[CERPEN] Menunggu Fajar di Ufuk Barat

Menunggu Tak Tentu Hingga Membatu

Malam itu, pukul 23.40 WITA. Saat rembulan tengah menguasai telak seluruh isi langit, serta menjadi primadona diantara miliaran bintang. Dua orang pria sedang duduk bersebelahan di bawah pohon yang terletak di halaman Epicentrum Mall, tanpa jarak, dengan lampu yang sangat remang namun menyilaukan mata. 

Advertisement

    Seorang pria berkulit putih, dengan tinggi dan postur tubuh yang begitu sempurna. Bibirnya merah, sempurna seperti jelmaan murid terbaik Socrates tampak sedang menunduk lesu di hadapan pria yang satunya lagi memiliki postur tubuh sporty dibalut kemeja putih Uniqlo yang begitu memesona. Mereka adalah Arya dan Dimas. Dua pria tampan yang selalu menjadi rebutan para wanita di Kantor masing-masing. 

    “Arya, ini sudah keputusan akhir keluarga. Keputusan mama sudah beku, sama sekali tak bisa diganggu gugat. Cinta kita telah menemukan jalan yang berakhir buntu. Kita harus selesai sampai di sini. Aku harus menikah dengan wanita pilihan mama.” Ucap Dimas sambil meremas tangan Arya yang teramat dingin. 

    “Delapan tahun kita berjuang membangun tembok dan pondasi benteng cinta kita berdua. Dan sekarang kau ingin menghancurkan begitu saja? Tanpa usaha keras untuk melindunginya?” lirih Arya dengan mata yang memerah. Ingusnya tarik ulur. 

    “Maafkan aku, Arya. Aku terpaksa menikahinya seperti aku terpaksa harus meninggalkan mu, ini benar-benar di luar rencana ku” sanggah Dimas

    “Aku belum ikhlas untuk melepas. Ini terlalu berat, Mas”

    “Berat itu karena ego, Arya. Kelak waktu akan berbaik hati membantu kita berdua untuk saling melupakan satu sama lain. Waktu adalah sahabat terbaik sebagai pelumpuh ingatan. Kita akan bisa melewati ini berdua.”

    “Tidak akan! Jika dulu kita menyatu karena keinginan bersama. Maka berpisah pun harus atas kesepakatan bersama. Kamu tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ini tidak adil, Mas” gertaknya sambil mengucurkan air mata. Ia sepertinya sudah ingin menangis dan teriak, namun kondisi sekitar membungkam semua perasaan hatinya. 

    “Percuma kita berjuang. Hingga berapa tahun pun kita bersama, tuhan dan alam tidak akan pernah merestui hubungan kita berdua. Aku ini anak pertama, Imam untuk keluargaku setelah dua tahun lalu papa meninggal. Aku adalah tongkat sekaligus nakhoda keluarga. Ini permintaan terakhir mama, Arya”, ucapnya memelas. Matanya sayu namun tetap tajam menghadap Arya. 

Dunia seolah seperti berhenti berputar. Rembulan di atas kepala mereka berdua seolah-olah merekam dengan lamat-lamat percakapan mereka berdua. Tembok pertahanan Arya sudah hampir roboh. Raganya sudah hampir melepuh dan terkapar di atas rumput. 

    “Ini terlalu sulit”

    “Arya, Please. Jangan memperlambat dan memperumit perpisahan kita. Beban ini sudah terlalu besar untuk aku pikul. Tidakkah kamu paham?”

    “Sulit untuk paham, di saat perpisahan sudah berada di ujung kuku” balasnya dengan suara bergetar. 

    “Maafkan aku, Arya! Tolong hapus nomor ponsel ku dan semua kenangan tentang kita berdua. Mari tutup halaman kita berdua. Dan mari memulai kehidupan baru dengan kertas yang terpisah.”

    “Tinggalkan aku, akan ku terima. Namun jangan paksa diri ini untuk melupakan raga dan semua kenangan akan dirimu. Mencintaimu adalah hak prerogatif milik ku sendiri. Itu prinsip, titik!” lirihnya tegas. Air matanya akhirnya tak mampu terbendung. Wajahnya mulai rintik dengan air mata, hingga akhirnya hujan lebat. 

Dimas mulai berdiri. Walau kakinya terasa amat berat untuk menjauh, dirinya memang harus tetap pergi meninggalkan pria yang sudah delapan tahun mewarnai hari-harinya. Banyak cerita yang sudah mereka tulis dengan pena bersama. Sekuat apapun seorang pria. Tembok hatinya akan runtuh juga jika harus dihadapkan oleh perpisahan dengan orang yang paling dicinta. 

Advertisement

Dimas duduk kembali. Sepertinya masih sangat berat untuk meninggalkan pria yang sudah diberikan tiga per empat dari seluruh hidupnya. Mereka tak tahan meredam emosi masing-masing. Dibawah pohon rindang berbalut lampu yang samar, Dimas melumat bibir Arya yang tengah basah dengan air mata. Ciuman dan hisapan lidah empat puluh detik itu merontokkan semua dinding pertahanan masing-masing. Mereka berdua kemudian berpelukan dengan sangat erat. Menempel seperti akar yang tak ingin terpisah dengan batang pohonnya. 

“Kita pisah baik-baik ya. Tolong jangan sisakan ruang untuk mendendam” ucap Dimas

“Tidak ada perpisahan yang baik, Mas. Semua perpisahan itu buruk. Semua perpisahan itu luka. Jangan cari alasan untuk meloloskan ego yang sedang merajai hati.”

“Maafkan aku. Ini bukanlah ego yang menguasai diri, namun hati nurani yang sedang menyelimuti hati. Ini adalah tanggung jawab terakhir kepada Mama. Mungkin pengabdian terakhir ku.” Ucapnya dengan tegas dan dalam. 

“Jika itu adalah tanggung jawab terakhir. Maka kamu juga adalah jodoh terakhir dalam hatiku. Jangan paksa hati ini untuk mencari pengganti. Mas, jangan marahi aku untuk menanti, hingga kau pulang kembali ke hati” balas Arya dengan mata yang sudah lebam. Kantong matanya menghitam. Beban batin membuat kantong matanya melebar. 

Advertisement

Dimas langsung melepas pelukannya. Dan berlari meninggalkan Arya seorang diri. Arya mematung seperti tiang lampu yang sedang berada di sampingnya. Dimas berlari sekencang mungkin ke arah parkiran mobilnya. Ia sengaja berlari kencang agar suara tangisannya tak terdengar oleh siapa pun. Ia sedang tak berlari dari kenyataan, namun ia sedang mengejar melawan kenyataan yang ternyata tak berpihak kepada kisah cintanya. 

Arya tetap mematung tanpa suara. Hanya deruan napas yang membuatnya tampak masih seperti manusia. Sisanya sudah seperti mati. Ingin sekali rasanya mengutuk langit, agar saat itu juga turun hujan. Agar semua orang yang ada di tempat itu bubar. Setidaknya, air hujan akan menelan seluruh air matanya. Sayangnya hujan tak turun, hanya rembulan dan rentetan bintang yang memandanginya dengan penuh duka. 

*

Empat bulan semenjak perpisahan manis mereka berdua. Manis karena setidaknya mereka mampu menutup kisah mereka dengan cara yang sangat romantis. Walau harus diwarnai dengan rentetan tangis yang begitu tragis. 

    Tiga bulan yang lalu, Dimas telah resmi menunaikan perintah sang ibu tercinta. Tiada keindahan yang paling indah selain melihat ibu sendiri tersenyum ketika melihat anaknya mengucapkan ijab kabul janji hidup semati dengan wanita tulung rusuk pendamping hidup. Saat itu, sang Ibu sampai meneteskan ratusan tetes air mata haru, melihat anak sang pemimpin solat keluarga telah resmi mempersunting wanita pilihannya. 


Walau pada saat itu, Dimas harus menyembunyikan tangisan dalam hatinya. Apa daya, tangan sudah berjabat dengan wali nikah. Jalan di belakang sudah gelap, tak ada kata untuk mundur. Sisanya adalah maju ke depan. Hatinya ingin meronta, batinnya ingin teriak kepada takdir, namun apa daya. Senyum sang ibu di belakang punggung telah merontokkan keegoisan diri. 


“Terimakasih telah bersedia secara lahir dan batin untuk menerima ku sebagai tulang rusuk mu, Mas. Demi sumpah ku kepada semesta, seluruh hidupku adalah untuk mengabdi kepada dirimu seorang. Sujud ke dua ku setelah kepada sang pencipta adalah kepada dirimu, Mas.” Ucap Fatimah dengan mata yang berkaca-kaca. 

Wanita soleha, penghafal alquran itu tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada sang ilahi atas nikmat yang telah diberikan kepadanya. Setiap kebahagiaan memang tak seharusnya menciptakan kelupaan diri kepada yang maha kuasa.

Mengingat Tuhan di kala bahagia setidaknya akan membuat kita lebih banyak belajar ikhlas. Agar jika sewaktu-waktu diambil kembali olehnya, hati tak memberontak menyumpah kepergian. Semua wanita tentunya akan merasa sangat bahagia, ketika sudah lama menanti mencium sajadah, akhirnya salah satu doanya terkabulkan oleh yang maha kuasa. 

“Istriku, Alya Fatimah Pamungkas, mohon terima segala kekurangan diri ini. Mohon maaf jika belum mampu memenuhi kriteria doa yang telah engkau panjatkan kepada sang maha kuasa”

“Sudah pas, Mas. Takut akan tuhan, Penyayang, dan Perkasa lahir dan batinnya adalah tiga kriteria yang selalu Fatimah panjatkan kepada yang maha kuasa. Dan sekarang sudah terkabulkan, Mas. Melaui dirimu” lirih Fatimah dengan pipi yang merona. 

“Terimakasih, Fatimah” balas Dimas dengan suara serak namun tegas.

“Sama-sama, Mas. Mari solat sunah dahulu sebelum menjalankan kewajiban suami istri kita berdua” usul Fatimah dengan tersenyum. Bulan sabit yang indah tak pernah terhenti mengukir di bibir manisnya. 

Bagai petir di siang bolong. Wajah Dimas langsung merah padam seperti bara api yang baru tersiram air garam. Tak pernah terpikirkan olehnya, jika kali ini harus mencium bibir selain bibir manis milik Arya. Belum pernah ada pelukan terhangat selain pelukan Arya. 

Arya adalah sumber dari kehidupan Dimas. Saat bibir tengah membeku karena dinginnya asa, Arya lah yang mampu mencairkannya dengan sangat luar biasa. Saat dinding dada tengah keras karena ego, pelukan dari Arya lah yang selalu mampu melunakkan seluruh ego yang bersarang dalam dadanya. Lantas kini, Fatimah akan menjadi pengganti? Seketika perut Dimas menjadi mual. Dirinya muntah hebat di kamar mandi. Malam pertama itu gagal, di saat wajah Arya tak pernah berhenti menyapa batinnya. 

*

Sudah hampir dua tahun Fatimah dan Dimas menjalin mahligai rumah tangga. Semua terasa hangat dan baik-baik saja. Namun sebenarnya, tembok rumah tangga mereka sedang rapuh dan ingin retak. Kaki mereka ibarat berada di ujung jurang. Sedikit guncangan saja yang menerpa, maka jatuhlah mereka ke dasar jurang hingga patah tak tersisa. 

“Fatimah, maafkan aku yang belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami yang sempurna.” Ucap Dimas dengan nada yang terdengar seperti sesal. 

“Mas, Tak masalah. Sudah ku bilang. Aku akan sabar. Aku akan menunggu hingga kamu memang benar-benar siap. Jangan paksakan diri” balas Fatimah dengan lembut. 

Bohong rasanya jika Fatimah dapat bersabar dan ikhlas selama itu. Sudah dua tahun menjalin rumah tangga dengan Dimas, tak pernah sama sekali tubuh telanjangnya disentuh oleh Dimas. Jangankan bercinta mengharap sperma, berciuman saja Dimas tak kuasa. Ia muntah hebat di depan istrinya sendiri. Hati istri mana yang tidak akan sakit melihat perilaku suaminya yang seperti itu?

Belum lagi keributan tetangga dan keluarga besar yang selalu bertanya tentang kapan Fatimah akan hamil. Pertanyaan itu terus menerus terlontar dari setiap jengkal tanah yang ia lewati. Hatinya tergores dengan seluruh pertanyaan tersebut. Namun Dimas selalu berusaha menenangkan istrinya agar tampak kuat. Hingga Fatimah tetap mampu bertahan hingga saat ini, berdiri kokoh seperti tembok raksasa cina.  

“Mas, besok Abang ku yang sekolah di Inggris akan pulang. Besok sore kita ke rumah orang tua ku ya, ada acara keluarga” ucap Fatimah kepada Dimas.

“Bang Bima, ya? Abang mu yang pintar yang sering kamu ceritakan itu? 

“Iya, Mas. Satu minggu yang lalu sudah selesai wisuda master-nya. Dia ingin pulang ke Lombok, kangen keluarga katanya. Dia juga ingin melihat Mas. Dia penasaran, karena photo nikah kita berdua tak pernah ku bagikan kepadanya. Karena dulu aku pernah marah kepadanya karena dia tak bisa hadir di acara pernikahan kita”

“Baiklah. Namun apa kamu yakin ingin bergabung dalam acara keluarga tersebut?” balas Dimas ragu. Ia takut jika istrinya harus dihakimi kembali oleh mulut-mulut keluarga yang sudah tak mengenal batas. 

“Sudah biasa, Mas. Sudah saatnya menyisihkan ego. Aku juga kangen berjumpa abang ku sendiri. Sudah lama tak pernah berjumpa dengan abang terpintar yang selalu menjadi penyemangat hidupku”

“Baik, besok sore kita berangkat. Sekarang kita tidur ya. Aku izin tidur di ruang tengah ya. Sambil nonton bola” ucap Dimas dengan suara basah. 

Fatimah hanya mengangguk tanda setuju. Ia tersenyum kecut melihat punggung suaminya yang sudah hilang dari balik pintu. Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Dimas tak akan pernah menyentuhnya. 

*

Acara keluarga telah dimulai. Anak-anak kecil yang hadir dalam acara tersebut saling rebutan mainan yang di bawa oleh abang nomor dua Fatimah. Acara keluarga ini adalah acara penyambutan Abang Fatimah yang baru pulang dari inggris, sekaligus acara arisan keluarga. 

    Sejak menikah dengan Dimas, Fatimah mulai menarik diri dari acara arisan keluarga. Karena hadirnya hanya akan membuat luka baru dalam hatinya. Nasibnya yang belum juga dikaruniai anak setelah dua tahun menikah tentunya menjadi buah bibir keluarga. Itulah sebabnya Fatimah menjadi benar-benar menarik diri. 

    “Abang Bima mana, Rio?” ucap Fatimah kepada adiknya. 

    “Sedang di kamar, baru selesai mandi. Sebentar lagi keluar” balas sang adik. 

Tak lama kemudian, pria tampan nan pintar itu keluar. Berbalut baju cokelat muda dan celana jeans, bibir merahnya memancarkan senyuman yang sangat indah. Pantas Fatimah begitu mengidolakan abangnya sendiri. Sang abang tak lebih dari manusia jelmaan dewa yunani. 

    “Akhirnya adikku yang tampan, seorang Arya Bima Pamungkas keluar juga” sambut Riko dari ujung pintu. Begitu bahagia melihat adik keduanya keluar. 

    “Bang Bima,” teriak Fatimah seperti anak kecil yang akan diberikan permen. Melepas tangan Dimas yang dari tadi dipegangnya erat. Kakak beradik itu berpelukan. Senyum manis terpancar diantara mereka berdua. 

    “Kamu apa kabar, adik tersayang. Selamat untuk pernikahan mu ya. Jangan lupa bayar denda karena sudah melangkahi abang mu ini ya. Mana adik sepupu untuk abang?” ucap Bima dengan manja tanpa beban sedikit pun. Fatimah langsung respons cepat. Dirinya tak ingin terjebak kesedihan di tengah kebahagiaan itu. 

    “Bang, aku kenalin suami aku dulu. Itu dia. Mas Dimas, ini Bang Bima, yang setiap malam aku ceritakan kepada Mas,” ucap Fatimah kepada Dimas sambil mempertemukan Dimas dengan Bima. 

Seketika dunia berhenti berputar. Seluruh planet gugus bima sakti bak bertabrakan satu sama lain. Dunia hancur lebur. Dimas tergolek lemas melihat siapa yang ada di depannya. Selama ini dirinya telah buta. Bima yang selama ini diceritakan Fatimah sebagai abang terbaik adalah Arya Bima Pamungkas. Kakak kandung dari Alya Fatimah Pamungkas.

Jika manusia-manusia di rumah itu bisa dimusnahkan dengan sekali tepuk, maka Dimas akan melakukannya sesegara mungkin. 


Air matanya ingin tumpah. Darahnya bergetar. Urat nadinya ingin meloncat putus. Arya hanya mematung. Kejutan yang paling mengejutkan hati. Luka hatinya yang masih belum kering, kini ibarat sedang tersiram air cuka. Perih nya minta ampun. Mengapa harus adik yang paling ia cintai yang harus mendapatkan pria yang paling ia cintai? Jika begini, bagaimana ia harus benci dan mendengki?


*

Saat ini, kejadian dua tahun yang lalu terulang kembali. Dimas dan Arya bertemu kembali di tempat yang berbeda. Namun dengan suasana yang hampir sama. Mungkin juga dengan kondisi hati dan jiwa yang berbeda. 

Saat itu, pukul 18.20 WITA. Villa Sun Pura, Lombok Utara.

“Terlalu sakit cara mu menyakiti ku, Mas. Ini benar-benar sakit. Hatiku seperti dikompresi air es, diperas kemudian dibanting di atas bara api bersumbu batu bara. Hati ku terkoyak lebur, Mas” lirih Arya. Ingin rasanya menangis, hanya saja mereka tak hanya berdua di sana. 

“Ku patuhi sumpah ku untuk setia terhadap satu hati. Janji sepuluh tahun yang lalu tak pernah sama sekali ku nodai”

“Kini kau sudah menyakiti dua hati, Mas.”

“Ini semua di luar kuasa ku, Maafkan aku”

“Maaf yang terlalu sering terucap akan kehilangan esensi maknanya.”

“Hanya maaf modal yang ku miliki. Ludahi saja wajahku yang kau benci ini. Aku memang pantas untuk di injak”

“Selama dua tahun kau menyakiti adik dan diriku, Mas. Kau cabik-cabik hati kami. Caramu yang terlalu sadis membuatku serasa tertusuk pedang hingga dasar hati, kemudian kau putar-putar di tengah-tengah pangkal hatiku. Sakitnya minta ampun”

“Dua tahun aku tak pernah menyentuh istriku sendiri, semua itu karena dirimu. Wajah dan kenangan kita berdua tak pernah padam dari mata dan pikiran ku. Photo mu yang ku bawa adalah penyelamat nafsu birahi ku selama Fatimah tak ada di rumah. Lantas masih bisakah sekarang kau membela diri menganggap aku yang paling jahat?” ucap Dimas dengan mata kosong. 

Arya memucat. Aliran darahnya seolah berhenti setelah mencerna apa yang baru saja didengarnya. Semua itu sangat sulit dicerna kepala. 

    “Selam dua tahun aku menunggu mu untuk menyelamatkan cinta yang delapan tahun. Namun ternyata, kini aku sudah benar-benar tersadar jika menunggu mu itu ibarat menunggu fajar terbit dari upuk barat. Semua hanya akan sia-sia saja. Itu semua tak akan pernah terjadi. Sekalipun terjadi, itu adalah hari kiamat!” balas Arya dengan suara bergetar, keringatnya bercucuran. 

Mereka berdua diam tanpa kata. Tak ada satu pun diantara mereka yang berani saling beradu mata. Magnet cinta mereka sebenarnya sudah tak sanggup untuk menahan diri untuk saling menjilat lidah beradu nafsu birahi. Namun nafsu telah terkalahkan emosi. Mereka sudah kehabisan kata untuk menggambarkan rasa patah hati yang terlalu berat. 

Pukul 18.47 WITA, tiang lampu dan pohon-pohon tempat mereka bernaung bergetar. Beton yang mereka pijak bergetar hebat hingga terbelah. Dinding dan pohon di sekitar mereka seolah beterbangan, mengangkat begitu saja seperti kapas tertiup angin. Pulau Lombok diterjang Gempa Bumi berkekuatan 6.4 skala Richter berpotensi tsunami, berpusat di Lombok Utara. 

Jika dulu mereka berdua harus berpisah karena Dimas memilih untuk menikah, kini situasinya berbeda. Di saat mereka berdua sedang ingin berusaha menyatukan kain yang sudah lama sobek, justru alamlah yang seolah berteriak menolak tak setuju. 480 orang meninggal dunia karena tertimpa runtuhan bangunan.

Dimas, adalah satu dari empat ratus delapan puluh itu. Punggungnya remuk tak berbentuk. Malam itu, kebaikan terakhir yang dilakukan Dimas adalah memeluk Arya dengan erat, agar tiang listrik dan lampu di dekatnya tidak menimpa Arya dengan ganas. Sayangnya, itu adalah beban batin baru untuk Arya yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. 

*

Hari ini di Mataram, tepat pada tanggal 17 Agustus 2019 di hari kemerdekaan bangsa Indonesia, Fatimah yang berbalut kerudung hitam mengunjungi Abangnya tercinta di Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma. Abang yang dulu selalu ia bangga-banggakan sebagai orang terpintar kini hanya tergolek lemas di bangku koridor rumah sakit. Menatap langit dengan mata kosong. 

    “Bang, ini Fatimah. Ini Adek bawakan makanan kesukaan abang” lirih Fatimah dengan mata yang berkaca-kaca.

    “Kamu pembunuh, pergi sana. Pergi…” teriak Arya dengan sangat histeris. 

    “Bang, tolong ikhlas. Takdir tuhan jangan di lawan ya” balas Fatimah sambil menepuk bahu abangnya. 

    “Kembalikan Dimas ku, belahan jiwaku. Kembalikan…” teriak Arya dengan geram. 

Seketika hati Fatimah kembali remuk. Tuhan seolah-olah sedang menamparnya melalui teriakan abangnya sendiri. Fatimah benar-benar hancur. 


Pria yang selama ini ia cintai sebagai suaminya adalah pria yang ternyata dicintai sepenuh jiwa oleh abangnya sendiri. Cintanya kepada Dimas ternyata hanya satu per sepuluh dari sembilan per sepuluh milik abangnya. Cintanya kepada Dimas tak ada apa-apanya daripada cinta abangnya kepada Dimas. 


Fatimah sungguh tak bisa menahan air matanya. Ia berlari menuju pintu keluar sambil berteriak terisak-isak. Puluhan pasang mata tak dihiraukannya. Kakinya tertatih-tatih berlari menuju pusara nisan bertuliskan nama Dimas Nugroho Wijaya. 

    “Mas, hati ku remuk. Jiwa ku hancur berkeping-keping. Takdir ini benar-benar tak sesuai dengan kekuatan pundak ku. Walau agama tak pernah memberi hak untuk istri menalak suami, kini aku di sini hadir sebagai yang hidup. Menembus batas melawan aturan agama. Kau ku ceraikan sebagai suamiku. Semoga kau tenang dan tersenyum di alam sana” tangis Fatimah sambil memeluk nisan mantan suaminya untuk yang terakhir kalinya. 

Di sudut koridor rumah sakit sana, Arya dengan tatapan kosong melihat senja dengan kaki telanjang. Logikanya telah berkeping-keping. Pikirannya hancur. Jiwanya telah mati tergilas perpisahan. Hati kecilnya berkata, akan menunggu fajar di upuk barat. Menunggu Dimas menjemputnya untuk pulang. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist