Aku melihat akhlak indah dengan cadar terbalut menutupi wajah. Ada rasa tak pantas terlintas dalam pikiran jika berkaca kepada diriku yang pernah lama terlarut dalam dosa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa mata indahmu membuat hati ini jatuh kedalam rasa ingin memiliki.
Dinginnya waktu subuh tak membuatmu ragu untuk bangkit menuju masjid bersama lelaki terhebatmu. Dia adalah sosok ayah terbaik bagimu. Sangat jauh berbeda dengan aku yang bahkan masih melakukan hal sia-sia. Masih sering melakukan hal-hal berdosa. Hingga aku merasa, "Apakah aku akan terus berada dalam keadaan demikian?". Terus berbuat dosa sedangkan aku menginginkan wanita baik sepertimu untuk aku jadikan istri. Aku pikir itu akan menjadi hal yang tidak mungkin. Demi kamu aku memutuskan untuk memulai semuanya. Suatu pagi aku mencoba mulai memantaskan diri. Sebagai doa agar berjodoh denganmu. Tanpa kamu tahu bahwa aku telah jatuh hati kepadamu. Tanpa kamu tahu aku mulai memperjuangkanmu dengan memintamu kepada yang menciptakanmu dalam diam. Aku mulai dengan perlahan meninggalkan semua hal sia-sia yang berbau dosa. Mulai dengan perlahan menata hidupku agar lebih baik. Mencoba memantaskan diri agar bisa mengenalmu. Tak terasa telah sebulan berlalu sejak pertama kali aku melihatmu. Aku masih dalam usahaku memantaskan diri. Untuk kamu, perlahan aku telah meninggalkan kebiasaan buruk. Namun, hidupku tak membaik dengan seketika pastinya. Masih banyak hal yang terus aku coba perbaiki dari segi akhlak, materi, pengetahuan dan lainnya. Hingga nanti aku telah merasa siap untuk mencoba menyapamu. Hari demi hari terus berlalu. Aku mulai terbiasa dengan diriku yang baru. Melakukan hal-hal baik dan aku juga mulai terbiasa melaksanakan ibadah salat di masjid. Walaupun kadang masih bolong. Tapi, terus aku tanamkan niat. Terus aku coba melakukannya sembari berdoa agar hidayah datang kepadaku. Tak lupa kuselipkan kamu dalam doaku. Walaupun namamu saja aku belum tau, tapi aku percaya Allah Maha Tahu siapa yang aku maksud. Kamu selalu istiqamah dengan apa yang kamu lakukan di setiap subuh. Setiap hari bahkan setiap malam. Mengunjungi rumah yang Maha Esa dengan sosok ayah yang selalu bersamamu.
Dua bulan berlalu aku merasa aku telah semakin siap untuk sekedar menyapanya. Aku memilih waktu subuh untuk menyapa dia. Yang juga menjadi waktu pertama kali aku melihat dia. Setelah selesai salat subuh, aku memberanikan diri menemuinya yang kala itu menunggu sang ayah selesai. Aku memulai langkah menuju kearahnya. Sedikit ragu awalnya namun aku coba memberanikan diri.
     "Assalamualaikum," aku memulai dengan salam.
     "Waalaikumsalam," dia menjawab salamku dengan menundukkan wajahnya.
     "Boleh aku mengenalmu?" lanjutku.
Dia hanya terdiam dan terus menunundukkan wajahnya tanpa sekalipun melihat kearahku dari saat pertama aku memulai pembicaraan ini. Lalu bertanya kepadanya sekali lagi dengan pertanyaan yang samaÂ
     "Bolehkah aku mengenalmu?"
Tiba tiba seorang laki laki separuh baya berjalan kearahnya lalu berdiri di sampingnya dan berbicara.
      "Namanya Fadya Nurtillahi," jawab laki laki tersebut sembari tersenyum.
Aku tau bahwa itu adalah laki laki yang selalu menemaninya ketika ke masjid tak lupa aku ucapkan salam.
"Assalamualaikum, Pak," sambil aku ulurkan tangaku kearah tangannya dan mencium tangannya.
      "Waalaikumsalam," jawabnya kembali degan tersenyum.Â
      "Ada apa nak?" sang ayah bertanya kepadaku
      "Saya ingin mengenal anak bapak"
“Kalau kamu ingin mengenal anakku, maka datanglah ke rumah. Tak baik berbicara di jalan seperti ini," itu yang ayahnya katakan lalu menyebutkan alamat rumahnya dan berpamitan lebih dulu.
Sejak itu aku semakin bersemangat memperbaiki diri melakukan hal-hal baik dan meninggalkan hal-hal buruk. Bersyukurnya semua berjalan dengan baik. Namun, satu hal yang belum mampu aku perbaiki, yaitu ekonomi. Aku lemah dari segi ekonomi.
Aku telah terbiasa melakukannya. Bangun di waktu subuh lalu melangkahkan kaki menuju masjid. Di waktu itu pula aku terus merasa bahagia bisa terus melihatnya walau dari kejauhan.Â
Setelah genap tiga bulan aku memperbaiki diri, aku memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Dengan niat baik melamarnya kepada orang tuanya. Sambutan hangat keluarganya membuatku semakin yakin untuk memiliki gadis berakhlak indah tersebut. Aku menguatarakan niatku mendatangi rumahnya tersebut.
"Pak tujuan saya kemari saya mebawa niat untuk melamar anak bapak," sambil kutundukkan wajahku.
Aku tak tau bahwa niat baik yang aku bawa terpatahkan oleh jawaban ayahnya.
"Nak terimakasih atas niat baikmu datang kemari untuk melamar putri kami. Akan tetapi, tepat  sehari sebelum kamu datang kemari ada seorang laki laki yang juga datang melammar putri kami. Dan kami menerimanya karena putri kami juga tak keberatan," dengan wajah tenang dan senyum di bibirnya.
Mereka juga juga sudah menentukan tanggal pernikahannya tepat 100 hari setelah lamaran itu berlangsung. Aku hanya terdiam dan tak berkata kata lagi. Sedih rasanya, tapi hal terpentingnya aku sudah berusaha melalui caraku memantaskan diri. Niat juga sudah aku utarakan dengan baik kepada dia orang yang berhak atas dirinya. Tak lama setelah itu aku berpamitan kepada orangtuanya. Orangtuanya juga memberikan doa agar aku juga menemukan jodoh secepatnya. Tak lupa aku juga mendoakan agar apa yang telah menjadi rencana Allah berjalan dengan baik. Aku mendoakan pernikahannya berjalan dengan baik. Lantas aku pulang.
Hari hariku masih berjalan sama seperti sebelumya. Belajar dan terus belajar memperbaiki diri agar menjadi manusia yang lebih baik dan lebih mencintai Sang Pencipta. Aku berpikir bahwa mungkin dia hanya sebagai salah satu sebab atau salah satu jalan agar aku kembali kepada jalan Yang Maha Kuasa dan meninggalkan segala hal buruk yang berbau dosa.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”