Entah apa yang merasuki hati hingga memutuskan untuk bertandang ke lereng jurang yang curam ini. Mungkin rasa gundah yang sudah kelewatan dalam menghujamkan busur panah kepahitan selepas kepergian dirinya. Â
Di ambang menuju keabadian bersamanya, kurentangkan sepasang tangan yang siap merasakan sensasi terbang layaknya burung, lalu perlahan memejamkan mata.
Namun, di sela-sela suasana yang penuh keharuan itu, entah mengapa ujung hidungku terasa sangat gatal sekaligus geli. Mataku terbelalak seketika lalu terkejut setengah mati melihat makhluk aneh itu.
Arghhhhh…, teriakku histeris.
Tanpa sadar, aku menginjak kerikil kecil di tanah hingga terjungkir jatuh ke belakang. Aku menengadah ke langit dan melihat makhluk itu terbang dengan anggunnya.
Ternyata hanya seekor kupu-kupu. Hei, Kupu-Kupu, aku akan menangkapmu, ucapku sedikit kesal.
Aku segera berdiri lalu mengejarnya. Kupu-Kupu itu tiada hentinya terbang menjauhiku. Dan betapa bodohnya lagi, aku malah mengikutinya begitu saja hingga melupakan tujuanku yang sebenarnya. Kupu-Kupu itu terbang memasuki sebuah taman yang dipenuhi dengan bunga berwarna-warni. Jujur, aku belum pernah datang ke sini. Â
Aku berjalan pelan memasukinya, berusaha menikmati udara hangat mentari dengan aroma wewangian alami yang berasal dari padang bunga itu. Tanpa sadar, aku terfokus pada satu pemandangan yang sangat langka. Aku melihat Kupu-Kupu itu kini hinggap dengan ramah di rambut seorang gadis. Gadis itu tengah duduk di rerumputan yang berada di tengah padang bunga itu. Bahkan, tidak hanya satu, tapi puluhan kupu-kupu yang mengitarinya.Â
Aku berdecak kagum menyaksikan keindahan itu. Pesona gadis itu yang tersenyum manis mengalahkan manisnya gula. Terlihat jelas matanya yang berbinar-binar itu tengah asyik bercengkeramah dengan para kupu-kupu hingga tidak kuasa hati ini untuk memecah keindahan itu. Keputusanku dengan cukup memandang dan mengaguminya dari kejauhan, terasa sangat bijaksana untuk saat ini. Meski, rasa penasaran dalam kalbu terus bergejolak, menagih kejujuran raga. Aku ingin tahu siapa nama dari gadis mempesona itu. Aku berdenyut hebat bila mengenangnya. Meski begitu, kalau dihitung, sudah lima kali aku mengintipnya dari kejauhan. Menikmati auranya yang tidak pernah membuatku bosan. Aku ingin sekali menyapa senyumannya itu. Tapi, diriku sepertinya belum berani untuk menunjukkan keberadaanku.Â
Hari ini, seperti biasanya aku pasti datang ke taman untuk sekadar melihatnya. Mataku yang terlalu fokus menikmati kecantikannya hingga tidak sengaja menginjak ranting pohon yang berserakan di tanah.Â
Kraakk ….
Seketika gadis itu langsung terkejut lalu menoleh ke arahku.
Siapa disana? ucapnya setengah berteriak.
Aku yang sudah kepalang basah, akhirnya memutuskan untuk menunjukkan diriku.
Ehem … maafkan aku telah mengganggu ketenanganmu, Nona! Tidak sengaja aku lewat dan memasuki taman ini. Perkenalkan namaku Andi, ucapku terbata-bata.
Lalu, gadis itu berdiri dari lesehan rumput yang membentang itu dan langsung menghampiriku tepat di hadapanku. Sangat dekat. Jantungku berdebar-debar tidak karuan.Â
Tiba-tiba, dia meraih tanganku dan menjabatnya dengan erat.
Hai, kupu-kupu yangg bernama Andi, perkenalkan namaku Bunga! ucapnya sambil memamerkan warna bibirnya.
Iya, hai, Bunga, senang berkenalan denganmu! balasku dengan napas tersengal.
Entah apa aku salah dengar, dia baru saja memanggilku kupu-kupu. Cukup aneh. Tapi, bagiku, dia benar-benar gadis yang unik. Setelah hari perkenalan kami berdua itu, akhirnya kami sering menghabiskan waktu bersama di taman itu. Bersenda gurau dengan asyik dari fajar hingga petang.Â
Tidak terasa waktu telah berjalan setahun, hari-hari dimana kami memadu kasih dengan bebasnya.Â
Tanpa sadar, gerakan tangan yang memijat kaki nenek ini telah hanyut dalam khayalan di kepalaku.
Andi, cucuku tersayang! Apa gerangan yang kamu lamunkan sedari tadi? ucap Nenek membangunkan aku dari dunia kasmaranku.
Ahh … maaf, Nek! Sebenarnya, aku sedang menyukai seorang gadis. Namanya Bunga. Dia sangat cantik seperti namanya. Sudah setahun ini aku mengenalnya. Dia juga sepertinya menyukaiku, terangku kepada Nenek.
Pantesan setiap hari kamu jarang di rumah! Kalau kalian sudah saling menyukai, mengapa kamu tidak meminangnya saja? Kalau sudah menikah, kalian pasti akan bertemu setiap hari, ucap Nenek yang terdengar masuk akal.
Benar juga yang dikatakan Nenek! Mungkin aku harus segera meminangnya, ucapku bingung.Â
Nenek diam-diam melepas sebuah cincin dari jari manisnya lalu menunjukkannya padaku.
Andi, persuntinglah gadis itu besok. Sematkanlah cincin ini di jarinya! Nenek berharap bisa melihat pernikahanmu nantinya, ucap nenek sembari menaruh cincin itu di telapak tanganku.
Terima kasih, Nek! Aku pasti akan membawa gadis itu menjadi istriku, ucapku dengan tegas sebagai langkah mengumpulkan niat untuk meminangnya.
Keesokkan harinya, aku pergi menemuinya lagi di taman itu dengan wajah yang berseri-seri. Ketika aku sampai di taman, seperti biasa dia akan selalu terlihat bersama dengan teman kupu-kupunya. Tidak ketinggalan juga dengan senyumnya yang merona.Â
Bunga, aku datang! sapaku sambil tersenyum ramah.
Selamat datang, Andi! balasnya sembari berlari lalu memelukku.
Bunga, ada yang ingin kukatakan padamu! Aku melepas pelukannya lalu menggenggam tangannya.
Apa itu? tanyanya antusias.
Maukah kamu menikahiku? Menghabiskan sisa hidupmu bersamaku? ucapku dengan pasti.
Senyumnya semakin mengembang dan mengisyaratkan sesuatu.
Apa kamu ingin memetikku sekarang? katanya.
Iya, aku ingin memetik bunga hatiku sekarang!
Baiklah, aku bersedia menikahimu, Andi! jawabnya membuatku melonjak kegirangan.
Aku pun menggendongnya dengan gagah sebagai wujud ucapan kebahagiaan yang baru saja kuterima. Rasanya aku ingin segera menyematkan cincin yang nenek berikan di jari manisnya pertanda ia menjadi milikku seutuhnya. Namun, sayangnya, belum sempat aku mengeluarkan cincin itu, terdengar suara telepon genggamku yang berdering.
Maaf, Bunga, aku harus mengangkat telepon dulu!Â
Baiklah, Andi! Terima teleponnya dulu, mungkin itu hal penting, ucapnya dengan lembut.
Aku langsung mengangkat telepon itu. Betapa terkejutnya aku dengan berita yang baru saja kudengar. Tetanggaku mengatakan bahwa nenekku baru saja menghembuskan napas terakhirnya.Â
Maafkan aku, Bunga, aku harus pergi! Nenekku baru saja meninggal dunia. Aku janji akan kembali untukmu. Jadi, mari bertemu lagi nanti! ucapku nada cemas.
Tentu saja, aku akan tetap menunggumu datang. Pergilah sekarang! katanya.
Itulah hari terakhir aku bertemu dengannya. Setelah pemakaman nenek, kedua orangtuaku langsung mengajakku pergi untuk tinggal bersama mereka di kota. Karena rasa kehilangan yang mendalam, aku melupakan satu hal yang sangat berharga bagiku. Dia yang kucintai.
***
Setelah bertahun-tahun tinggal di kota, bekerja lalu menikah dengan gadis pilihan orangtuaku dan akhirnya memiliki dua orang anak yang kini juga sudah berumah tangga. Aku yang sudah memasuki usia senja ini, akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Keputusan untuk tidak menjadi beban bagi kedua anakku lalu berniat mencari ketenangan dengan menghabiskan sisa hidup di desa ini adalah keinginan yang berasal dari lubuk hati.
Aku telusuri desa yang menyimpan banyak kenangan ini dengan ditemani sebuah tongkat penyangga tubuh yang telah rapuh ini lalu berjalan dengan senang hati. Tiba-tiba, muncullah seekor kupu-kupu dan hinggap di hidungku. Sebuah peristiwa yang tidak asing lagi. Bedanya, aku tidak terkejut sama sekali. Malah ingatan lama kembali bermunculan. Gadis pengagum kupu-kupu. Sudah lama tidak melihatnya.Â
Aku bergegas menuju taman itu untuk memastikannya. Benar saja dugaanku. Dia masih sama seperti dulu. Bersenda gurau dengan para kupu-kupu dengan senyuman indah dari balik wajahnya yang sudah keriput. Di mataku, dia tetap sama cantiknya seperti dulu. Pesonanya sama indah dan menyilaukan siapa saja yang memandangnya. Aku ingin segera menyapanya.Â
Namun, langkahku terhenti setelah memikirkannya baik-baik. Akhirnya, aku menyadari sesuatu. Selama ini aku selalu mengira bahwa gadis itulah yang mengagumi kupu-kupu. Ternyata, sebaliknya. Para kupu-kupu yang mengaguminya. Ingin bercengkeramah dengannya. Dialah sang bunga sejati. Seperti aku yang sedang bersembunyi di balik rerumputan yang mengagumi pesonanya. Tapi, selalu enggan untuk memetiknya. Memang kenyataan itu benar, bunga akan terlihat lebih indah di tempat dimana bunga itu tumbuh. Mungkin memang sudah suratan takdir bahwa aku tidak jadi menikahinya. Kalau saja terjadi waktu itu, mungkin para kupu-kupu lain tidak bisa menikmati keindahan itu lagi. Termasuk aku.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”