat. Setiap kali keramaian muncul dari terminal kedatangan, aku seperti orang gila mencari-carinya. Namun, sosok jangkung dengan rambut keriting ikal Dimas itu tak kunjung terlihat.

"Mau nunggu sampai berapa jam lagi?" tanya Bang Reza lagi-lagi.

Aku tidak menjawab. Pasalnya, aku juga tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu. Hanya Tuhan dan Dimas yang tahu.

Tanpa sadar, aku mulai mondar-mandir gelisah.

Dimas bukan tipe orang yang mudah mengingkari janji. Dimas juga bukan tipe orang yang mengubah rencana tanpa kabar. Kecuali, ada alasan yang benar-benar mendesak.

Tapi alasan apa?

Apa karena…astaga! Apa karena perempuan itu? Perempuan yang belum lama ini meninggalkan komentar di postingan Instagram Dimas? Perempuan dengan id @senja_dewi yang aku tahu adalah mantan pacar Dimas itu??

 

***

Pertemuanku dengan Dimas bukan tipe-tipe adegan meet cute seperti di novel atau film. Bahkan, pertama kali mengenalnya, aku menyebut Dimas sebagai pria pengecut. Juga pria gila, yang tiba-tiba duduk di depanku saat aku tengah mengerjakan tugas di kafe sendirian.

"Maaf, tapi bisa nggak kamu pura-pura kenal aku?" tanya Dimas kala aku melihatnya dengan heran.

"Maksudnya?"

Dimas memasang ekspresi gelisah. "Jangan noleh ya. Di arah jam 9 ada mantan pacarku. Dia lagi sama pacar barunya. Aku nggak mau kelihatan menyedihkan karena masih belum bisa move on dari dia."

Waktu itu, aku sama sekali tidak menaruh respek kepadanya. Maksudku, memang apa salahnya masih sendiri meski mantan pacar sudah move on dan punya tambatan hati lagi? Memangnya penting ya, membuktikan pada mantan kalau kita sudah move on dengan cara punya pacar lagi?

Meski begitu, aku ini termasuk orang yang tidak tegaan. Aku tak kuasa mendamprat pria asing yang begitu saja duduk di mejaku dan memintaku pura-pura mengenalnya. Alih-alih menyetujui permintaannya, aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku. Pria itu mau apa saja, aku tak peduli.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu diam aja gitu nggak apa-apa kok. Aku akan ngomong sendiri. Paling dia mikir kamu pacarku yang lagi ngambek."

Kukira dia bercanda. Ternyata, pria itu benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Padaku yang sedang sibuk membuat paper tentang politik disensus, ia berkata panjang lebar. Membujuk, merayu, menjelaskan sesuatu yang tak kupahami, melontarkan kata-kata cinta, dan sebagainya dan sebagainya. Awalnya aku kesal karena itu mengganggu konsentrasiku. Namun, lama-lama tingkahnya membuatku geli. Hingga pada akhirnya, aku tak sanggup lagi menahan tawa.

Lalu dia tersenyum dan berkata, "Ah, begitu dong. Ketawa. Jangan cuekin aku lagi ya."

 

***

Tidak. Tidak mungkin semua ini ada hubungannya dengan @senja_dewi. Kisah cinta mereka sudah berakhir sejak lama. Maksudku, @senja_dewi adalah mantan pacar Dimas saat masih mahasiswa tingkat satu. Kira-kira 7 tahun yang lalu. Aku dan Dimas sendiri juga sudah pacaran 6 tahun. Lagipula, @senja_dewi sudah menikah dan sudah punya anak. Aku sempat mengintip Instagram-nya beberapa waktu lalu. Ia tampak bahagia.

Jadi, tidak mungkin Dimas membatalkan pernikahan kami hanya karena mantan yang mendadak meninggalkan komentar.

Tapi kalau bukan itu, lalu apa?

“Dia nggak akan datang, Swasti,” kata Bang Reza lagi. “Percaya sama Abang.”

Selama menemaniku menunggu di Bandara sejak subuh tadi, kuhitung Bang Reza sudah mengatakan itu sebanyak tujuh kali. Namun, aku tahu abangku yang satu ini sejak dulu kurang menyukai Dimas. Sebuah masalah personal, kurasa. Tim futsal jurusan Dimas pernah mengalahkan tim futsal jurusan Bang Reza saat olimpiade di kampus. Kadang aku heran dengan pria. Bagaimana mereka bisa begitu terpengaruh dengan hal sesepele itu?

“Ayo pulang.”

Bang Reza berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Aku tak segera menyambutnya. Kutatap jam tangan, dan kutatap ponselku. Aku sudah menghubungi Dimas kira-kira 40 kali. Namun, nomornya tidak aktif.

Sekali lagi, kutatap tangan Bang Reza yang masih terulur. Lalu aku menggeleng.

“Sebentar,” kataku.

Alih-alih menyambut uluran tangan Bang Reza, aku bangkit dan berjalan menuju bagian informasi. Kurasa, aku perlu tahu apa yang terjadi. Kalaupun Dimas meninggalkanku hari ini dan membatalkan pernikahan kami, seharusnya dia bilang baik-baik bukan??

“Permisi, penerbangan dari Jakarta pukul 06.27, sudah mendarat belum ya?” tanyaku.

Petugas informasi tersenyum. “Boleh diinfokan pesawatnya, Bu?”

Sejenak, aku harus membuka ponselku untuk mengecek kembali percakapanku dengan Dimas. Kurasa dia pernah memberitahukan detil penerbangannya.

“Lion Air,” jawabku. “Lion Air JT610 dari Soekarno-Hatta ke Pangkal Pinang,”

Ada dua orang perempuan di balik meja informasi tersebut. Keduanya saling berpandangan setelah mendengar jawabanku.

“Boleh diulang nama penerbangannya?” tanya orang yang sama dengan yang bertanya tadi.

“Lion Air JT 610.”

“Mbak, bercanda ya?” tanya salah satunya.

Aku mengerutkan dahi. Dari mana wajahku bisa dibilang bercanda? Aku sudah menunggu di sini sejak subuh buta!

“Itu pesawat yang jatuh di perairan Karawang kan?” tanya petugas yang lainnya.

“Maksudnya??

Tepat saat itu, bahuku ditepuk. Bang Reza tersenyum. Bukan lagi senyum jahil ataupun kesal, melainkan sebuah senyum putus asa.

“Kamu lupa lagi kan, Swasti?” kata Bang Reza lirih. Dia menggeleng lemah. “Dimas nggak akan datang. Percaya sama abang.”

Aku menunduk. Menatap koran yang masih dipegang oleh Bang Reza. Judul headline berita itu tertulis besar-besar.

LION AIR JT610 JATUH DI PERAIRAN KARAWANG. 181 PENUMPANG DAN 7 AWAK PESAWAT TEWAS

Koran itu diterbitkan tahun 2018.

“Sekarang tahun berapa?” tanyaku dengan suara serak.

“2020, Swasti."

Kutelan ludah dengan susah payah. Udara terasa jauh lebih pekat dari sebelumnya.

"Sudah ingat?"

Kepalaku terasa berat, dan telingaku seperti berdenging. Perlahan, suara-suara di sekitarku tersedot entah ke mana. Rasanya, aku seperti sedang terperangkap di ruang hampa udara. Aku bisa merasakan sentuhan Bang Reza di pundakku. Namun, tubuhku sendiri rasanya seperti mengawang.

"Ayo pulang…"

Ya, aku ingat sekarang. Dimas bukan tipe orang yang akan mengingkari apa yang sudah ia janjikan. Dimas bukan tipe orang yang akan membatalkan sebuah rencana bila bukan karena sesuatu yang benar-benar gawat. Namun, itulah yang terjadi. Dimas meninggalkanku, karena ia memang tak pernah bisa kembali. Dan aku selalu lupa bahwa ia sudah pergi. Membawa segalanya ke lautan, bersama puluhan penumpang lain yang tak pernah ditemukan.

 

***

Suka nulis cerita pendek tapi bingung mau diposting di mana? Mau cerita pendekmu dibaca banyak orang sekaligus berkesempatan memenangkan smartphone keren? Yuk ikutan kompetisi Nulis Cerpen di Hipwee! Ikuti caranya melalui link ini ya!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement
Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi