Senja mulai menampakan muramnya, sang mentari mulai redup dan deruman mobil di jalanan masih saja menghiasi jalanan, polusi udara di siang hari mulai dihirup dedaunan tanpa menunjukan batuknya.
Maghrib itu, masih saja ia terjebak macet di jalan menuju kosan nya yang bertempat tak jauh dai kampus dimana ia kuliah, hal yang lumayan menyebalkan tapi beginilah adanya. Macet, ia tak pernah pergi berlibur dan berpiknik, terus saja menggentayangi para pengemudi kendaraan di setiap waktu, mungkin hanya pekat malam lah waktu tidurnya mereka, akan tetapi ketika hari raya besar semisal Idul fitri, mereka pun ikut berlembur, itulah tabiat mereka.
Berdesakan di bis adalah hal yang biasa, apalagi sudah menunjukan sore hari, dimana para pekerja pulang dari tempat kerja mereka, akan tetapi hari ia dapat duduk di kursi bis, hal yang jarang didapatkan tiap kali pulang dengan naik bis di senja hari, selalu saja penumpang sudah membludak di dalam, sehingga kursi pun sudah tak ada yang kosong lagi dari jauh-jauh halte pemberhentian bus di mana aku menunggu.
Dipandangnya kanan-kiri, wajah-wajah lelah terpancar dari mereka, lesu bercampur penat menjadi satu tak terkecuali seorang kakek-kakek yang membawa beberapa box di hadapannya, ada sebagian yang ia pegang di depan perutnya yang sudah mengendur, tanda termakan umur. Tak tega melihatnya, seandainya saja menempati posisinya yang tua rentan, di usia sesenja itu masih saja mencari nafkah tuk keluarganya, memang terbaik kakek ini.
Tak sampai hati melihatnya, ia pun mempersilahkan si kakek tuk duduk di tempatnya, awalnya si kakek menolak dan kekeh untuk berdiri di tempatnya, dengan sedikit memohon agar si kakek bersedia duduk di kursi dan ia pun berdiri, si kakek hanya tersenyum dan ia membalas senyumnya, terasa dalam hati ini terbersit rasa senang, bukankah orang yang paling bahagia adalah orang yang membahagiakan orang lain.
Aku hanya berandai-andai, bagaimana jika di hari tuaku aku masih harus seperti kakek ini, keluar pagi dan pulang sore hari.
Dilihatnya lagi di sepanjang jalan, banyak sekali pengemis dan pengamen mencari sesisih receh dari kantung-kantung orang yang ikhlas, demi agar keluarga mereka bisa mengisi perutnya. Lagi-lagi ia mengandai, bagaimana jika dirinya menjadi mereka, harus mengemis dan mengamen, menanggalkan rasa malu demi sesuap nasi tuk keluarganya.
Ah, betapa pelitnya manusia tuk mensyukuri keadaannya, bahkan tuk merenung pun sulit sekali, merenung memikirkan nasib dirinya sendiri pun tak mampu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Ketemuan yuk
kunjungi www(dot)dewa168(dot)com