Aku mencintaimu tanpa henti,
sampai ombak tak lagi mencium bibir pantai,
hujan tak lagi memeluk bumi,
bunga tak lagi bermekaran,
dan kupu-kupu lelah berjelajah.
******
Sebait puisi di atas tertulis dalam undangan pernikahan kami. Lariknya tercipta usai kami melakukan foto prewedding di pantai selatan di pulau ini. Saat melihat ombak yang mencium pantai terlintas di benak untuk membuat larik-larik puisi di atas. Bagi saya maknanya sangat dalam. Tujuannya untuk berdua hingga tua. Lalu merapal doa berdua sebelum malam menghianati bintang gemintang, sampai nanti sampai seribu tahun lagi, sampai kami tak lagi bernafas.
Pernikahan kami berlangsung sebulan yang lalu. Akhir Bulan September menjadi kenangan di dalam perjalanan hidup kami berdua. Acaranya terpatri dalam memori. Kami menandaskan janji untuk berdua hingga tua, menikmati kopi di bawah senja yang sama. Sungguh pilihan dalam perjalanan hidup yang tentu saja membutuhkan komitmen yang kuat, tak main-main untuk dijalankan.Â
Di depan altar Tuhan kami bersumpah, mengucapkan janji pada Tuhan dan alam semesta untuk berdua hingga tua. Acara itu disaksikan oleh jemaat gereja dan keluarga besar. Janji itu dirapalkan penuh haru, beriringan dengan air mata yang membasahi pipi, pasangan saya pun alami hal yang sama. Bahkan, kedua orangtua kami bermata sayu, mereka turut mengusap air mata. Barangkali mereka tak rela melihat buah hati yang telah mereka besarkan lekas beranjak dari rumah, lalu memilih untuk membangun rumahnya sendiri.
Setelah menandaskan janji suci di depan altar Tuhan, kami melangsungkan resepsi yang sederhana. Resepsinya mungkin tak semegah pernikahan Rafi Ahmad dan Nagita Slafina dengan disaksikan oleh penonton layar kaca seluruh Indonesia. Namun, bagi saya, acaranya berjalan istimewa dan syarat makna, pesannya cukup kuat dalam perjalanan hidup bagi sepasang anak manusia. Sepanjang jalannya acara, kami amat menikmatinya, sesekali kami tersenyum sumringah menikmati jalannya suasana.
Resepsi pernikahan kami didukung penuh oleh teman-teman muda. Mereka yang selama ini satu kaki dalam perjalanan hidup kami berdua. Beruntung saya dikelilingi oleh teman-teman muda dengan energi positif yang sangat kuat, Â bukan orang-orang yang hanya tahu berbicara saja tanpa saling mendukung satu sama lain.
Pembawa acara di pernikahan kami dipandu oleh penulis sekaligus komika di kabupaten kami. Sepanjang acara ia acapkali memainkan rima, selebihnya ia melempar humor ke tengah undangan, mengundang gelak tawa undangan terhormat. Saya amat menikmati jalannya acara, sebab kelihaiannya dalam memandu acara mengundang ekspresi penuh sumringah. Ia patut diandalkan untuk memandu jalannya resepsi pernikahan di tanah kebanggaan kami ini. Â
Beruntung resepsi berjalan dengan lancar. Jalannya resepsi tetap berpaku pada penerapan protokol kesehatan yang ketat. Sebelum undangan masuk ke dalam ruangan resepsi, undangan dipersilakan untuk mencuci tangan. Panitia yang berdiri di depan pintu  memperhatikan pemakaian masker. Saat ada yang tak memakai masker, maka panitia menganjurkan untuk memakai masker. Di dalam ruangan resepsi undangan   hanya diperbolehkan untuk menyalam pengantin dengan mengatupkan tangan dan menundukan kepala dari jarak dua meter. Selanjutnya mereka diarahkan untuk memilih tempat duduk dengan tetap menjaga jarak.      Â
Sebelumnya kami bertunangan setahun yang lalu. Acaranya berjalan sesuai tata upacara adat di daerah kami. Sesaat sebelum memasang cincin di jari kami berdua akan diisi dengan percakapan adat dari kedua keluarga besar untuk membicarakan tentang mahar. Orang-orang di daerah kami menyebutnya belis. Biasanya percakapan di dalamnya diisi dengan negoisasi antara kedua belah pihak untuk membicarakan soal belis .
Belis dibawa oleh keluarga dari pihak laki-laki saat akan berlangsungnya pernikahan. Sepanjang acara pertunangan biasanya percakapan tentang belis berlangsung alot. Perdebatan antara kedua belah pihak acapkali tak menemukan kata sepakat. Kadang saling melempar metafora lokal untuk meminta kebaikan hati dari salah satu pihak dalam meringankan mahar. Apabila tak menemukan kata sepakat, pihak laki-laki akan meminta waktu di hari lain untuk membicarakan kesepakatan lebih jauh dengan keluarga dari pihak perempuan. Memang akhir-akhir ini, tak berlebihan kalau saya katakan, laki-laki di tempat kami, dahinya akan mengkerut kalau menyinggung tentang belis yang belakangan ini sering mencekik leher.
Dalam perjalanan menuju sepasang, kami melewati dua tahun masa pacaran. Selama itu aral melintang menghadang. Sepanjang perjalanan merajut kisah merawat kasih ada banyak sekali kerikil-kerikil yang menghalang ayunan langkah. Andai tak sabar menghadap cobaan, barangkali hubungan kami hanya tertinggal dalam sebuah ruang yang kita kenal dengan nama kenangan.
Seingat saya ada ragam kerikil menghantam perjalanan. Sesekali terjadi percekcokan. Seperti kata orang, cekcok untuk cocok. Kalau sudah cocok, mungkin tak ada lagi cekcok, tak ada lagi perselisihan. Salah paham dan paham yang salah memang tak bisa dihindari. Siapapun di atas muka bumi ini, pilihan hidup dari lajang menuju sepasang memang tak mudah. Mereka akan melewati rintangan yang amat banyak.
Sekarang kami telah menjadi sepasang. Sudah sebulan lamanya. Hari perlahan indah saat ia menemani di sisi. Ia yang dikirimkan semesta untuk bersama membuka pagi hari dan menutup malam hari. Tanpanya mungkin saya bukanlah apa-apa, dengannya saya tak lagi hampa. Terima kasih karena kita telah menjadi sepasang. Kita akan terus bersama. Membuka hari dengan kopi pagi, lalu menutup malam dengan menceritakan mimpi-mimpimu, menceritakan mimpi-mimpiku, kemudian itu semua akan menjadi mimpi-mimpi kita bersama.
Kekasih, aku mencintaimu tanpa henti, sampai ombak tak lagi mencium bibir pantai, hujan tak lagi memeluk bumi, bunga tak lagi bermekaran dan kupu-kupu lelah berjelajah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”