Sebagai seorang anak keturunan Tionghoa yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang multikultural dan didominasi oleh budaya lain, aku sudah sangat sering menerima perilaku diskriminasi. Mulai dari teman-teman SD yang mengolok-ngolok fisik "Heh! Buka matamu! Udah pagi tau!" atau membuat gestur dengan menaikkan mata mereka menyipit keatas sambil menjulurkan lidah dan menoleh kearahku. Awalnya aku merasa tidak adil karena diperlakukan seperti itu. Maksudnya, kita tidak bisa memilih ras apa kita akan dilahirkan.. kalau tahu bahwa akan menjadi salah satu ras minoritas, tentunya aku pasti akan lebih memilih untuk terlahir sebagai ras mayoritas seperti kebanyakan orang lainnya.Â
Saat mulai bersekolah SMP, aku masuk ke salah satu sekolah negeri di kota-ku dan lagi-lagi mendapatkan perlakuan yang sama dan bahkan bisa dibilang lebih parah. Saat masa orientasi aku diminta untuk mendapatkan tanda tangan kakak kelas.. dan setiap kakak kelas yang kumintai tanda tangan pasti akan menanyakan hal yang sama "Kamu china ya? Kok matamu sipit banget?" Aku yang masih anak baru dan tidak ingin mencari masalah selalu berusaha menahan emosi dan tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu.
Tapi ternyata diskriminasi yang aku dapatkan semakin terasa saat sekolah sudah dimulai. Saat aku melewati lorong-lorong kelas, maka semua murid akan melihat ke arahku sambil berteriak-teriak "Eh China! China!" dan saat itulah aku merasa cukup dan meminta untuk pindah sekolah kepada kedua orang tuaku. Ibuku mencoba untuk menenangkan hatiku dengan mengatakan tidak ada salahnya menjadi seseorang dengan ras yang berbeda dengan teman-temanku. Tapi intinya aku tetap pindah sekolah ke sekolah negeri lainnya yang lebih bisa menerima perbedaan.Â
Perilaku-perilaku diskriminasi yang aku dapatkan itu membuatku merasa bersalah terlahir sebagai seorang keturunan Tionghoa. Beberapa kali aku mengutuk garis kelahiranku yang harus terlahir berbeda dengan kebanyakan teman-temanku. Namun, saat aku melihat salah satu Drama Korea di televisi, terlintas sebuah pemikiran yang membuat diriku merasa lebih baik "Wah mereka juga punya mata sepertiku dan kebanyakan terlihat sepertiku!" Sejak saat itu aku mulai menggilai segalanya tentang Korea. Mulai dari lagu-lagunya, segala drama yang saat itu masih banyak ditayangkan oleh TV saluran lokal, maupun gaya rambut dan berpakaian orang-orang Korea.Â
Aku menjadi lebih percaya diri saat meniru segala macam tren-tren Korea yang ada. Apalagi saat ada orang yang melihatku dan berkata "Ih mirip orang Korea ya gayanya." Maka rasanya rasa percaya diriku meningkat 100%. Seiring berjalannya waktu aku, aku terus mengisi hari-hariku dengan menonton Drama Korea (dari yang lawas seperti Winter Sonata sampai yang baru dan sedang tayang saat itu, City Hunter), menonton reality show Korea, acara musik Korea, film-film Korea dan segalanya yang berbau Korea setiap hari setelah pulang sekolah. Sedikit demi sedikit aku mulai menangkap arti dari percakapan dalam bahasa Korea, dan karena aku terobsesi dan merasa bahwa aku bagian dari segala macam per-Korea-an yang kutonton, aku mencoba untuk berkomunikasi dengan diriku dalam bahasa Korea dalam otak.
Saat masuk di bangku SMA aku kembali masuk ke sekolah negeri dan seperti yang sudah kuduga, aku masih mendapatkan perilaku diskriminasi dari teman-teman dan bahkan guruku. Tapi aku sudah mulai kebal dan memiliki pemikiran tersendiri mengenai identitas rasku. Tanpa kusangka, ternyata sekolahku memiliki sister school di Korea yang selalu mengadakan pertukaran pelajar selama satu minggu setiap tahunnya. Saat mengetahui itu aku langsung berpikir "Ini kesempatanku!" Sebelum bisa berangkat ke Korea, guruku menyarankan untuk menjadi host bagi anak-anak dari Korea yang akan datang ke kotaku. Aku pun dengan semangat mendaftarkan diriku sebagai seorang host. Mulai dari sana-lah aku mulai merasa menyentuh hal yang selama ini selalu menjadi fantasiku.
Teman Koreaku, Jinhee memiliki kepribadian yang supel dan mudah disukai semua orang. Awalnya aku ragu-ragu untuk berbicara dengan bahasa Korea dengannya tapi aku mulai mencampur bahasa Inggrisku dengan bahasa Korea saat bercerita dengannya, dan lama-lama aku lebih banyak berbicara dengan bahasa Korea dengannya. Saat itu Jinhee terkejut mendengar kemampuan bahasa Koreaku. Dia bahkan mengatakan bahasa Korea-ku sangatlah natural dan seperti orang Korea sebenarnya. Karena aku sangat lemah dengan pujian, aku merasa makin termotivasi untuk terjun ke dalam dunia per-Korea-an ini. Setelah menghabiskan waktu yang menyenangkan selama satu minggu bersama Jinhee dan mendapatkan kesempatan langsung untuk "menyicipi" Korea yang sesungguhnya, akhirnya tiba saatnya untuk diriku berangkat sendiri ke Korea untuk acara pertukaran pelajar.
Saat sampai di Korea semuanya terasa seperti mimpi. Apa yang biasanya hanya bisa kulihat di Drama ada di depan mataku saat itu. Aku rasanya ingin berulang kali mencubit diriku untuk memastikan semuanya bukan mimpi. Disana aku bertemu dengan teman yang akan menjadi hostku, Yoona. Yoona memiliki kemampuan bahasa Inggris yang minim. Dia terkadang kebingungan mendengar kata-kataku dalam bahasa Inggris namun aku malu untuk langsung berbicara dalam bahasa Korea. Hingga saat ibu Yoona datang menjemput kita, aku secara spontan menyapanya dengan bahasa Korea dan ibunya pun terkejut dan langsung mempersilahkanku duduk di mobilnya.
Di dalam mobil, Ibu Yoona masih terkesan dengan bahasa Koreaku. Ibu Yoona bertanya padaku sampai mana aku bisa mengerti bahasa Korea dan aku menjawab bahwa aku hanya bisa mengerti apa yang dikatakannya sekarang. Yoona yang awalnya sangat menghemat kata-katanya langsung menjadi cerewet dan berbicara banyak hal denganku. Kita berbicara tentang ini dan itu. Namun sesekali Yoona menyeletuk "Tapi aku seharusnya berlatih bahasa Inggris denganmu T.T" tapi Yoona juga merasa lebih nyaman berbahasa Korea denganku jadi dia tetap berbahasa Korea denganku. Keluarga Yoona menyambutku dengan sangat hangat. Terutama ibunya. Ibu Yoona persis seperti ibu-ibu Korea yang ada dalam bayanganku.
Pekerja keras, sangat sayang pada anaknya, dan terkadang seperti gadis. Setelah melewatkan satu minggu bersama keluarga Yoona, aku merasa sangat sedih saat harus berpisah. Aku pun mengatakan bahwa aku tidak ingin berpisah dengan keluarga Yoona ke ibunya, Ibu Yoona memberitahuku untuk belajar yang rajin dan nantinya aku bisa berkuliah atau bekerja di Korea. Ibunya juga mengatakan padaku untuk terus berkontak dengan Yoona. Akhirnya aku pun harus meninggalkan tempat yang seperti mimpi bagiku.
Setelah pulang dari Korea, aku menjadi semakin merasa bahwa diriku adalah bagian dari Korea itu sendiri. Ketertarikanku tidak lagi hanya ada pada drama atau lagu Korea, tapi lebih kepada budaya, serta keadaan masyarakat di Korea. Aku pun menggali lebih dalam mengenai Korea dengan menonton berbagai macam video-video dokumenter yang dapat kutonton di Youtube. Pengetahuanku tentang Korea menjadi sangat luas, hingga aku dapat melihat kekurangan dari masyarakat-masyarakat Korea.Â
Hingga saat ini aku terkadang masih berkontak dengan Yoona. Masih merasa berhutang budi atas kebaikan keluarganya kepadaku. Setelah sekitar 12 tahun mengenal budaya Korea. Terkadang aku mulai bingung dengan identitas diriku. Korea yang dulunya adalah suatu hal yang dapat menenangkan dan meningkatkan rasa percaya diriku, menjadi sesuatu yang kuanggap seperti tujuan hidupku. Aku terlalu mendalami kehidupanku dalam per-Korea-an ini hingga terkadang lupa dengan diriku yang sebenarnya. Aku sebenarnya ingin untuk mulai perlahan meninggalkan segala per-Korea-an ini agar dapat menemukan diriku yang sebenarnya.
Namun, karena aku sudah terjun terlalu dalam, rasanya sangat sulit meninggalkan apa yang sudah kutumbuhkan dalam diriku selama 12 tahun. Akhirnya aku pun memilih untuk menikmati apa yang bisa kudapatkan dari investasi waktuku terhadap budaya Korea selama ini, daripada memusingkannya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”