Hidup itu Ibarat Traffic Light yang Menjadi Bagian Perjalanan Sekaligus Mengajarkan Nilai Kehidupan

Siapa sih yang nggak kenal sama traffic light?

Advertisement

Rasanya, hampir semua dari kita, setiap harinya melewati bahkan berhenti tepat di depannya. Namun, sadar nggak, kalau keberadaannya yang terlalu sering membuat kita kadang nggak sempat merenungi makna dari kehadirannya?

Ya gitu sih ya memang, apa yang terlalu dekat kadang nggak kita kasih perhatian lebih. Padahal kalau saja kita punya sejenak waktu luang, kita bisa memikirkan bahwa hidup kita ini seperti sedang ada di jalanan dengan traffic light sebagai rambu-rambu pengingatnya.


Ya hidup itu kadang seperti traffic light.


Advertisement

Di dalam perjalanan, meski dari jauh, terkadang kita sudah bisa dengan jelas melihat apa warna lampu yang sedang menyala. Saat yang terlihat nyala lampu hijau, dari jauh kita selalu mau buru-buru supaya bisa terus jalan supaya nggak perlu berhenti dan menunggu lebih lama. Namun, tiba-tiba makin dekat dengan posisi traffic light, lampunya justru berubah jadi kuning yang mana kita diminta hati-hati. Sampai akhirnya lampunya berubah merah dan kita harus berhenti.

Habis itu, sadar atau nggak, sengaja atau nggak, kita kadang sibuk bertanya-tanya. Kenapa sih tadi nggak lebih cepat aja biar bisa jalan terus? Kenapa mesti kena merah? Kan jadi nggak bisa cepat sampainya.

Advertisement

Sering nggak punya pertanyaan seperti itu?

Nah, itu kenapa traffic light serupa dengan hidup. Dalam hidup nih, kita selalu mau buru-buru, mau cepat sampai tujuan, penasaran ada apa di depan, padahal lampu lalu lintas ya nggak selalu hijau terus. Padahal hidup juga nggak harus tentang berjalan terus.

Ada kalanya, kita perlu lampu kuning supaya kita bisa lebih berhati-hati, dan perlu lampu merah supaya berhenti buat ambil jeda. Capek nggak sih selalu buru-buru? Selalu berusaha buat jadi cepat padahal yang mau dikejar juga apa?

Nggak lantas jadi hilang apa yang mau kita tuju kalau itu memang ditujukan buat kita, kan? Lagipula nggak ada yang buruk dari menjadi lambat atau bahkan berhenti untuk mengambil jeda sedikit. Selonjorin kaki, hirup napas dengan lebih tenang, lihat keadaan sekitar. Nggak perlu tergesa-gesa.

Bahkan, di waktu -waktu tunggu itu, kita bisa merenung, melamun, berpikir, atau sekadar lihat-lihat sekitar aja sampai nanti waktu minta kita buat jalan. Lagian lama sebentar menurut siapa? Ibarat traffic light yang diciptakan supaya manusai nggak saling bertabrakan, hidup juga ada aturannya. Itu kenapa lahir kata istirahat, supaya manusia nggak melulu kejar apa yang mau dikejar semaunya. Yang parahnya bisa sampai tega melukai sesamanya.

Ketika jalan, manusia kan memang nggak harus sampai dalam satu waktu yang sama. Setiap orang sudah punya garisnya masing-masing. Waktu mulai dan garis finish-nya juga nggak sama. Jadi, nggak perlu lihatin kecepatan orang lain buat dipakai di diri sendiri karena nggak akan mampu dan nggak akan bisa.

Kecepatan yang kita punya saat ini sudah menyesuaikan kemampuan yang ada dalam diri. Memang sih, kesilauan dari diri orang lain buat kita kadang merasa nggak pernah berbuat apa-apa. Padahal kalau di tengok ke belakang, ya banyak kok yang sudah kita lakukan.

Kalaupun mau membandingkan, bukannya harus selalu apple to apple? Sedang manusia saja diciptakan nggak ada yang sama. Terus mau gimana bandinginnya?

Bandingin diri ini kan harusnya di hari ini dengan kemarin kan? bukan antara manusia satu dan lainnya?

Jadi, udah ya. Kurangi buat selalu buru-buru supaya sampai lebih dulu. Tarik nafas dan ambil jeda di tengah jalan yang sudah mulai ramai. Nggak papa buat nggak selalu jadi nomor satu karena sebenarnya dalam hidup ini kita nggak sedang berkompetisi sama siapa-siapa kok.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Write anything in my mind

Editor

Penikmat buku dan perjalanan